Chereads / Reverse Orbital [IND] / Chapter 5 - Dia Playmaker yang Buruk

Chapter 5 - Dia Playmaker yang Buruk

"Oke, lanjut!"

"Kamu ngomong sama siapa? Mana attitudemu yang tadi? Susah banget diajari..."

Cewek ini...semakin aku merendah, semakin rendah juga dia memperlakukanku...tapi untuk bicara dengan level yang sama pun juga tidak mau.

Tapi menurutku dia memang pantas untuk itu. Justru di sanalah dia menunjukkan kemanusiaannya. Kalau dia rendah hati dengan semua yang ia miliki...itu malah terlihat palsu.

"Hahhh...tolong ceritakan kelanjutannya yang mu-"

*Ringgg...Ringgg...

Ada saja yang mengganggu, semoga Yang Mulia tidak marah.

"Ponselmu? Jawab saja, barang kali penting."

Aku mengambil ponselku, setelah mendapat izin dari Yang Mulia. Oh, Kak Renanda ya...sudah kuduga.

"Halo?"

"Halo, kamu masih sama Jhennifer?"

"Iya, kenapa Kak?"

"Di sini ada orang yang tiba-tiba pingsan."

Aku mengubahnya ke mode speaker agar Yang Mulia juga bisa mendengarnya.

"Orang luar atau pasien?"

"Untungnya bukan pasien. Aku membawanya ke Rose No.27 di lantai tiga. Sekarang dia sudah siuman. Bisa kalian ke sini mumpung belum ada orang lain?"

"OK Sus!"

Cahaya yang menyilaukan datang dari arah Jhennifer, diikuti dengan kepergiannya.

"Terima kasih, Kak."

"He em, sama-sama, dahhh..."

*Bippp...Bippp

Ah...apa aku rebahan saja di sini? Aku tertarik, tapi kalau aku ikut ke sana, berarti aku akan berurusan dengannya lagi...

"Ahhh kamarnya terasa nyaman banget sekarang..."

Aku berbaring tempat tidur dan berguling-guling di atasnya. Aku benar-benar rindu kedamaian ini...

Angin sepoi-sepoi yang masuk dari jendela juga terasa nyaman. Ngantuk...

[1 domba...0,1 detik sudah cukup. 2 domba...hehhh~ kamu nggak punya grace hehhh~. 3 domba...siapa yang bayar? 4 domba...Attitude? 5...arrrggg]

Sial, aku tidak bisa tidur. Terus, bagaimana lanjutannya tadi? Aku sudah membuat diriku serendah itu untuk dapat info yang dia punya, tapi belum dapat versi lengkapnya.

Eh tunggu...bukannya kesepakatan awal informasi ditukar informasi ya...kenapa malah jadi harga diriku yang ditukar?

Gawat, ini gawat. Kehausanku akan informasi justru membuatku kehilangan harga diriku. Aku harus mengatur ulang sikapku padanya. Padahal tadi aku sudah sempat memuji karena dia memanusiakan dirinya...tapi di saat yang sama dia juga tidak memanusiakan lawan bicaranya.

Aku berjanji akan membalasnya. Aku berjanji akan tegas dengannya. Aku berja-

*Ringgg...Ringgg

"Halo?"

"Aku cuma ngomong sekali! CEPET...KESINI...SEKARANG!!"

"Siap Yang Mulia!"

*Bippp...Bippp

Maaf diriku...aku mengingkari janjiku secepat ini...

Aku bergegas ke sana...[Siapa yang bayar?]. Untungnya elevator dekat dengan kamarku, tapi...[Attitude?]. Cih lama! Sial, lewat tangga saja.

*Brakkk...

Aduh, aku menabrak seseorang. Kaus merah dan topi hitam merek Niki. Dia juga tinggi...sekitar 180-an cm. Aku agak tersinggung saat dia membenahi posisi topinya, padahal tidak mungkin aku menabraknya sampai setinggi itu. Karena aku cuma 165 cm.

"Kamu nggak papa?"

"Ah, maaf pak, saya tidak seharusnya berlari di lorong."

"Nggak masalah. Tenang bro, jangan terburu-buru. Lain kali hati-hati."

"Ok bro, terima kasih."

Aku melanjutkan perjalananku...lebih terburu-buru.

Tapi orang itu...aku baru lihat yang sepertinya. Flek hitamnya seperti tahap telofase pada pembelahan sel. Nah, bukan saatnya penasaran tentang itu. Kalau aku tak segera sampai, tubuhku yang akan terbelah.

Nah itu ruangannya. Hmmh...toilet, harus ke sana terlebih dulu...airnya kurang.

Ok. Keringat, ok. Ekspresi, ok. Tangan, tremor sedikit...nah ok. Sempurna, saatnya masuk.

"Ap- apa yang terjadi? Apa black-boxnya benar dicuri?"

"Rega, keringatmu banyak banget...kamu nggak papa?"

"Nggak papa kok Kak, aku tadi lari ke sini kawatir kalau pelakunya datang ke sini juga."

"Ouhhh, jangan kawatir. Jhennifer sudah di sini dari tadi kok. Kakak kan juga punya body-strengthening."

"Hehehe, syukurlah kalau begitu."

Kak Renanda terlihat kawatir padaku sambil menepuk-nepuk kapelaku. Tapi dia...cuma menyipitkan matanya dengan sinis, dan menggerakkan bibirnya tanpa suara di belakang Kak Renanda.

