Kami setuju untuk melakukan sparing. Ketegangan mulai mengisi ruangan. Dia dan mimik tangan karatenya, dan aku yang meniru kuda-kuda pencak silat, plus cutter.
Itu hanya tangannya. Dia tak memasang kuda-kuda seni bela diri apa pun. Aku rasa dia hanya meniru shuto uchi hanya untuk mendikte dirinya kalau tangannya itu untuk memotong target.
Aku pun juga sama, bukan master, pelatih, maupun murid. Aku hanya kebetulan belajar dari film dan video di internet tentang bela diri ini. Bagiku itu sangat keren karena yang kupelajari dari gerakannya adalah soal mematahkan, mematahkan, dan mematahkan. Risikonya kecil untuk mendapat julukan pembunuh... yang kupelajari hanya mematahkan tulang dan sendi.
Ah, tidak... aku mulai terpengaruh kesombongan Jhennifer. Aku mulai kawatir melukai wanita rapuh di depanku ini. Jarak kita hanya sekitar 3 langkah, kurang lebih 4 langkah lebarku. Bagaimana kalau aku kebablasan membunuhnya secara tak sengaja? Sial... ia mulai menulariku.
"Kasih aba-aba Mas Dik!"
"Ok... MULAI!"
Aku bergegas menyerangnya saat dia masih kehilangan fokus karena isyarat yang tiba-tiba itu. Laki-laki macam apa aku ini, yang menyerang seorang wanita saat ia kehilangan fokus... itu yang harga diriku katakan terhadap otakku. Tapi sayangnya, kecenderunganku jadi lebih ke intelek sejak Jhennifer menginjak-injak harga diriku dengan parahnya.
Keputusanku juga benar, karena bahkan meski dirinya hilang fokus sesaat, dia bisa menghindari seranganku. Dia mengambil langkah ke samping dan menggunakan udara untuk menghembuskan cutter yang kutusukkan ke arah tepi perutnya.
Aku melanjutkan seranganku dengan cutter ke arah wajahnya. Ia pun menghindarinya lagi dengan cara yang sama.
"Kamu?!!" Dia terkejut oleh itu.
Memang... aku mengarahkan ke wajahnya tapi, aki tahu kapan aku harus menghentikan tanganku. Aku hanya ingin tahu kecepatan respons, bentuk refleks, dan pengendalian udara macam apa yang akan ia lakukan pada situasi itu.
Sekarang... bagaimana mengatakannya ya... aku jadi terpikir sebutan yang cocok untuknya. Blower. Ya, wanita ini jelas seperti blower. Eh tunggu... aku juga terpikir hal yang lebih penting yang mungkin bernilai investasi miliaran rupiah.
Apa... apa menggandengkan high-human sepertinya dengan high-human yang bisa mengendalikan air akan membuat mereka menjadi 'Air Conditioner'? High-AC? Apa itu juga butuh high-human yang bisa mengontrol temperatur?
"Pffttt..."
"Kenapa ketawa sendiri?"
"Ah, nggak papa Kak Blo- Yol."
Jarak kami hanya 2 langkah, dan aku pun menyerahnya lagi. Dia juga masih bisa menghindarinya lagi. Caranya menggunakan udara benar-benar meningkatkan manuvernya. Dia tidak melangkah, tapi meluncur. Dia hanya mengangkat kakinya sedikit dan menggunakan udara di telapak kakinya untuk bergerak. Debu yang ada di lantai juga terhempas ke arah yang berlawanan dari arah gerakannya.
"Enggg... kakak nggak mau balas serang?"
"Kamu kepingin?"
"Ya, tapi jangan kasar-kasar ya..."
Kami terkikik sendiri dengan kata-kata yang kami gunakan.
*Whusss... Ia pun mulai menyerang dengan tangannya.
"Waaa..." Aku mengambil langkah mundur dengan segera untuk memasang kuda-kuda lagi sembari menutupi wajah dengan tangan kiriku.
Kukira ia akan menggunakan gerakan semacam karate karena ia memasang pose seperti itu pada tangannya. Yang ia lakukan malah menampar angin dari bawah menuju mukaku dan membuat debu dan serbuk gergaji di lantai jadi bertebaran ke atas menutupi pandanganku.
