"Kayaknya dugaanku benar..."
"Dugaan?"
"Kakak sebenarnya nggak begitu ingin menyembuhkan orang lain. Mungkin iya, tapi, itu bukan prospek utama kakak."
"Hah? Maksudmu?"
"Kakak cuma takut. Takut merasa sakit. Saat kakak menemani pasien, kakak juga merasakan sakitnya. Overthinking-mu lah yang membuatmu mengalami vicarious pain. Kakak mungkin berharap bisa menyembuhkan mereka tapi bukan untuk mereka, melainkan untuk dirimu. Karena ketika rasa sakit mereka hilang, rasa sakit delusimu juga hilang."
"Nggak gitu..."
"Maaf, tapi kalau boleh blak-blakan, kakak sejatinya nggak benar-benar ingin menyembuhkan orang lain. Melainkan, berharap cukup tangguh sehingga kakak tidak bisa merasakan sakit. Apa aku salah?"
"Ah..." Dia membisu untuk beberapa saat.
"Ha... haha... hahaha... kelihatan begitukah? Pecundang kan... haha..."
Dia menundukkan kepalanya dan mengusap dahinya, lalu matanya.
"Aku menginginkan profesi ini sejak kecil. Menyembuhkan penyakit orang lain, menghapus rasa sakit mereka, membuat orang lain bersyukur aku ada di sana... Aku pun juga sudah tahu sejak seusiamu, fakta bahwa aku takut rasa sakit tapi aku berusaha tegar."
Dia semakin menunduk.
"Nggak papa, suatu hari nanti aku bisa menanganinya... itu aku katakan, sampai tak bisa kuhitung lagi berapa kali aku membohongi diriku sendiri. Tapi ketakutanku ternyata nggak larut oleh waktu ya... overthinking... vicarious pain... ha ha ha aku sampai diceramahi anak kecil ya hahaha. Aku masih sama, seorang pengecut..."
Setidaknya dia mencoba. Itu sesuatu yang patut diapresiasi, dia terus mencoba sampai ke titik ini. Kalau itu aku, mungkin aku akan lari.
Memang seperti inilah dunia ini. Ia menunjukkan jalan hidup yang tak terbatas. Tapi pada titik tertentu, dia akan menampar dengan, 'ini bukan jalanmu!'. Ya, itu cuma pratinjau.
Tak peduli seberapa banyak usaha yang dilakukan, tak peduli betapa berbakatnya seseorang, jika itu bukan jalannya maka itu memang bukan jalannya.
"Kak... respons apa yang mau kakak dengar?"
"...?"
"Apa respons seperti, nggak papa kakak bakal bisa mengatasinya atau nggak papa semua akan baik-baik saja, cukup untukmu?"
Dia sontak mengangkat wajahnya lagi, dengan mata yang masih berkaca-kaca.
"Pffttt- ahahahahaha, ah ha... ha... ah, maaf. Kalau dipikir-pikir, aku curhat seperti ini ke anak kecil sepertimu, ah... aku kenapa sih..."
Kepalanya menunduk lagi. Tapi, senyumnya masih di sana.
"Kamu kadang terlihat begitu percaya diri seolah kamu tahu segalanya, tapi kadang juga bertingkah seperti anak kecil yang polos..."
"Karena itu, aku membiarkan kakak memilihnya sendiri."
"Ah, nggak papa kok, semua akan baik-baik saja, sudah lebih dari cukup. Kakak nggak mau diceramahi lebih lanjut sama anak kecil hahaha..."
"Hahaha iya juga sih... kalau gitu biar kutanya sekali lagi..."
"Lah, kan tadi sudah kuja-"
"Cuma sekedar mood booster omong kosong apa resolusi?"
"Resolusi? Kok kamu kelihatan serius banget sekarang?"
Tatapan kebingungannya disusul dengan sebuah senyuman, lagi.
"Hmmm kamu memang gini ya... kamu sebenarnya siapa sih, orang dewasa bertubuh anak remaja? Caramu mengatakan sesuatu nggak seperti anak seusiamu. Oke resolusi. Tapi jangan memaksakan bualanmu ya."
Ah aku mengatakannya... aku terbawa suasana lagi.
Jujur, aku sendiri juga tidak tahu resolusi yang pasti untuknya. Yang bisa kupikirkan hanya sebuah metode untuk mengalihkan overthingkingnya dengan penggunaan body-strengthening.
