Chereads / Reverse Orbital [IND] / Chapter 6 - Pengecut yang Mencurigakan

Chapter 6 - Pengecut yang Mencurigakan

"Kayaknya aku butuh memperpanjang sewa kamar ini deh...Nggak mungkin ini bisa selesai satu hari. Kamu juga harus ikut!"

"Ha? Tapi aku kan sudah sehat."

"Kalau begitu mau kubuat sakit lagi?"

"Ah, ya, aku nurut."

"Hmmm...kamu laki-laki, sehat pula, berarti tidur di sofa ok kan? Tadi kamu juga kayaknya ngebet banget duduk di sana kan?"

"Loh, kamu juga tidur di sini? Kamu kan kaya, sewa kamar baru dong..."

"Ini rumah sakit, bukan hotel. Kamu nggak merasa bersalah merebut hak orang sakit yang lain?"

"Jhenn, butuh cermin?"

"Butuh laser?"

"Okok, sofa! Sofa sudah cukup. Ya, ya aku suka banget kok tidur di sofa. Kasurnya biar buat Yang Mulia."

"Bagus..."

Jujur, aku lebih suka berurusan dengan pelakunya secara langsung daripada harus berurusan dengannya. Dia selalu punya alasan untuk membuatku tak punya pilihan.

Dia sudah membayar biaya perawatanku, jadi aku harus menemaninya. Oke dia benar. Aku memang merasa berhutang padanya.

Dia memperpanjang sewa kamar ini daripada menyewa kamar baru agar orang sakit lain bisa mendapatkannya. Oke dia benar, lagi. Aku juga merasa bersalah kalau sampai iya.

Dia menyuruhku tidur di sofa jadi dia bisa tidur di kasur. Oke dia benar, lagi. Laki-laki macam apa yang akan membiarkan seorang gadis tidur di sofa sementara dia tidur di tempat tidur yang nyaman.

Aku benar-benar tak punya pilihan saat berurusan dengannya. Mungkin ini juga salahku karena aku sudah menunjukkan diriku padanya. Seperti yang pernah kukatakan, seorang yang menunjukkan dirinya, berarti juga membuka kemungkinan untuk dipermainkan orang lain.

Tapi...aku cukup senang karena itu mereka. Kalau dia dan Kak Renanda sudah bersamaku sejak hari itu, mereka juga pasti sudah tahu. Biasanya mereka akan bertanya, "Di mana orang tuamu?". Tapi mereka tidak. Syukurlah.

"Hiii jijik, kenapa cengar-cengir sendiri? Jangan pikir yang aneh-aneh ya..."

"Apa aku kelihatan seberani itu sampai punya pikiran aneh-aneh ke calon pembunuhku?"

"Hmmm...iya juga sih."

"Oke langsung ke intinya. Cer- Tolong ceritakan lanjutannya."

Kali ini kami duduk dengan strata yang sama. Dia duduk di tempat tidur, sementara aku duduk di sofa.

"Nggak! Sekarang giliranmu. Masih banyak yang kamu simpan kan?"

"Bisa kunci pintunya?"

"Ha? Kamu menyuruhku? Lagian buat apa? Kamu mau melakukan yang aneh-aneh ya?"

"Jhenn, aku ini musuh apa temanmu? Ini nggak ada gunanya, kalau mau mengobrol serius ya harus dengan strata yang setara. Kalau kamu tetap dengan kesombonganmu, aku yang keluar."

"Hehhh~ mulai berani ya..."

Tatapan mata kami saling beradu, tapi tak satu pun bergeming, baik itu dia atau pun diriku.

Aku sejujurnya tak keberatan berbincang dengan model seperti yang sebelumnya. Tapi di sisi lain, aku juga ingin melihatnya sedikit menghargaiku.

"Now you show that eyes huh..., okok, aku kunci pintunya. Rugi juga bunuh kamu di sini."

