Chereads / Sang Penanggal / Chapter 2 - Teras Rumah

Chapter 2 - Teras Rumah

Dan seperti inilah kesibukanku saat ditinggal ibu pergi. Menatap kelangit luas, menikmati senja dengan semburat mega-meganya yang megah. Bermain air sungai. Saat matahari akan menjauhi pelataran rumahku adalah keindahan tersendiri di tempat ini. Hingga pada akhirnya, yang tertinggal hanyalah pekatnya pepohonan bakau. Pohon dengan akar dan daunny yang sama-sama lebat itu tumbuh menjulang tinggi disekitaran rumahku dan gelapnya malam kelabu.

Duduk, dan menunggu datangnya rembulan, salah satu teman setiaku dalam penantian. Sinar keemasannya akan memancar indah, jatuh melewati sela-sela dedaunan. Dan jika beruntung, sinarnya akan jatuh diatas papan-papan yang tersusun rapi, dan menjadi satu-satunya halaman rumahku. Serpihan-serpihan cahaya yang berantakan disana sini tak beraturan itu benar-benar menjadikanku bak ratu bergelimpang berlian.

Jika malam telah larut, dan aku menguap untuk pertama kalinya untuk malam itu dan ibuku juga belum kembali. Maka, aku akan masuk kedalam rumah, untuk pergi tidur atau sekedar mejaga diri dari angina malam, agar aku tidak masuk angin. Begitulah pesan ibuku, yang selalu ia tinggalkan jika ia hendak pergi dan sampai saat ini, tidak berani aku melanggarnya.

Terkadang disaat-saat seperti inilah aku juga sering berbaring di depan rumah, menikmati angin lembut yang menerpa permukaan sungai menguyur seluruh wajahku. Angin-angin halus itu juga menghasilkan ombak-ombak kecil, yang menghantam pelan tiang-tiang kayu pancang penyangga rumahku.

Selain jangkrik suara binatang dan serangga-serangga malam selalu menjadi melodi indah yang menenangkan. Dari kodok, belalang hingga cicada terus megisi ruang sunyiku. Suara suara itulah yang membuatku lebih tenang hingga tak jarang pula, aku terbawa kantuk hingga tertidur.

Rumah-rumah disini tak berdiri diatas tanah seperti pada umumnya. Semuanya rumah panggung. dibawahnya langsung behadapan dengan permukaan air. Berdiri dengan disokong kayu-kayu besar dari dasar sungai.

Dari satu rumah kerumah yang lain, hanya tersambung oleh jejeran rapi papan-papan besar kayu ulin. Terkunci disetiap ujungnya oleh baut-baut sebesar kepalan tanganku, dan terlihat tua dan banyak yang telah berkarat.

Rumah panggung seperti ini sangat berguna jika tinggal di bantaran sungai, sangat aman apabila datang waktu air sungai pasang, rumah-rumah disini tak akan kebanjiran. Begitulah kata umak saat kutanyakan mengenai rumah ditepian sungai ini.

Sungai besar yang terhampar didepan rumahku inilah, yang selalu menjadi saksi ibu meninggalkanku di rumah. Sungai itu sangat lebar dan terlihat berkelok-kelok. Arusnya terlihat mengalir pelan dan tenang, pertanda sangat dalamnya sungai yang saat ini tepat berada dihadapanku.

Terkadang juga ia seakan berbisik ditelingaku dengan suaranya yang begitu rendah dan halus. "Tika, kamu jangan pernah merasa kesepian, aku akan selalu ada untukmu."

"Hahaha..." Aku cekikikan sendiri. Merasa imajinasi ku yang  bodoh-bodoh ini. Terkadang ia tak memeliki sopan santun. Tiba-tiba muncul seenaknya sendiri dalam fikiranku. Saat cuaca cerah dan tertimpa sinar rembulan yang gagah, sungai itu tampak seperti memiliki sisik-sisik emas, bak naga raksasa yang tengah tertidur pulas.