"Rega, ini bagaimana cara menggunakan grace . Dengan intelektual, bukan dengan serangan yang membabi buta seperti Jeremy."
"Hehhh~ intelektual ya..."
"Kamu mengejek Kakak?" Dia terlihat marah padaku.
Aku pun tak bermaksud mengejeknya. Malahan, bukannya dia yang meremehkanku... seolah aku bukan seorang yang intelektual. Aku hanya tak memilikinya... grace.
"Ah, nggak kok Kak, aku cuma belajar sesuatu..."
"Hehhh... apa?"
*Clanggg...
"Eh, kenapa dibuang itu cutter? Give up?"
"Nggak... hati-hati kak..."
Aku langsung menyerangnya, lagi, dengan membungkukkan badanku. Dia menghindar ke belakang dengan pegas angin di kakinya lagi tapi, inilah yang kuharapkan. Target awalku memang kakinya dan aku sukses mendapatkannya. Aku menggenggam pergelangan kaki kirinya lalu menarik dan mengangkatnya setinggi pinggulku.
Dia kehilangan keseimbangannya dan mulai terjatuh tapi, udara tak mengizinkannya. Dia memutar tubuh atasnya sehingga dapat menapakkan tangan ke lantai. Embusan udara muncul di pergelangan kakinya yang ada di genggamanku. Itu terasa berembus secara spiral dari atas pergelangan kaki sampai ke telapaknya, yang membuat genggamanku juga terasa mengendur.
Aku melepaskannya tapi juga mendorong telapak kakinya untuk membuatnya kehilangan keseimbangan lagi. Kemudian, aku ganti meraih kaki kanannya. Aku tak akan membiarkan kedua kakinya menapak tanah.
Dia memiliki grace, lumayan mahir menggunakannya, dan seorang wanita yang cerdas juga. Keunggulanku darinya hanya kurangnya teknik, dan pengalaman bertarungnya. Membuatnya handstand adalah satu-satunya opsiku untuk membuatnya terfokus menggunakan udara di kakinya.
Kalau itu aku... aku akan melompat dengan tanganku, memutar tubuhku ke kiri lalu menggunakan kaki kiriku yang bebas untuk menendang leher musuhku.
"Tchhh..." Dia memelototiku.
*Whussssss... Embusan angin yang kuat menghantamku dari depan.
*Crasss
"Eh?"
Perilaku udaranya berbeda. Itu tidak sekedar embusan lagi tapi juga menyayat. Dia mengurangi volume dan area hantaman udaranya tapi di sisi lain ia meningkatkan kecepatannya.
"Ok Kak, makasih... sekarang aku jadi nggak ragu..."
"Eh... Kam-"
Aku menarik kaki kanannya dan berhasil mendapatkan kaki kirinya. Saat aku berhasil mendapatkan keduanya, aku mengangkatnya setinggi mungkin hingga ia kehilangan tapakannya di lantai. Sekarang ia hampir kayang dengan kedua kaki yang terlipat di bahu kiriku.
Kemudian, aku menempatkan lutut kiriku pada punggungnya dan mengangkatnya hingga dia benar-benar kayang. Saat kedua tangannya lepas ikut terangkat, aku genggam yang kanan dengan tangan kiriku. Sekarang ini sempurna.
Ia berusaha untuk lepas tapi, sudah terlambat. Ia sudah terkunci diposisinya dan tinggal satu langkah lagi...
*Krttt...
"AArghhh... ok... ok... give up!" Ia merintih saat aku menekan tulang belakangnya dengan lututku.
"Waduh, waduh... Reg, lepas deh... kasihan dia..."
"Hehehe ok... Maaf Kak Yol."
Aku membebaskannya dengan melepaskan tangannya terlebih dahulu agar ia dapat menapak tanah. Lalu, aku turunkan lututku serendah mungkin dan terakhir, aku meletekkan kedua kakinya dengan rapi di lantai. Ah... betapa lembutnya aku terhadap wanita...
"Hahhh... hahhh... hahhh..." Ia terengah engah sembari berbaring dengan santainya di lantai.
"Awww, punggungku..."
"Maaf Kak, apa tadi aku kebablasan?"
"IYA!!" Ia menyentakku sembari mengusap punggungnya. Matanya pun menatap tajam diriku.