Dia menguncinya. Sekarang jadi terasa sangat sunyi. Mengunci pintu memang tidak akan membuat perbedaan apa pun baik untuk suara yang masuk maupun yang keluar dari ruangan ini. Itu hanya untuk membuat ruangan ini terasa lebih memiliki privasi.

"Aku punya 2 hal. Pertama, apa kamu ingat cerita yang tadi kuberi tahu ke mbak-mbak korban itu?"

"Iya...itu asli ya?"

"Iya."

Nah, lebih mudah berbicara dengannya seperti ini. Untungnya dia juga cewek yang cerdas.

"Sudah kuduga, menyerahkan peran itu ke kamu memang pilihan yang benar."

"Nah, itu cuma kebetulan. Aku ketemu om-om healer kemarin, terus dia cerita soal Holy Friday plus kasih informasi yang nggak lengkap. Tujuannya buat memanggil black-box tanpa dikembalikan."

"Oh, paham. Mereka nggak kasih tahu 'Dis' ya? Eh nggak...itu kurang rapi. Mereka mengejanya waktu ngomong, biar kamu percaya kalau black-box bakal balik sendiri...ya kan?"

Ya, untunglah dia cerdas. Dia mengeliminasi kemungkinan lain dengan asumsi seperti, "Kamu nggak sebodoh itu sampai nggak tanya cara mengembalikan black-box kan?".

"Benar, seratus!"

Aku memberikan senyumku, mencoba mencairkan suasana.

"Hnggg, kata-kataku...mau ganti suasanya ya..."

"Hahaha maaf, lebih enak bicara kayak gini sih, tapi...suasananya malah bikin tegang..."

"Okok, serah..."

Dia membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan memutar badannya membelakangiku. Sekarang malah dia yang terlalu santai.

"Terus?"

"Apa kamu juga tahu soal yang patroli?"

"Oh, maksudmu orang-orang yang mondar-mandir di tiap lantai?"

"Iya. Cuma asumsi sih...tapi menurutku mereka juga satu komplotan dengan si om-om healer."

"Jadi gitu ya...mereka berkelompok untuk menjarah black-box orang-orang di rumah sakit. Sekarang pertanyaannya...mereka cuma orang luar apa orang dalam juga ikut terlibat."

Itulah yang membuatku penasaran. Kalau orang dalam ikut terlibat...berarti ini lebih terorganisir dari yang aku perkirakan. Rumah sakit yang seharusnya menjaga informasi pribadi pasiennya malah membocorkannya dan berkomplot dengan kriminal untuk menjarah black-box.

Tapi menyebutnya kriminal juga kurang tepat. Menyerang fisik hingga pingsan mungkin termasuk, tapi bagaimana jika ada grace yang dapat membuat orang lain tak sadarkan diri meski tanpa kontak fisik. Masalah utamanya adalah belum adanya regulasi resmi dari pemerintah tentang penggunaan grace.

Membuatnya pun juga makan waktu. Bukan masalah perincian regulasinya, tapi lebih ke respons orang-orang terhadap regulasi tersebut. Karena istilah grace yang dicetuskan para paranormal itu sendiri, juga seolah disengaja untuk membuat kericuhan. Mereka jelas tidak akan terima begitu saja dengan regulasi yang membatasi penggunaan grace yang menurut paham mereka adalah anugerah dari langit untuk kebebasan mereka.

Kalau aku ingat lagi, Jhennifer juga mengatakan kalau ada mantan tentara yang terlibat pada kasus terorisme di sekolahku. Kalu memang begitu, berati ada satu kemungkinan yang lebih buruk lagi. Kemungkinan adanya keterlibatan penegak hukum atau bahkan pemerintah sendiri dalam kasus terorisme dan kekacauan ini.

"Jhenn, boleh tanya sesuatu?"

"Iya?"

"Menurutmu, Kak Renanda itu gim-"

"HAH?"

Dia langsung memutar badannya dan menatapku.

"Dari semua orang kenapa dia? Dan dari semua orang yang curiga ke dia kenapa malah kamu? Serius deh, maksudku, bukannya kamu tadi kelihatan dekat banget sama Suster Renanda?"

