Chereads / Sang Penanggal / Chapter 3 - Rumah Kosong

Chapter 3 - Rumah Kosong

Malam semakin dalam, umak juga belum pulang. Mataku sibuk berputar-putar keberbagai arah, mencari sesuatu agar aku tak mengantuk dan bosan menunggu umak. Aku tahu umak akan pulang cepat. Karena sebelum ia pergi, umak mengatakan tak akan pulang larut malam dan aku ingin menunggunya.

Mataku telah berhenti mencari, tertuju pada dua rumah tua disamping belakang rumahku, yang sudah tak terurus. Semenjak umak mengajak aku pindah kesini dari rumah kami yang lama, aku belum pernah pergi sekalipun dari rumahku, bahkan untuk melihat rumah-rumah kosong itu.

Rumah lamaku mungkin sangat jauh dari sini, aku tak tahu seberapa jauhnya. Karena, sepanjang perjalanan aku hanya tertidur, dan saat terbangun, umak dan aku sudah berada di tempat ini. Itulah alasan lain, mengapa pertanyaan-pertanyaan konyolku sering muncul secara tiba-tiba. Umak yang tak pernah menjawab, dan selalu mengalihkan pembicaraan, saat aku bertanya mengenai rumah-rumah usang itu.

Tanpa ku sadari, kakiku telah melangkah berjalan mengarah kerumah kosong itu dengan perlahan. Selangkah demi selangkah menuju kerumah itu. Perlahan pula, rasa takut mulai datang,  aku telah sangat dekat dengan  rumah-rumah itu.

Rasa ingin tahuku untuk mengetahui isi didalam rumah-rumah ini sangat tinggi sejak dulu dan sudah lama pula aku menahannya. Apalagi, aku kerap merasa ada yang aneh dengan rumah panggung khas pinggiran sungai yang telah tua dan usang ini.

Aku telah berada didepan pintu rumah usang ini. Aku harus masuk, kataku meyakinkan hati. Dan mencari sesuatu, untuk membantuku memecahkan rasa penasaranku. Selama ini, umak melarangku mendekati rumah ini. Katanya, ia tak mau, jika aku masuk. Ada kemungkinan akan tertimpa bangunan atau kayu-kayu keropos, karena terlalu tua dan tak terurusnya rumah ini.

Aku harus masuk malam ini. Kataku, memantapkan hati lagi. Tanganku sudah memegang daun pintu, dengan perlahan aku mendorongnya. Gemetar badanku, penuh rasa takut, selain karena rumah ini sudah tak berpenghuni lama, juga karena larangan keras dari umak. Membuatku semakin gemetar ketakutan.

Rumput liar, disisi dinding rumah, merambat dari bawah dengan suburnya. Menjalar dimana-mana. Bahkan sampai ke atap rumah ini. Kembali aku tujukan mataku, pada pintu masuk rumah. Sesekali mataku melihat keadaan sekitar, takut ada sesuatu yang memperhatikanku, walaupun aku tahu tak akan ada siapapun. Karena hanya ada aku disini, yang adanya hanya hewan-hewan malam yang mungil, sesekali terlihat berterbangan bebas.

Kudorong daun pintu yang sudah sedikit terbuka itu. Namun, tanaman liar yang menjalar dan sedikit mengunci pintu oleh lilitannya yang tak beraturan ini, sedikit menyusahkanku.

Kreeeekkk..... Bunyi pintu serat, tersendat oleh akar akar tanaman. Kudoroang paksa dengan tenaga yang ku punya. Engselnya sudah sangat berkarat. Rumput-rumput dan akar liar mengganjal dan hanya bisa terbuka sedikit, namun cukup, untuk badan kurusku memasukinya.

Pintu rumah tua ini masih terlihat bagus, apalagi untuk setandar rumah dipinggiran sungai. Bahkan, jauh lebih bagus dari pintu rumahku. Mungkin rumah ini dahulu milik orang yang berpengaruh disini, atau bisa juga milik orang yang terpandang. Kudongakan wajahku, ada ukiran khas Kalimantan dipintunya, catnya sudah usang termakan usia.

Mungkin itu tanda, bahwa sudah sekian lama pintu ini tak pernah dibuka oleh siapapun, baik manusia ataupun binatang liar sekalipun.

"Uranggnyaa..... Urangnyaaa..." Panggilku. Jelas tak ada orang disana. Itu hanya untuk mencairkan ketegangan dan menambah keberanianku.

"Urangnyaaa..." Sekali lagi aku memanggil kini suaraku sedikit kutinggikan. Lagi-lagi hanya suara-suara binatang malam yang merespon panggilanku. Setelah kupastikan tak ada orang didalam ruamh ini, kuberanikan diriku masuk.

Saat aku berada dalam rumah ini, aku semakin yakin bahwa rumah ini benar-benar tak terurus. Bau debu yang khas, seakan mengetahui kedatanganku dan segera menyapa hidungku. Mataku semakin berkeliaran di ruangan itu.

Sarang laba-laba sudah sangat nyaman dan kokoh menempel dimana-mana. Sepertinya para pemilik jaring-jaring itu merasa aman tak terusik oleh apapun. Mereka bertebaran disetiap sudut-sudut rumah, banyak juga, sarang yang sudah tak memiliki tuan.