"Gini-gini aku kan juga perempuan, kok kamu bisa setega itu sih?"
Ya... karena aku salah satu pejuang kesetaraan gender... aku tak bisa mengatakannya dan hanya memberinya tanganku untuk membantunya berdiri.
"Tapi kan Kak Yol punya grace buat kontrol udara." Aku mengucapkannya dengan senyuman agar ia tak segan menerima uluran tanganku. Ia pun akhirnya menerima.
"Eh... bentar. Aku baru ingat... kamu tadi nggak pakai grace? Apa gracemu semacam penguat tubuh? Kok bisa selincah itu?"
"Hahaha, nggak kok Kak. Itu cuma teknik bertarungku. Kakak mau aku kasih lihat graceku?"
"Lah, berarti bukan penguatan tubuh? Terus apa dong?"
"Apa Kakak bisa pindah posisi black-spot?"
"Eh, black-spot bisa dipindah" Om Dika menyahut kaget.
"Oh... jadi kamu juga tahu itu ya... itu bisa Mas. Mungkin Mas Dik juga harus coba. Itu berguna buat bohongi black-spot checker. Aku juga sudah latihan buat pindah posisinya." Dengan wajah angkuhnya dia kembali ke tempat duduknya dan menyeruput coklat panasnya lagi.
"Ok kalau gitu..." Aku mendekati Yolanda dan menepuk bahu kirinya.
"Di sini kan?"
"Eh, kamu mau coba tebak posisi black-spotku? Tapi sayang... salah!" Dia mengatakannya tapi, ia tak bisa menyembunyikan ekspresi kaget sesaat saat aku menepuknya. Wanita ini agak mirip Jhennifer.
Black-spotnya berpindah. Areanya lebih kecil dari milik Om Dika yang memiliki 6 ribu poin tapi, hitamnya sedikit lebih pekat. Jadi begitu ya cara menghitungnya...
"Kenapa harus bertele-tele cuma buat kasih tahu gra-"
"Disini. Ard-Grace!" Aku menggenggam tangan kananya yang ia gunakan untuk membawa gelas berisi coklatnya.
"Eh, gim- gimana kamu tahu kalau aku pindah di situ? Ah nggak, kamu cari kesempatan buat pegang-pegang kan, hayo..."
"Coba pindah lagi deh?" Aku pun melepaskan tangannya.
"..." Ia hanya terdiam, tapi posisinya black-spotnya berpindah.
"Bahu kanan, ke kiri, ke leher, ke dahi... 12 ribu poin kan?" Aku menebak tanpa menyentuh tubuhnya.
"Wha- HA?! Ka- KAMU BISA LIHAT?!!" Dia sontak mengentak meja.
"Baru sadar? Sekarang Kakak kurang lebih paham gimana aku beroperasi kan?"
"Wow... jadi ini kenapa kamu diajak ya... Kamu juga tahu berapa poinku. Kalau pakai grace itu kamu jadi nggak perlu pengumpan ya... ditambah cara bertarungmu... ah" Ia berhenti berucap dan mengarahkan pandangannya padaku.
Polisi di belakangku juga dari tadi tak mengucap apa pun mengenai kemampuanku ini. Tapi aku sempat melihat wajahnya. Ekspresinya seolah-olah ia menahan ucapannya tapi, di sisi lain matanya berbinar seolah ia menemukan sesuatu yang menarik.
"German Shepherd!" "Anjing K-9!" Mereka berdua mengucapnya bersamaan.
"HA?!!"
"Whahahaha Mas Dik ngomongnya suka benar hahahahaha"
"Hahahahahaha Mak Yola juga hahahahahaha ternyata aku tadi mungut anjing ya hahahaha"
Oh, jadi ini toh yang mereka tahan dari tadi... sialan.
"Ya ya ya, ketawa saja sampai puas!" Aku menghiraukan bulian mereka dan duduk di sofa tempat Om Dika duduk tadi.
"Pffttt- hahahaha"
"WOY! Kenapa malah ikut ketawa juga? Hahahaha memang anak aneh..."
"Ah maaf maaf hahahaha..."
Hahaha... ya... tak kuduga semudah ini... akhirnya selesai. Tujuan pertama untuk menyusup ke kelompok mereka berhasil. Sekarang ke tujuan kedua.