"ARGHHH... okok maaf, ampun. Aku akan buka suara, tolong lepaskan."
"Waw, omonganmu memang bisa dipegang ya...clap clap" Jhennifer menahan tawanya dan memeriku beberapa aplaus dalam bentuk ucapan. Sebegitunyakah ia menolak untuk terlihat mengapresiasi kerjaku...
"Kak, bisa tolong ke sini? Tolong siaga buat pakai gracemu ke mulutnya kalau dia mau teriak."
"Hahaha... ok."
"Jhenn, interogasi dia!"
"Ok. Pertama, kamu siapa"
"Aku healer."
*Ctik... Jhennifer menjentikkan jarinya, aku pun juga langsung menekan kakiku.
"ARGHHH... okok, maaf maaf... Aku Dika Nugraha, healer peringkat E. Aku dipaksa untuk bergabung dengan mereka sebagai pengumpan. Tugasku mengelabuhi orang lain untuk memanggil black-box tanpa mengembalikannya. "
"Ok, asumsimu benar. Dan btw aku nggak butuh namamu! Terus, mereka itu siapa? Apa motifnya?"
"Aku nggak begitu tahu. Aku cuma mengantar temanku yang terluka ke sini dan mereka menaikkan biaya perawatannya sepihak. Terus mereka memaksaku melakukan ini sebagai gantinya. Pengumpan sepertiku dibayar seribu poin untuk tiap 10 orang yang berhasil kubohongi. Yang aku tahu, mereka cuma mencuri di rumah sakit ini."
"Kenapa nggak lapor polisi?"
"Kita... nggak bisa..."
Jadi begitu... dia perlu membayar biaya itu. Ini buruk. Menurutku, dia tak melapor ke polisi karena menurutnya mereka tak akan bisa menangani ini. Kekuatan super ini diberikan pada tiap manusia, meski begitu belum tentu semua orang di kepolisian juga memilikinya. Tingkat kriminalitas naik, dan kepolisian lah instansi pertama yang orang harap akan bisa menanganinya. Dan kalau kekacauan tak hanya terjadi di sini... mereka jelas kelabakan. Perlu adanya instansi penegak hukum baru atau mengembangkan yang sudah ada ya...
"Berapa banyak jumlah mereka?"
"Totalnya... mungkin 28 orang. Tiga orang, bos kami dan 2 asistennya adalah tenaga medis di rumah sakit ini. Dia juga sangat kuat dengan grace apinya yang memiliki peringkat A. Namanya dr. Niko."
"HA?! Dokter Niko?"
"Kenapa Kak?"
"Ah, nggak papa. Kakak cuma nggak mengiranya..."
"Tapi Kakak percaya sama healer ini?"
"Aku nggak begitu yakin, tapi... dia juga kelihatan mencurigakan akhir-akhir ini. Dia selalu pulang larut malam meski dia sudah tak ada tugas untuk dikerjakan."
Kak Renanda tampak kawatir dengan itu. Untungnya itu tak menular pada Jhennifer, dan hanya terfokus dengan apa yang ada di hadapannya.
"Ok lanjut, siapa saja yang tahu kalau kalian ke sini?"
"Cuma dia. Tugasku cuma untuk melaporkannya ke eksekutor. Selebihnya adalah tugas mereka untuk melapor ke tiga atasan itu."
"Jadi simpelnya, pengumpan itu orang yang nggak punya grace tipe kombat dan eksekutor sebaliknya?"
"Iya, benar. Dan orang itu, Jeremy, adalah salah satu eksekutor terbaik mereka. Tapi dia agak bermasalah karena jarang melapor pada atasan waktu dia berburu."
"HA? Orang serapuh wafer seribu-an ini? Ok, di mana markasmu?"
"Pffttt- Jhenn... please!"
Hanya ia yang mengatakannya yang tak menahan tawa, bahkan healer yang sedang kami interogasi pun juga ikut. Nah, kalau dipikir-pikir aku juga belum melihat orang rapuh itu...
"Hmmm? Ah, dia toh... Jhenn, dia yang pelaku yang kemarin pakai baju merah sama topi hitam merek Niki. Mending kamu ambil dulu deh poinnya sebelum si wafer siuman..."
"Sekarang juga pakai merek itu sih... hahhh... padahal cuma wafer tapi sok pakai pakaian mahal... Nahb!"
Selagi Jhennifer mengambil poinnya aku mengamati healer ini. Ia tampak tak kawatir lagi dengan situasinya. Aku memang sudah merasa aneh sejak awal mendorong bahunya. Dia mungkin menampakkan ketakutannya, tapi aku tak merasakannya.
"Om... biar kupastikan lagi. Apa Om cuma ikut mereka karena mau menyelamatkan temanmu apa untuk keuntungan pribadimu?"
"Maaf, aku tak bisa mengatakannya dengan pasti, karena menyelamatkannya juga termasuk keuntungan pribadi kan..."
Ok, aku pikir aku akan bermain dengan cara yang berbeda. Aku juga merasa ada yang ia sembunyikan. Karena mungkin... pradugaku tentang alasannya tak melapor ke polisi juga kurang tepat.
