Chereads / Sang Penanggal / Chapter 4 - Cerita Umak

Chapter 4 - Cerita Umak

Nafasku masih belum sepenuhnya teratur, karena kebodohanku sendiri. Aku lega ternyata itu hanyalah bayanganku. Aku kembali berjalan menuju rumahku. Namun, saat aku palingkan wajahku melihat kearah sungai. Dari kejahuan, aku melihat seorang wanita kepayahan mengayuh sampan, dengan dayung kayu. Terlihat samar-samar diterpa oleh sinar rembulan.

Itu adalah umakku!!!. Batinku. Mengetahui hal itu. Aku segera menuju kerumah, takut umakku marah, saat mengetahui bahwa aku melanggar larangannya. Aku segera berlari menuju rumah. Jika ia mengatuhi hal yang aku lakukan malam ini, bisa bertambah berkali-kali lipat rasa ketakutanku malam ini.

"Maaaakk... Umaaakkkk...". Panggilku sambil berlari kearahnya. Aku mencoba tenang dan seperti aku tak melanggar larangannya. Disisi lain karena aku melanggar larangannya, hatikupun sudah tak bisa menahan rindu padanya.

Kulihat umak masih menyandarkan sampannya didermaga kecil depan rumah kami. Dermaga itu tak lain adalah halaman rumahku sendiri, yang sedari tadi aku duduk disana menanti kedatangan umak. Semoga umak tak melihatku yang berlari dari rumah kosong tadi. Batinku sesaat setelah aku berada dipinggir dermaga, siap menyambut kedatangannya.

Setelah sampan umak terikat di tiang dermaga, ia segera naik dari sampan. Berjalan mendekatiku. Kini ia telah berdiri mengahadapku dengan membawa dua tas sayuran, terlihat daun yg menjuntai keluar di sana.

"Umaaaakkkk..." Panggilku, yang langsung memeluknya, sebelum ia menyadari bahwa aku telah melanggar larangannya. Dengan baju lusuhnya, umak membalas pelukanku dengan erat dan hangat, sangat nyaman pelukan umak.

"Tak usah kamu tanya lagi tentang abahmu ya sayang, yang terpenting kamu bahagiakan dengan umak". Kata umak tiba-tiba, dengan suara paraunya. Usian ya yang tak lagi muda. Umur umak mungkin memang sudah empat puluh tahun. Tapi wajahnya, masih terlihat muda dan kencang. Aku tak tau apa rahasia umak untuk menjaga kulitnya agar tetap kencang seperti wanita umur dua puluh tahunan ini.

Aku sedikit lega mendengar ucapan umak tadi. Ternyata umak tak menyadari kalau aku baru pulang dari rumah kosong itu.

"Inggih, mak." Kataku. Sambil mengangkat wajahku melihat wajahnya. Mendongak mengahadap tepat dibawah dagunya. Badan umak sedikit lebih tinggi dari ku. Kata umak, tinggi badannya 168 cm.

"Aku tak akan bertanya tentang Abah lagi mak" Kataku dalam hati. Sambil melihat wajah cantik umak. Dewasa ini, aku mulai memaklumi kenyataan itu. Mungkin umak memiliki kisah buruk masa lalu dengan Abah. Tapi disisi lain umak berkata benar. Aku sudah cukup bahagia bersamanya, sepanjang waktu.

"Mak... ". Panggilku lirih.

"Tadi, meapa kam menciak-ciak mendadau Umak?". Potong umak, seraya melapas pelukannya dan menatap mataku dalam-dalam. Belum sempat aku membalas tatapan matanya, ia pergi dengan membawa dua tas sayuran kenuju pintu rumah. Sepertinya umak penasaran karena tak biasanya aku berteriak-teriak memanggil umak seperti tadi.

"Meapa sayangku? Malam-malam kaini, meapa kam keluar pondok?" Timpal umak lagi. Menambah PR jawaban ku. Aku masih terdiam, mencari alasan untuk kedua pertanyaan umakku itu.

"Mak... boleh tada, ulun... betanya dua... Umak?" Tanyaku balik, sedikit terbelit. Takut beliau marah seperti dia memarahiku saat bertanya soal abahku.

"Hendak betanya apa? Tapi jangan betanya soal abah kam lagi lah". Jawab umak singkat. seperti dugaanku. Jawaban itu membuatu merasa diterpa angin segar. Kata-kata itulah yang aku nantikan keluar dari bibirnya manisnya. Aku takut untuk menanyakan ini, tapi... aku berlari mendekati umak. Muah. Aku kecup pipi umak.

