Chereads / Reverse Orbital [IND] / Chapter 4 - Pencurian Black-Box

Chapter 4 - Pencurian Black-Box

"Loh, bukannya kemarin bilang mau pergi ya? Kok balik? Padahal kemarin keren waktu hilang bareng cahaya, nggak jadi deh...hahahaha berca-"

Belum selesai aku bicara, pedang cahaya yang sangat tipis sudah menempel di leherku dan nyaris menusuk tenggorokanku. Tak ada suara, hanya kilatan cahaya, dan dia sudah ada tepat di depanku dalam waktu yang sangat singkat. Grace ya...

"Sworry..."

Ah tidak, aku jadi terbiasa meminta maaf dengan kata bodoh itu. Sialan Kak Rena.

Dia mengembalikan pedangnya. Tunggu, apa melepaskan adalah kata yang tepat? Pedang itu tadi tiba-tiba muncul, dan sekarang juga tiba-tiba hilang.

"Waktu aku mau balik ke Jakarta, aku dengar kabar kalau ada pencurian black-box di sekitar sini, kamu tahu?"

Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Kemarin aku hanya berasumsi kalau 'itu' sedang terjadi di sini. Jadi, kalau ditanya tahu apa tidak ya...dua-duanya. Aku tidak tahu karena itu cuma asumsi, tapi aku juga tahu karena asumsiku tepat.

Itu juga berlaku ke pengetahuanku tentangnya. Sejak awal, tentang cewek ini...aku tahu, tapi juga tidak tahu di saat yang bersamaan.

"Enggg, maaf. Kalau aku boleh tanya hal bodoh...kamu siapa ya?

"Haaa?! Dia bukan pacarmu? Saudara? Teman? Kenalan?"

Kak, aku tahu kenapa kamu kaget, tapi ini faktanya. Aku di bawa kesini tanpa tahu apa-apa.

"Ah...bodohnya aku, bereskpektasi kalau kamu cukup genius untuk dapat jawaban sendiri..."

"Hei, kok kasar sih...ingatanku agak buram, jadi aku nggak ingat."

"Wa wa wa, Rega...kok bisa lupa sama cewek yang bantu kamu sih, Kamu tega ya..."

"Nggak begitu Kak...mending diam deh kak..."

"Ak- Namaku Jhennifer. Aku yang bawa kamu ke sini..."

Dia menyipitkan mata ke arah Kak Renanda.

"Hmm...kayaknya bakal berguna, oke. Aku bakal kasih tahu apa yang kutahu, tapi gantinya, kasih tahu juga apa yang kalian tahu. Suster kerja di sini, jadi tahu apa yang kuomongkan tadi kan?"

"Hmmm, memang ada beberapa insiden di sini baru-baru ini. Pasien tiba-tiba pingsan dan saat mereka siuman, mereka kehilangan sedikit ingatan mereka. Dan yang hilang pun cuma ingatan tentang Holy Friday. Mereka masih ingat kejadian sebelum mereka pingsan."

"Itu yang aku maksud pencurian black-box. Kalau itu dicuri, seseorang akan kehilangan informasi tentang Holy Friday. Yang kutahu, black-box hanya bisa dicuri kalau dalam mode visible. Dan itu hanya terjadi ketika dipanggil, pemiliknya tak sadarkan diri, atau mati. Jadi, kabar yang kudapat benar ya..."

"Eh, mirip kondisiku kan? Apa punyaku juga dicuri?"

"Rega, tadi dia bilang yang dicuri nggak bakal ingat Holy Friday. Tapi kamu kan ingat..."

"Itu karena kemarin aku keliling rumah sakit dan dikasih tahu orang lain Kak. Bentar, jangan-jangan..."

"Ha? Apa? Aku tepat di sampingmu waktu kamu pingsan. Aku juga ikut bawa kamu ke sini. Bukannya terima kasih malah dicurigai?"

Ya, dia benar. Aku memang belum berterima kasih. My bad...

"Oke, terima kasih. Tapi...bukannya itu pola umum? Pelakunya bakal berakting seolah dia penyelamat..."

"Hei hei, kok kamu tega ngomong begitu ke dia...Padahal kakak sudah menganggapmu anak kecil yang baik lo..."

"Hmmm...aku dicurigai ya..."

Dia mengeluarkan pedang cahayanya lagi.

"Oh...mau pakai kekerasan ya? Tapi aku nggak bakal goyah, keadilan harus ditegakkan!!"

Aku juga memasang kuda-kuda untuk menghindari serangannya kapan saja.