"Lah, kenapa dilepas?"
"Om, duduk saja di sofa."
"Woi, kenapa dia dilepas?"
"Ganti cara main, percaya saja deh... kamu urus saja itu wafer."
Aku menuju ujung ruangan dan mengambilkannya segelas air untuk diminum.
"Sekarang kamu punya rencana apa lagi?"
"Bukan apa-apa, aku cuma sedikit menaruh kepercayaan ke Om."
"HAH?" Seisi ruangan meneriaki pernyataanku. Tapi itu bukanlah suatu yang tak bermaksud.
Setelah gelasnya terisi penuh, aku mengambil pisau dan sengaja menenteng dan memperlihatkannya. Di tengah perjalanan aku menyelipkannya di belakang celanaku.
"Aku tahu gimana rasanya punya dorongan untuk menyelamatkan teman." Aku melempar senyumku padanya dan memberinya segelas air putih yang kubawa tadi.
"Sebetulnya, aku sudah tahu perbuatanmu sejak kemarin. Tapi aku justru melihat rasa bersalah di wajahmu waktu itu. Om, kurang menghayati peran..."
"Maaf..."
"Ah nggak papa, aku juga minta maaf sudah bawa Om ke sini. Berapa biaya untuk menebus temanmu itu?"
"Aku nggak berpikir kalau mereka butuh bayaranku, mereka sepertinya lebih butuh orang untuk bergabung dengan kelompok itu. Jadi dia di sandera dan black-boxnya dicuri. Dia punya grace peringkat B yang bisa memanipulasi air."
"Wew... padahal aku nggak tanya sampai itu loh... berarti Om sudah tahu kan aku mau apa? Ok diperjelas saja, apa Om mau ikut gabung kami buat basmi mereka?"
"Ok, aku ikut... kamu menyembunyikan pisau di belakangmu. Secara tidak langsung aku juga akan dipaksa kan?"
Aku hanya tersenyum mendengar kesimpulannya. Ia cukup bijak membaca suasana, meski masih sedikit salah.
"Ha? Rega, kok malah diajak juga dia?" Kak Renanda terlihat kebingungan dengan apa yang kulakukan. Begitu pula dengan Jhennifer, tapi... dia lebih memilih diam. Mungkin ia mencoba menebak apa yang sebenarnya ingin kusampaikan.
"Tenang Kak."
Aku merogoh bagian belakangku dengan tangan kananku dan dengan seketika mengarahkannya dengan gerakan menusuk ke wajah healer itu. Ia pun dengan sigap menghindarinya dan bergegas melakukan serangan belasan.
Aku mundur ke belakang dan ia pun mengejarku dengan menundukkan badannya. Ia mencoba meraih kakiku, dan ia mendapatkannya karena aku sengaja diam di tempat. Gerakannya sungguh cepat, lincah, dan matanya pun selalu melihat ke segala arah untuk memprediksi gerakanku.
Dia mulai menarik kakiku, dan aku pun menusukkan tanganku tadi ke lehernya. Tapi ia menangkapnya dengan tangan kirinya lalu menggenggam pergelanganku dan memutarnya.
"Eh..." Ia kaget saat melihat tanganku yang ia genggam...
"Cuma healer ya...dengan CQC seperti ini?"
"Sial, pisaunya..." Dia sontak melepaskanku dan mengambil langkah mundur lalu memasang kuda-kuda.
"Hahahaha, tenang Om. Pisaunya dari tadi di sini kok..." Aku membalikkan badanku dan memperlihatkan pisau yang kuselipkan lubang sabuk belakang celanaku.
"Eh... dari tadi? Kau cuma memancingku ya... sialan hahahahahaha"
"Ya kurang lebih... Om juga sengaja membawa orang itu untuk dihabisi sendiri kan? Karena dia jarang melapor ke atasan jadi itu titik awal yang kurang berisiko. Normalnya, orang juga bakal melapor ke polisi kalau dalam situasi itu, tapi Om bilang nggak bisa karena ada yang disandera. Dari itu, aku kira om cuma healer lemah tapi, yang barusan..."
"Ohhh... jadi ke sana arahnya ya... Bener juga, bahkan Kak Ren juga sempat ingin melapor kemarin. Juga... toh kepolisian nggak begitu buta sampai nggak tahu kalau ada kasus ini di sini kan?"
"Jhenn, kamu paham Rega ngomong apa?" Kak Renanda celingak-celinguk melihat ke arahku dan Jhennifer secara bergantian.
"Jadi karena kita juga sudah di tim yang sama, bisa tolong buka saja identitas om?"
"Aku tak menduga bocah seusia kalian ternyata bisa setajam ini... Aku intel dari kepolisian."
Dan begitulah... apa yang perlu dia laporkan ke polisi kalau dia sendiri adalah salah satunya. Aku jadi merasa malu... mengajak penjarah seperti Jhennifer berlagak polisi di depan polisi yang berlagak maling.