"Tada usah mencoba mencuri hati umak, sayang". Kata umak. Setelah aku menciumnya. Sambil ia lemparkan senyum manisnya padaku. Namun aku masih ragu untuk melanjutkan pertanyaanku,

"Umak sudah tau." Lanjut umak. Setelah ia menaruh tas sayuran itu tepat didepan pintu umak berjalan ke samping rumah, menghadap rumah kosong yang aku datangi tadi. "Pasti ikam dari pondok-pondok tua itu kan?" Lanjut umak masih menghadap ke rumah usang itu. Aku terperanjat. Bagaimana umak tahu kalau aku dari sana. Padahal jarak saat aku melihat di sungai tadi cukup jauh dan gelap. Tidak mungkin umak tahu kalau aku dari rumah kosong yang selama ini ia merangku memesukinya.

Belum selesai aku menerka, bagaimana umak bisa tahu perbuatan bodohku tadi. Ia berjalan menghampiriku yang masih berdiri di tempat aku menciumnya tadi. Umak kini berdiri tepat dihadapanku yang telah siap dimarahinya. Tangannya mengarah keatas kepalaku. Aku semakin ketakutan, kupejamkan mataku rapat-rapat.

Akan sangat sakit, jika umak memukul kepalaku untuk pertama kalinya. Tapi, aku telah siap dengan hukuman dari umak walau dipukul sekalipun. Tangannya sudah terasa menyentuk ujung rambutku. "Ini apa?" tanya umak. Ia mengambil sesuatu dikepalaku. Aku tertegun dan langsung membuka mata untuk melihat yang dibawa oleh umak. Ternyata itu adalah sarang laba-laba yang menyangkut di rambut lurus dan setinggi pundak.

Belum sempat pula aku melihat wajah umak. Setelah ia mengambil sarang laba-laba yang tersangkut dikepalaku, ia langsung membelakangiku. Sepertinya umak kecewa dengan tingkahku malam ini. Aku masih terdiam menanti apa yang akan umak katakan setelah mengetahui perbuatanku ini.

Terdengar lirih, umak menghela nafas panjangnya. Aku tau, itulah yang umak lakuan jika rasa kecewanya muncul terhadapku. Tapi, rumah-rumah kosong itu jauh lebih menggugah rasa penasaranku mak. Aku sering melihat dan memperhatikan kedua rumah itu disaat siang hari. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan desa ini, Mak. Belaku dalam hati dan tak berani aku ungkapkan pada umak.

Aku hanya tertegun, diam mematung. Otakku bekerja mencoba mencari alasan yang dapat ia terima jika umak memarahiku. Otak semakin keras berfikir tentang alasan apa yang harus aku ungkapkan nanti. Ya, setidaknya aku memiliki alasan walaupun itu tidak akan membantu ku untuk tidak dimarahi umak. Tidak mungkin membantu samasekali.

Karena keras kepalaku ini jelas berasal dari umak. Ia pun sama keras kepalanya denganku. Bahkan mungkin lebih. Jika keinginannya tak dituruti, pasti akan terpancing emosinya dan marah padaku adalah hal yang tak terelakkan lagi.

"Maap lah mak." Ujarku sepontam mendahului, sebelum ia marah. Aku langsung memeluknya dari belakang. Air mataku mulai berair. Untuk kesekian kalinya aku telah mengecawakan wanita yang paling kusayang.

"Iya tak apa sayang... Umak tahu, kamu semakin besar dan dewasa. Pasti rasa ingin tahumu juga bertambah." Kata umak membalas permintaan maafku. Aku kembali dibuat tertegun oleh jawaban dan sikap umak malam ini. Tak seperti biasanya, kali ini umak tak memarahiku?. Mimipi apa aku semalam? Sehingga kesalahan ku kali ini di maafkannya dengan ringan.

"Sekali lagi, Tika minta maap lah mak". Kataku untuk kedua kalinya, masih tak percaya umak memafkanku semudah ini. Masih tak dapat ku percaya, dengan apa yg aku dengar tadi. Semakin erat aku memeluk Umak. Entak pelukan ini rasa syukurku karena tidak dimarahi atau rasa bersalahku padanya.

"Handak betanya apa kam nak?" Tanyanya umak. sambil membalikan badan.