Tunggu, body-strengthening...
"Enggg kak... apa body-strengthening-mu bisa digunakan ke orang lain?"
"Oh gitu ya... kamu pikir itu bakal menghilangkan rasa sakit orang lain? Sayangnya, kakak sudah mencobanya ke teman kakak dan hasilnya nggak seperti yang kamu ekspektasikan."
"Hmmm, kakak sekarang meniru gaya sok-tahuku ya..."
"Hahaha, tapi itu kan yang kamu pikir? Apa ada yang lain?"
"Nggak sih, memang itu. Tapi boleh nggak aku coba sendiri daripada cuma dikasih tahu hasil percobaan orang lain?"
"Kamu tipe yang begitu ya... persis adikku. Hmmm, bagaimana kalau kakak kenalkan ke dia? Dia cantik loh, dia juga seusiamu kok."
Dia mengeluarkan ponselnya.
"Lihat sini deh... ini loh fot-"
"Maaf kak, bisa nggak kakak nggak ganti topiknya?"
"Ah, maaf maaf. Jangan terlalu serius, cewek cenderung suka cowok sang lebih santai lho..."
"Iyasih... tapi hubungannya juga bakal santai... pacaran, putus, pacaran lagi, nikah, cerai, nikah lagi, santai kan?"
"Eh eh ehhh, omonganmu loh... Apanya yang, aku cuma anak 14 tahun, kalau omonganmu begitu ha?"
Dia menjepit kepalaku dengan tangannya dan mencubit hidungku.
"Ahahahaha mwaaf mwaaf kwak, akwu nggwak bwermeksed mwenyenggweng mweseleh kekek. Geve ap! Geve ap! Eweh, nggwer sweket?"
"Ya iya lah, kakak pakai body-strengthening ke kamu. TAPI... siapa yang kamu maksud punya masalah seperti itu ha? Gimana rasanya?"
"Sworry sworry kek, akwe mweseh bwese kwehebeswen exegen... KAKKK?"
"Ahahahaha maaf, tapi kamu pantas dihukum, anak nakal."
Hwaahhh, akhirnya aku bisa bernafas lagi. Itu memang tidak sakit, tapi aku juga kesusahan untuk bernafas.
Aku memang tidak merasa kesakitan, malahan... aku hampir tidak bisa merasakan hidungku. Tapi, aku masih bisa merasakan otot pipiku tertarik.
"Kak, coba kakak cerita eksperimen body-strengthening yang sudah kakak coba."
"Okayyy, kakak sudah melakukan itu dua kali. Yang pertama pakai subjek nggak terluka dan yang kedua dengan subjek yang terluka. Kakak mencoba apa yang kamu coba tadi ke subjek yang nggak terluka, dan dia tidak terluka sedikit pun. Tapi saat kucoba pada subjek yang terluka, dia tetap merasakan sakitnya. Dia juga bilang, tubuhnya agak mati rasa tapi masih bisa merasa sakit di daerah lukanya."
"Terus, yang ketiga? Yang terakhir?"
"Kan kakak cuma bilang dua... ah!"
"Apa bedanya dengan dua uji coba sebelumnya?
"Enggg... nggak tahu..."
"Apa kakak merasa menyentuh hidungku saat mencubitnya tadi?"
"Sebentar..."
"Tadi waktu aku mencubitmu, aku nggak merasa menyentuh kulitmu. Tapi, aku merasa menyentuh membran yang tipis banget. Membrannya fleksibel banget, sampai permukaan kulit kakak kelihatan ditekan tapi juga kuat sampai aku nggak bisa merasa menyentuh kulit tagan kakak."
"Oh iya, kakak juga merasakan waktu mencubit hidungmu."
"Terus kira-kira kenapa kakak merasa sakit waktu itu? Apa itu cuma karena kakak yang nggak sengaja menonaktifkan body-strengthening?"
"Sebentar... apa yang mau kamu sampaikan?"
"Tadi, waktu kakak ambil apel di lantai pakai tangan kanan kakak, kok apelnya bisa jatuh lagi? Padahal itu sudah kakak pegang lho..."
"Enggg, nggak tahu..."
"Kak, waktu itu... apa tangan kanan kakak mati rasa?"
Ya, matanya seketika membelalak. Sepertinya dia tahu apa yang ingin kusampaikan.
"Eh... jadi... gitu ya..."