Entah, aku tak tau apa nama sungai ini, ibu tak pernah memberi tahuku, dan aku pun tak pernah menanyakan itu padanya. Yang ku tahu hanya satu soal sungai ini, aku sering terbuai, terpesona oleh keindahannya saat malam hari.

Puluhan, bahkan mungkin ratusan pohon bakau yang tumbuh dipinggiran sungai. Menjadi pagar betis setianya. Akar yang saling silang dan bertumpukan satu sama lainnya. Itulah alasannya mengapa aku tak pernah menemukan tepian sungai ini yang bertanah.

Belum lagi monyet hidung panjang yang kerap bergelantungan mondar-mandir, loncat sana-sini, Indah nian tanah air baru ku ini. Semua tepian sungai,  dipenuhi oleh pohon. Sepanjang mataku bisa memandang sungai yang luas ini disana hanya ada pepohonan. Akar-akar bakau itu seakan mau memeberi tahu padaku, jika ia juga tak mau kalah indah dari sang rembulan saat malam hari.

Warna air sungai yang merah, bak air teh, karena endapan tanah gambut dan akar-akar pepohonan adalah pesona indah tersendiri dari sungai ini, dibandingkan sungai-sungai yang berada didaerah atau pulau lain. Sungai ini sangatlah elok. Lagi-lagi itu kata ibuku.

Seperti inilah aku disetiap malam. Imajinasi dan khayalanku merajalela bersama rembulan. Terkadang, dalam lamunanku yang sangat bersahabat dengan malam, aku sering bertanya-tanya.

Apa sebenarnya yang sedang direncanakan oleh rembulan? Apakah ia tak ingin malam gelap berdiri kokoh tanpanya? Dan gelap menguasai bumi tanpa ada sinarnya. Kenapa ia selalu ada saat malam tiba? Tapi... Aaakkkhh.... Tidak!! Jangan sampai bulan pergi!!. Aku kembali bertengkar dengan fikiran-fikiran anehku sendiri. Jangan sampai itu terjadi. Dia juga salah satu teman sekaligus sahabat yang aku miliki saat malam.

Aku mulai mengantuk. Aku pun telah menguap untuk pertama kalinya dan ibu masih belum pulang juga. Punggungku terasa pegal duduk sedari tadi menunggunya. Terkadang, dia akan pulang lebih cepat dari biasanya. Dan saat itulah ia akan bercerita tentang hari-harinya dahulu sebelum memiliki aku. Terkadang juga ia bercerita tentang aku, yang lahir lima belas tahun yang lalu.

Banyak kisah yang sudah ia ceritakan padaku. Terkadang, saat ia tengah bercerita menganai masa kecilku, kita tertawa bersama, karena kekonyolan-kekonyolanku dahulu. Pernah juga kita pernah saling diam, hanya karena ibu marah, saat aku menanyakan soal ayah. Karena saat itu aku terbawa suasana dan melupakan pesan kerasnya, bahwa ibu sangat melarangku, untuk bertanya apapun yang bersangkutan dengan ayahku. Orang yang  samasekali belum pernah sekalipun aku melihat wajahnya.

"Walau terkadang ia seperi monster, saat marah. Tetapi aku sangat menyayangi ibuku." Batin ku dalam hati sambil tersenyum sendiri.

Mungkin baginya aku sudah seperti buku diari, apa saja ia ceritakan, kecuali soal ayahku. Tak kenal waktu, kalau dia sudah bercerita, sampai-sampai aku sering tertidur tanpa sepengetahuannya.

Sosok yang benar-benar tak ternilai untuk hidupku. Selalu ada dia yang menghias dan melukis keindahan hari-hariku, kecuali saat petang seperti ini. "Ah...!" Mungkin saat ini rembulan diatas sana sedang tersenyum melihatku. Karena selalu bertumpu padanya saat petang.

Mungkin jika dia bisa mendengarku, aku ingin mengatakan, bahwa Aku sangat mencintai umak ku. Dan yang pasti aku juga menyayangi rembulan sebagai sahabat malam ku.