[O-M-O--N-G-K-O-S-O-N-G]

Tidak apa, aku mulai terbiasa dengan ini. Setidaknya dia tidak bermain dengan lampu yang menyorot laser ke mataku lagi.

"Enggg, bagai mana keadaan Nona?"

"Eh...aku baik-baik saja tapi...kalian ini siapa?"

Aku menatap Jhennifer, dan dia pun mengangguk.

"Dia cuma pemban- temanku."

Kan...dia mulai lagi...

"Aku membawanya ke sini karena dia pernah mengalami hal yang sama dengan Anda."

"Hah?"

Kak Renanda memelototiku, dan aku pun menatap Jhennifer dengan kebingungan.

Dia berjalan memutari si korban dan membelakangiku. Di balik punggungnyalah, dia memberi isyarat. Serpihan cahaya muncul dan membentuk pisau kecil.

Oke, aku mengerti. Aku mengedipkan sebelah mataku ke Kak Renanda. Awalnya di kebingungan, tapi akhirnya dia mengangguk setelah aku mengedipkan mata berulang kali.

Jhennifer hanya ingin si korban merasa nyaman karena ada juga korban lain yang menemaninya. Dan dia juga tepat untuk memilihku memainkan peran ini, tapi...

"Rega, bisa kamu ceritakan kejadianmu?"

Kan...dia bukan memilih pemeran, tapi menumpukan beban padaku.

Harusnya aku sudah tahu...pengorbanan selalu dibutuhkan, mungkin adalah kata-kata favoritnya. Dia melemparkan beban penipuan ini padaku. Terpaksa...oke.

Pertama, baca alurnya. Dari saat Jhennifer menelefon hingga saat ini, sekitar...4 menit. Kata Kak Renanda, si korban juga sudah siuman dari awal dia menelefon. Dan ekspresi si korban...ragu dan kebingungan. Berarti kurang lebih, Jhennifer baru saja menceritakan tentang Holy Friday dan si korban belum bisa menerimanya. Jadi peranku mulai dari situ.

"Enggg...kejadiannya kemarin. Aku terbaring di sini sejak Holy Friday hingga kemarin. Karena aku merasa bosan jadi aku berkeliling dan...aku melihat banyak orang menggunakan sihir seperti di film. Aku berbicara dengan salah satunya dan dia memberi tahuku sesuatu yang tidak begitu kuingat...ugh...lalu ketika aku kembali menuju kamarku, aku disergap."

"Yang nggak begitu kamu ingat? Apa itu soal Holy Friday yang tadi mereka bicarakan?"

"Menurutku seperti itu. Sama seperti Anda yang juga tidak mengingatnya kan? Baik soal terjadinya Holy Friday atau soal grace..."

"Ya...itu kenapa aku nggak percaya. Kukira itu cuma cerita yang dibuat-buat, karena aku sendiri juga nggak ingat ada gerhana hari Jumat lalu..."

"Jhenn, tolong tunjukkan milikmu!"

Jhennifer menunjukkan pedang cahayanya yang menyilaukan ke si korban. Dia terlihat tidak percaya awalnya, tapi setelah beberapa saat akhirnya dia bisa menerimanya.

"Lalu...saat aku bangun pagi ini, hanya itu yang kuingat. Suster Renanda datang ke kamarku untuk melakukan pemeriksaan tubuh. Dia juga bertanya kenapa aku berjalan sambil menunjukkan black-boxku dengan santainya kemarin malam. Aku juga kebingungan, tapi kemudian temanku, Jhenn datang dan memperingatkanku tentang pencurian black-box. Tapi naas, aku ternyata sudah jadi salah satu korban. Pada akhirnya mereka menceritakan tentang Holy Friday padaku."

"Jadi begitu ya...aku juga merasa aneh saat bangun tadi. Kok, bisa-bisanya aku tiba-tiba pingsan saat mengobrol sama cowok ganteng, hmmm...sayang sekali."

"Anda ingat wajahnya?"

"Hmmm...dia tinggi terus...ganteng..."

Tidak tidak tidak, tahan Jhenn...

Jhennifer sudah siap dengan pedang cahayanya yang ia sembunyikan dibalik punggungnya.

"Ahahahaha Kakak bisa saja haha...ha...apa Kakak bisa memberikan ciri-ciri yang lebih spesifik?

"Hmmm...kalau kuingat-ingat, dia pakai topi hitam sama hmmm..."

"Baju merah merek Niki?"

"Nah iya! Bagaimana kamu bisa tahu?"

Harusnya tak kuucapkan. Dalam sekejap pandangan mereka semua berganti ke arahku. Satu orang dengan ekspresi kaget, dan dua orang menyipitkan matanya. Jadi...sekarang aku yang diinterogasi ya?

"Aku tidak sengaja menabraknya saat menuju ke sini."

"Terus?"

"Apa?"

Jhennifer menghela nafasnya.

"Ok terima kasih Nona. Terima kasih juga Sus. Rega...balik, sekarang!"

"Hah kemana? Mengejarnya?"

"Hahhh...sudah telat gara-gara kamu telat sadar. Jadi mending balik dulu saja..."

Nada bicaranya memang rendah, tapi matanya menusuk tajam ke arahku.

"Ah ok, iya, maaf. Enggg...terima kasih Kak. Kak Rena juga, terima kasih, aku balik dulu."

"Ok, sama-sama."

"Okay, aku nanti juga ke sana habis sifku selesai."

Dengan senyum manis dan lambaian tangannya, Kak Renanda melepas kepergian kami berdua.