"Ah, nggak kok...aku cuma mau pamer. Ini kan...kamu nggak punya ini kan? Kamu masih nggak bisa terima kenyataan kalau kamu nggak punya grace kan? Heh, lihat deh...Hehhh~ kamu nggak punya grace hehhh~"

Dia bermain-main dengan cahayanya. Mati, nyala, mati, nyala, redup, terang, redup, terang. Sekarang ruangan ini terasa seperti klub malam yang kulihat di film-film. Tapi, juga terasa seperti ruangan tempat orang mengelas.

"Ga usah takut... kalau aku mau membunuhmu, dengan jarak ini, 0,1 detik sudah cukup kok...buat melepas kepala dari badanmu. Tapi kasihan sih...hehhh~ kamu nggak punya grace hehhh~"

Oke, aku yang salah, aku terlalu terbawa suasana. Kalau boleh jujur, aku memang belum bisa menerima kenyataan kalau aku tidak menerima grace. Tapi...meski begitu, caranya meledek...

Sialan cewek ini...kesombongannya, pedang cahayanya, dan sifat kurang ajarnya...

"Pffttt, ah maaf...bertengkarnya sudah?"

"Ah ya, maaf Kak..."

"Maaf Sus. Aku benar-benar menghargaimu karena bisa tahan merawatnya selama ini. Pasti kecewa kan, tahu tingkah lakunya yang begini waktu sudah sadar?"

"Hahaha, nggak kok, dia kadang juga baik kok." *Cekikik

*Ringgg ringgg

Kak Renanda merogoh saku celananya.

"Ah maaf ya, aku harus balik kerja lagi. Enggg...Rega, bisa minta nomormu?"

Kak Renanda menyerahkan ponselnya padaku.

"Eh...buat apa?"

"Enggg...Kakak cuma mau kasih tahu ka- ah nggak-nggak hehehe."

"Okok."

"Hehehe, Thanks."

*Ringgg ringgg

"Kenapa langsung ditelefon?"

"Buat mengecek lah...kan bisa saja kamu bohong..."

"Kak...aku seburuk itu di mata Kakak?"

"Pffttt hahahaha maaf maaf. Sudah ya... kalau ada apa-apa jangan sungkan buat telefon ya...Dahhh, makasih...Rega."

"Ok Kak."

"Ok Sus."

Kak Renanda pergi. Saat pintu ditutup kembali, suasana menjadi canggung. Sekarang tinggal kita berdua di ruangan ini.

***

"Sekarang, kasih tahu apa yang kamu tahu soal insiden tadi. Kamu meski cuma sedikit juga tahu kan?"

"Sebagai gantinya?"

"Ganti apa? Bukannya aku sudah kasih tahu apa yang kutahu?"

"Soal kejadian waktu Holy Friday...kamu juga di sana kan? Yang bisa kuingat cuma, ada aksi terorisme di sekolahku, dan kita melawan mereka. Meski aku sendiri nggak begitu ingat detailnya tapi...di pertengahan, ada gerhana terus...aku bangun di sini."

"Hah dari situ? Kamu nggak ingat dari situ? Aku pikir kamu tadi cuma lupa namaku."

"He em, maaf..."

"Hahhh...ok ok."

Dia duduk di sofa. Aku pun mengikutinya duduk, di sebelahnya.

"Kenapa juga duduk di sini? Oh...maaf tapi aku nggak tertarik sama kamu, jadi minggir deh."

"Hah? Tapi ini kan kama-"

"Siapa yang bayar?"

"Siii- ok, maaf."

Aku terusir di ruanganku sendiri, dan hanya duduk di lengan sofa. Sedangkan dia duduk nyaman di tengah sofa sembari menyilangkan kakinya.

"Kenapa masih di situ? Kamu suka banget sama sofa ini? Mau aku belikan buat kamu?"

Siapa dirimu wahai nona muda...pemilik rumah sakit ini? Aku benar-benar tak bisa mengalahkan kesombongannya. Aku kalah telak. Dia cantik, kaya, dan bisa membunuhku kapan saja dia mau.

"Mohon maaf...kalau begitu di mana saya harus duduk, Nyonya?"

Dia cuma duduk tegap di tengah sofa sembari menyilangkan kakinya. Pandangannya pun lurus ke depan. Dia...tak melihatku sama sekali.

Aku menyerah. Aku sempat berpikir untuk duduk di atas tempat tidur, tapi...dudukannya masih lebih tinggi daripada dudukan sofa ini. Jelas, yang mulia tak kan senang. Jadi, aku hanya bisa memikirkan satu tempat lagi yang pas...Ya, di lantai.

"Oke, sekarang bisa kita mulai?"

"Nah, attitude seperti itu...coba dari awal kamu begitu, mungkin nggak bakal makan waktu lama."

Tahan...tahan Rega...Informasi adalah hal terpenting bukan? Bahkan jika dibandingkan dengan harga diriku saat ini.

"Oke, pada suatu hari..."

"He, bisa serius nggak sih? Aku sudah berusaha menahan amarah lo...tolong hargai!"