Suara jangkrik beserta hewan-hewan malam yang beradu tak mau mengalah, yang menjadi ilustrasi malamku sedari tadi. Kini, perlahan hilang. Bersamaan dengan langkahku yang  semakin dalam memasuki rumah tua ini, suara mereka ditelan bulat oleh kesuwungan didalam rumah.

Kursi, meja dan beberapa perabot lain yang terbuat dari kayu sudah termakan oleh rayap, tergelatak tak beraturan dan bergelimpangan disembarang tempat. Kakiku perlahan namun pasti, terus melangkah berjalan maju. Pandangan mataku terbatasi oleh gelapnya ruangan disini. Penglihatanku perlahan mulai menyempit. Tak mampu lagi memperhatikan detail dari setiap sudut rumah ini.

Remang-remang, hanya sinar rembulan yang menyelinap melewati kaca-kaca jendela dan fentilasi-fentilasi kroposlah yang membantu menuntun arah kakiku melangkah.

Angin sepoy malam, masuk, melewati pintu yang kubuka tadi. Seakan-aan angin itu membuatku merasa mendapatkan teman baru dirumah yang tak berpenghuni ini. Tak lagi ku hiraukan dinginnya angin malam yang mengguyur ruas kulitku. Mataku mulai melakukan pekerjaannya. Mengintip kesetiap ruang-ruang didalam rumah.

Siapa pemilik rumah ini? Dan, mengapa ditinggalkan?. Aku kembali bertanya-tanya dalam hatiku. Mataku semakin liar, menjelajah disetiap ruang rumah ini, tak begitu terlihat, hanya samar. Aku menemukan suatu kamar yang membuatku penasaran. Perlahan aku menuju kesana.

Di kamar itu, terlihat jendela besar yang berkorden kain putih tipis. Cahaya bulan samar masuk menembus kain itu. Terdapat kasur kapuk yang bersepreikan kain putih juga. Ada pula bantal disana, namun telah berada dilantai. Dan aku juga melihat beberapa alat medis yang berserakan dan sepertinya sudah berkarat. Terlihat pula ayunan disudut kamat ini. Ayunan itu hampir mirip seperti yang digunakan umak untuk menimang-nimangku saat aku bayi dulu.

Kamar apa ini? Kamar dokter? Atau bidan?. Rasa ingin tahu dan ingin menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku mengenai kamar ini sangat besar. Namun, kalah dengan rasa takutku. Takut perbuatanku ini diketahui oleh umak nanti.

Sebaiknya aku segera kembali kerumah, tak ada petunjuk kuat mengenai rumah ini yang bisa membantu menghilangkan rasa ingin tahuku. Yang ada rasa penasaranku makin berlipat-lipat. Tapi, setidaknya aku tahu, bahwa rumah ini dahulu digunakan untuk perawatan.

Aku gerakan seluruh tubuhku untuk segera keluar. Takut umak datang dan mempergoki disini. Belum sempat aku membalikan badan untuk segera keluar dari kamar medis ini. Bruaaak!! Sesuatu terjatuh didalam rumah ini. Badanku yang sudah siap untuk meninggalkan tempat ini sedari tadi. Terpancing ketakutan yang sangat,  karena mendengarkan suara itu. Aku segera berjalan, langkahku  berjalan secepat mungkin, untuk kembali menuju pintu keluar.

Gelap sekali. Teriakku dalam hati. Langkah kakiku hampir seperti berlari. Ternyata aku sudah terlalu jauh meninggalkan pintu masuk rumah ini. Aku terus mempercepat langkah kakai sebisaku.

Barang-barang yang menghalangi langkahku, aku tabraki semua. Tak ku hiraukan lagi rasa sakit di paha dan kakiku. Yang ada dalam benakku, hanya untuk segera keluar dari rumah ini.

Besar juga rumah ini!!! Batinku kembali. Mungkin, karena terasa sangat lamanya perjalanan kembali ku kepintu masuk tadi. Mungkin, banyak sarang laba-laba yang terpancang tak kenal temapat tadi, menjadi rusak karena langkahku yang tak beraturan.

Pintu sudah terlihat. Tanpa fikir panjang lagi, aku langsung berlari keluar rumah dengan detak jantung dan nafas yang sudah tak beraturan.

Aaakhhhhh!! Teriakku lega. Sesaat setelah aku berada diluar rumah. Aku pun langsung menjauhi pintu rumah itu menuju ke rumahku.

Namun, seketika mataku terbelalak. Mataku seperti ingin copot, sekujur tubuhku kaku. Jantungku berdetak kencang tak terkendali membuat dadaku sesak. Aku ingin sekali berteriak, tapi tak mampu. Mulutku seperti terkunci. Tepat didepan mataku terdapat sosok wanita di jendela kaca rumah itu.

Mengetahui hal itu, dan seluruh tubuhku tak mampu bergerak aku memilih untuk memejamkan mataku. Aku mencoba mengatur nafas. Setelah aku dapat mengatur nafasku, perlahan aku kembali membuka mata. Mengintip, untuk melihat kearah jendela rumah tadi.

Aku kembali terperanjat. Kaget luar luar biasa. Ternyata itu adalah pantulan bayanganku sendiri yang berasal dari sinar rembulan. Ah sial. Ucapku kesal sambil menarik nafas lega.