"Maaf...kalau kamu nggak mau jawab mending nggak usah dibahas lagi."

"Ah, okok. Tapi kasih tahu dulu dasarnya apa?"

"Enggg...janji nggak ketawa?"

"Pfttt- justru kalau kamu ngomong gitu malah bikin ketawa."

"Jhenn..."

"Hahaha, maaf, aku tahu kamu busuk tapi nggak sangka kalau seburuk ini."

"..."

"Okok, maaf."

"Bagaimana ngomongnya ya...dia sudah sama aku sejak Holy Friday kan? Aku juga nggak sadarkan diri...jadi aku juga nggak tahu apa aku punya grace sebelumnya. Ada kemung-"

"Pfttt, hwahahahahahahaha karena itu? Kamu masih belum terima kenyataan kalau kamu nggak punya?"

"Kurang ajar! Kamu sudah janji kan?"

"Ahahaha maaf, itu di luar dugaan. Tapi iya juga sih, kamu tadi juga curiga ke aku...Siapa sangka kalau kamu punya trust issue separah itu...Hahaha, kamu terlalu sering mengakali orang lain sampai kamu terlalu waspada di akali ya...."

"Jhenn..."

"Ahaha...ha...maaf maaf."

"Tapi tadi kan kamu bilang kalau black-box bisa dicuri kalau dalam mode visible atau dengan kata lain si pemilik nggak sadarkan diri atau mati kan? Jadi ada kemungkinan kan..."

Dia menghela nafas panjang.

"Ceritaku waktu di kamar Rose No.27 juga karena mau tahu responsnya. Tapi aku nggak yakin kalau dia memang nggak ada hubungannya apa cuma pura-pura nggak tahu."

"Hmmm...kamu menang tipe yang terencana sih...Oke, salahku nggak cerita sampai selesai."

"Memang kenapa?"

"Oke aku lanjut yang tadi. Waktu kamu pingsan, bala bantuan datang. Polisi, tentara, ambulans, sama...orang-orang pribadiku. Orang-orangku berhasil memaksa mereka untuk menyerahkan teroris ke tangan kita. Itu juga termasuk untuk menyembunyikan identitas kita, termasuk kamu juga. Dari itu, aku dapat semua hasil jarahan black-box di sana."

"Jadi itu yang kamu maksud mengambinghitamkan mereka ya..."

"Brilian kan? Dan lagi, aku bakal buat kamu merasa bersalah ke Sus Rena..."

"Ha?"

"Dia juga ada di sana hari itu. Dia tanya ke aku detailnya. Terus dia buka jaket sama syal yang kamu pakai, dan dia kaget waktu tahu kamu ternyata salah satu siswa sekolah itu. Dia langsung mengajukan surat permintaan tugas untuk khusus merawat kamu secara pribadi. Kamu tahu dia ngomong apa waktu itu?"

"..."

"Caranya berkorban untuk menggantikan yang lain... Aku jadi ingat adik perempuanku."

Maaf, Kak...Ini benar-benar menamparku dengan keras. Aku rasa dia benar, aku jadi terlalu curiga. Tidak, aku juga benar, yang salah adalah sasaranku. Aku terlalu menyamaratakan semua orang.

"Aku nggak pernah ngomong kalau kamu berkorban untuk teman sekolahmu, juga kalau kenyataannya kamu malah kelihatan kegirangan. Yang aku lihat dari kamu waktu itu ya cuma sisi kegiranganmu, tapi beda dengannya. Dia melihatmu sebagai penyelamat. Dia juga yang pertama mendonorkan darahnya buat kamu.

"...Sial...Ma-"

"Jangan ke aku, simpan itu buat dia. Kukira dia juga bakal senang dengar ucapan terima kasih langsung dari adik barunya."

"Ya...Makasih Jhenn..."

Dia bangun dari posisi tidurnya dan duduk di tempat tidur itu. Dia mencoba, tapi dia gagal...untuk menyembunyikan senyuman tipisnya.

"Iya sama-sama."