"Pffttt, sworry~ Ok, pertama tentang waktu itu. Aku pertama kali ketemu sama kamu di bis trans. Aku dari Jakarta, tapi maaf aku nggak bisa kasih tahu kamu alasanku ke sini. Dalam perjalanan, aku ketemu kelompok yang mencurigakan. Mereka membawa senjata."

"Teroris itu ya..."

"Iya. Jujur, aku sudah tahu tentang kebenaran Holy Friday, dan aku bukan orang satu-satunya. Ada beberapa perantara informasi di luar sana. Sebut saja broker dan 2nd broker. Aku adalah 2nd broker, yang dapat informasi dari broker yang asli. De-"

"Tunggu, broker? Kok mereka bisa tahu?"

"Aku juga nggak tahu. Tapi bukannya paranormal yang meramalkan Holy Friday berarti juga broker, bahkan mungkin lebih tahu dari mereka. Dan aku juga mengira kalau kelompok teroris itu 2nd broker. Dengan dasar itu, berarti tujuan mereka..."

"Mencuri black-box ya?"

"Iya, dan target mereka adalah sekolahmu. Aku juga mengikuti mereka dari awal. Teman sekolahmu disandera. Ada sekitar 15 orang yang berjaga di tiap kelas. Delapan di lantai dua, dan tujuh di lantai satu. Lima orang berpatroli. Dua di tiap lantai, dan satu orang sebagai reporter kepada pemimpin merekan dan penjaga gerbang. Pemimpin mereka adalah orang yang berjaga di ruang guru lantai satu. Yang menjaga gerbang ada tiga orang. Jadi totalnya ada 23 orang. Mereka membawa pedang dan pisau. Tapi, dua penjaga gerbang dan empat penjaga kelas di lantai satu membawa pistol."

Sebanyak itu? Bukankah tidak setiap orang menerima grace pada hari itu? Apa black-box sebanding dengan risiko kotornya nama mereka setelah aksi itu?

"Aku bersembunyi di UKS lantai satu dan menunggu kesempatan untuk menjatuhkan mereka satu per satu. Tapi aku melihat ada kekacauan dimulai di toilet lantai dua. Seorang anak SMP menjatuhkan salah satu teroris dengan high-kicknya. Dan hebatnya, dia tenang sekali saat melakukannya. Kamu mengambil jaket dan syalnya untuk menyembunyikan identitasmu lalu membantai mereka dari kelas ke kelas."

"Hahahaha keren kan?"

"Hmmm...tapi sekarang dia duduk melas di lantai menyimak dongengku sih..."

"Ah okok, kamu menang. Arogansimu memang nggak ada duanya. Terus, kenapa kamu ikutan? Kamu bukan tipe orang yang bakal berkorban buat beberapa anak SMP kan?"

"Kalau kamu sudah tahu itu, berarti kamu juga harusnya tahu jawabannya..."

"Hmmm...eh kamu mau mencuri black-box juga?"

"Seratus! Biarkan mereka yang dicap bersalah, jadi aku mengambil peran sebagai penyelamat dengan black-box sebagai imbalannya. Informasi memang segalanya kan?"

"Sialan! Berarti kamu menggunakan teman sekolahku sebagai tumbal."

"Di situasi itu, pilihannya cuma aku atau mereka kan? Kalu aku punya pilihan ya jelas aku pilih mereka yang jadi tumbal. Dengan begitu aku masih bisa menyelamatkan sisanya. Itu aturan terpenting saat jadi pahlawan, tidak boleh terlalu naif. Pengorbanan selalu dibutuhkan. Prioritas utama pahlawan adalah menyelamatkan dirinya sendiri dulu agar bisa menyelamatkan orang lain. Benar kan?"

"Apa...berapa korban jiwanya? Kamu tahu?"

Dia menyipitkan matanya.

"Buat apa?"

"Hah, mereka temanku, sudah je-"

"Buat apa kamu berlagak bodoh di depanku. Waktu kamu melawan mereka...aku nggak melihatmu sebagai penyelamat. Kamu kelihatan kegirangan waktu itu. Meski aku juga bisa lihat kalau kamu kawatir, tapi itu bukan karena mereka. Pilih orang lain kalau cuma mau pamer skill akting. Jangan berlagak seolah kamu peduli sama mereka deh...itu justru lebih nggak menghargai mereka..."

...Cewek ini...sangat tajam.

"Maaf..."

"Nah kan, kamu mengaku juga akhirnya..."

Chhh. Dia benar. Tidak ada siapa pun. Kehidupan SMP-ku sangat datar. Aku tidak bisa merasakan satu teman pun, aku tidak bias merasakan tantangan apa pun. Aku hanya hidup sebagai orang yang sok asyik yang dengan senang hati menerima ajakan nongkrong dari siapa pun tanpa tertarik menjalin hubungan dengan orang lain. Aku hanya tidak merasa cukup dilihat...seperti saat ini.