Tangan halusnya tiba-tipa memegang pundakku. Mengarahkan aku untuk duduk diteras rumah, yang hanya selebar tiga meter ini. Setelah aku duduk dibibir teras, dengan kedua kakiku yang menjuntai mendekati permukaan sungai. Umak menyusul duduk disampingku, juga menjuntaikan kedua kaki sama seperti ku. Setelah kami berdua duduk bersebelahan dan membelakangi rumah. Kami berdua sama sama terdiam hingga terdengar suara gelombang air sungai yang menerpa kayu pancang rumahku.

"Ulun hendak betanya, kemona ja urang-urang disini tu?" Tanyaku. Memecah suasana dingin antara kami berdua. "Pondok semua tesik urangnya, rigat lagi." Lanjutku sebelum umak memotongnya.

Lagi-lagi sikap umak malam ini mengejutkan ku. Umak tak terkejut mendengar pertanyaanku yang sangat ia larang itu, dia malah tersenyum ringan dan manis, khasnya.

"Meapa kam betanya itu pada umak?" Jawab Umak. Ia mengusap kepalaku sebelum akhirnya ia kembali berdiri. Seakan-akan ia sangat gelisah dengan pertanyaanku.

"Umak tada marah lok dua ulun?" Tanyaku balik, memastikan sikap umak. Takut Umak tersinggung dengan pertanyaanku. Selain lancangnya aku. Juga karena aku telah memasuki rumah tua itu padahal sudah jelas umak melarang keras aku kesana..

"Tada anakku... umak hanya sedikit terkejut." Jawab umak halus. Ia berdiri sambil memandangiku. "Umak tada marahpan. Jadi, anakku. Sebenarnya, kenapa umak melarang ikam kerumah itu..."

"Duuuuaaaaarrrrr!!!"

Dentuman keras, disertai kilatan cahaya putih memotong pembicaraan umak. Suara itu menggelegar, keras, terdengar ditelinga. Mataku langsung terpejam, aku merangsak berdiri memeluk umak dan bersembunyi dibawah dagu umakku.

Tapi, aku merasakan hal aneh yang terjadi pada umak. Umak tak melanjutkan omonganya untuk menjawab pertanyaanku tadi. Dan umak pula tidak membalas pelukanku, seperti biasanya yang ia lakukan.

"Umak, aku takut...." Kataku masih memeluk umak.

Padahal cuaca sangat terang dan tak ada mendung. Juga tak tercium bau tanah basah. Bau khas yang muncul sebelum hujan turun. Jadi tak mungkin jika itu adalah sebuah petir. Suara yang menggelegar itu tiba-tiba muncul dan terdengar keras sampai mengejutkanku. Suaranya seperti berada tepat disamping daun telingaku.

Umak sama sekali tak menjawabku. Karen aku penasaran dngan keadaan umak. Kucoba membuka mata perlahan, kuarahkan pandangku kewajah umak. Dia masih terdiam, matanya menatap lurus kedepan, menghadap sungai besar dengan tajam. Umak sama sekali tak terlihat terkejut atau ketakutan dengan suara dentuman yang keras tadi.

Umak tetap terlihat tenang. Yang tergambar dari wajahnya hanya raut wajah dingin. Pertama kalinya aku melihatnya seperti ini. Aku masih memperhatikan umak. Dan ia masih mandang sesuatu dengan begitu tajam dan dingin, tak seperti biasanya.

Pandangannya seperti menyimpan kebencian terhadap sesuatu. Jauh melebihi tatapan kebencian, jika aku bertanya soal abah. Aku semakin takut dengan tingkah umak ini. Pasti ada sesuatu dari balik tatapannya.

Aku masih takut untuk bertanya pada umak. Aku hanya memperhatikan wajah umak yang cantik itu. Yang biasanya teduh kini benar benar menakutiku. "Mak..." panggilku lirih, dengan rasa ketakutan. Karena sikap umak yang sangat serius itu.

"Nak... Apa kamu masuk ke rumah Pak Pras?" Ujar umak datar. Sambil tangan kanannya menunjuk rumah yg aku masuki tadi. Namun badannya masih menghadap ke sungai.

"Iya mak" Jawabku lirih, ketakutan.

Mata umak semkain melotot ke arah sungai. Aku semakin ketakutan. Aku mencoba memanggil dan menggerak gerakan badannya. "Mak... Umak... Umak kenapa?". Umak masih terdiam. Bibir tipisnya menyeringai. Membuat kekukan tajam disudut bibirnya. Senyum sinis dari bibirnya terlihat semakin tajam. Seakan-akan senyuman umak melukiskan suasana hatinya yang bahagia karena menaklukan sesuatu yang ia benci.

"Tika..." Ujar umak, matanya melotot melihatku.