"Kalau gitu, giliranku yang tanya. Kenapa kamu juga ikutan? Tipikal orang kayak kamu...yang lebih suka menyembunyikan wajah aslimu untuk menghindari masalah, tiba-tiba malah lari langsung ke arahnya...pasti ada alasannya kan?"

"HAH?! Nggak usah sok tahu!"

"Ohhh, amarahmu bocor? Mau kelahi, human?"

"Tchhh...Hahhhh..."

"Hmmm?"

"Aku cuma...merasa tertantang..."

"Tertantang?"

"Aku cuma...merasa kalau nggak terjun saat itu, aku bakal kehilangan hal yang penting..."

"Perasaan abstrak ya..."

"Nggak tahu, tapi...waktu aku lihat kamu di bis trans, aku merasa bercermin. Mata birumu itu kosong, kayak....kamu bosan tapi juga lagi putus asa. Aku nggak tahu tapi...itu seolah ngomong...Apa ini akhirnya? Apa sudah cukup? Apa kamu sudah memenuhi hidupmu?"

"Eh..."

Begitu ya...ini pertama kalinya aku melihat wajahnya yang seperti ini. Kurang lebih aku punya pandangan sedikit tentangnya...tidak ada kehidupan yang sempurna...

"Jhenn?"

"Ah maaf, apa?"

"Nggak papa...balik ke topik utama yuk..."

"Hmmm..."

Dia hanya mengangguk tanpa perlawanan.

"Terus lanjutannya?"

"Oh, ah...habis itu...waktu kamu sampai di ruangan ke-5, mereka mulai sadar pembantaianmu. Sisanya yang di lantai dua langsung lari ke arahmu, tiga orang dari lantai satu juga ikutan. Untungnya salah satunya adalah yang berpatroli, jadi aku pikir itu kesempatanku. Aku hajar si reporter waktu dia lewat depan UKS terus pergi ke ruang guru. Tapi aku langsung mundur, di sana...pemimpin mereka ternyata bawa sejenis senapan serbu."

"Ha? Senapan serbu? Dari mana dapatnya?"

"Aku nggak tahu...dia punya badan yang tinggi dan kekar tapi, baru-baru ini aku tahu kalau dia itu mantan Angkatan Darat. Sampai sini kamu masih belum ingat? Apa kamu cuma ingin didongengi sampai tidur? Awas saja kalau kamu cuma pura-pura nggak ingat..."

"Hei hei santai... aku memang nggak ingat, sumpah. Jadi tolong jangan main lampu. Jhenn, kita harus hemat listrik kalau siang hari..."

"HAH? LAMPU? Kamu panggil aku lampu? Oh, kamu belum dibuat buta ya...belum pernah dengar istilah habis terang terbitlah gelap ya...SINI KAMU!"

"Eh..."

Dia mencengkeram wajahku, tepat di area mata dengan tangan kirinya. Dilanjutkan dengan mengaktifkan gracenya. Silau...bahkan meski aku menutup mata, pemandangannya masih berwarna merah terang.

"Waaaaaaa hahaha, ampun...iya iya...maaf...Jhenn...aku buta nanti...sorry sorry..."

"Sworry~?"

"Ahaha iya iyaaa... sworry~!"

Ah akhirnya dilepas. Sial, pandanganku jadi serba putih waktu aku membuka mata. Untunglah itu hanya sesaat.

"Kurang ajar fl-"

"HA? Mau satu paket tur ke surga?"

"Ag nggak, maaf."

Dasar flash-bang.

Kalau dipikir lagi...aku bisa menamai mereka seperti ini ya...para 'high-human' itu. Hari ini aku sudah bertemu dua dari mereka. Mbak-mbak 'pain-killer' sama si cewek 'flash-bang' ini.

"Ah...hampir saja aku buta. Kalau aku benaran buta gimana ha? "

"Bagus deh kalau gitu."

Dia menjawabnya dengan enteng sambil membersihkan tangannya dengan hand sanitizer. Aku tidak tahu dia memang seperti itu atau cuma ingin menyinggungku.

"Tapi, tur ke surga ya...kamu ngomong seolah-olah orang kayak kita bakal diterima di sana..."

"Pffttt- hahahaha jangan bawa-bawa aku juga sialan!"

Hmmm...Kalau aku perhatikan lagi, dia benar-benar cantik. Tawanya sangat manis, tapi...tapi kenapa aku tidak merasakan sesuatu yang selayaknya kurasakan? Ah aku tahu...

Jadi ini ya yang dimaksud dengan, 'racun tetaplah racun tak peduli seberapa bagusnya ia dikemas'.