"Area fokus."
"Yup, hahahaha aku malah diajari anak kecil ya... Waktu itu kakak cuma memfokuskan body-strengthening ke tangan kiri yang kamu cubit. Tapi waktu kakak mengambil apel, nggak sadar aku memfokuskannya ke tangan kananku. Karena tanganku mati rasa jadi apelnya jatuh lagi. Terus waktu kakak cubit hidungmu... enggg bentar, apa kakak menyimpulkan terlalu cepat?"
"Nggak kak, benar kok. Waktu itu aku nggak bisa merasakan hidungku, tapi masih bisa merasa kalau otot pipiku yang ikut tertarik."
"Oh, terus terus... Ada lagi? Lanjutkan prof!"
"Waktu percobaan sebelumnya, di mana kakak memfokuskannya?"
"Enggg... ke seluruh tubuh deh, kayaknya. Kakak nggak terlalu bereksperimen dengan funda- dasar-dasarnya maksudku, jadi kakak tanpa pikir panjang menggunakannya ke seluruh tubuh mereka."
"Pakai kata fundamental nggak papa kak, aku paham kok...Padahal tadi menyindir pakai sebutan 'prof' tapi malah anggap sepele lagi..."
"Sworry sworry hahaha. Terus apa juga karena area fokusku yang salah jadi subjek yang terluka masih bisa merasa sakit?"
"Ya... cuma asumsiku sih."
"Masuk akal."
Dia hanya duduk di sofa sembari menyimak penjelasanku. Matanya agak sembab dan hidungnya pun agak kemerahan.
"Kalau begitu kira-kira kesimpulannya begini, grace kakak punya dua bentuk fungsi. Selama ini kakak cuma masih terbiasa menggunakan keduanya bersamaan, dan itu... mungkin mengurangi efektivitas di masing-masing fungsinya. Tap-"
"Bentar... maksudmu ada dua?"
"Ya yang menguatkan dan yang membius. Strengthening sama Anesthetic. Membran super tipis itu fitur dari strengthening, dan yang membuat mati rasa itu fitur dari anesthetic."
Duduknya pun jadi makin santai. Sambil membungkukkan badannya ke depan, ia juga menumpukan dagu di tangannya. Dengan kakinya yang menyilang, ia seolah menyampaikan kalau ia sedang mendengarkan anak kecil yang sedang membual.
"Kalau peringkatnya tinggi bisa jadi ini bukan batasan kakak. Kalau nanti sudah terlatih mungkin... ah nggak, mungkin malah... kalau kakak terlatih untuk cuma pakai satu fungsi di satu waktu mungkin..."
"Mungkin?"
"Kalau bisa ya berarti... Congrats. Di titik itu, kakak bakal bisa menghapus rasa sakit orang lain, yang mungkin juga bakal berefek ke vicarious pain kakak. Meski cara itu nggak mencabut akarnya sih. Kakak bakal tetap jadi orang yang kakak sebut pengecut, tapi yang punya jalan keluar."
Dia jadi gusar lagi. Duduknya pun menjadi tegap lagi.
"Ta-tapi nggak masalah sih... kan memang ada banyak jalan buat mengatasi masalah. Jadi meski pakai jalur beta daripada jalur alpa kan juga sah-sah saja..."
"..."
Hidungnya memerah, matanya berkaca-kaca. Senyuman tipis, juga terbentuk di bibirnya. Namun hanya sebentar.
Ia mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan menekuknya. Perlahan ia juga merangkul kakinya lalu menyandarkan kepala di lututnya. Persis seperti anak kecil yang sedang meringkuk saat bersedih.
"Kak...?"
*Srkkk srkkk
Aduh... kan...
Aku kurang lebih paham yang ia rasakan. Ia baru saja menemukan cahayanya, yang mana sudah membuatnya babak belur secara mental dalam proses pencariannya.
Aku jadi merasa bersalah. Yang kutunjukkan padanya hanya cahaya redup yang bisa hilang kapan pun.
Apa yang kukatakan barusan hanya asumsiku belaka. Meski itu bukan suatu yang benar-benar tak berdasar, tapi itu juga bukan hal yang pasti. Aku hanya membumbuinya dengan motivasi untuk membuatnya percaya bahwa dirinya bisa mencerahkan cahaya itu dengan tangannya sendiri. Semua kembali padanya.
"Makasih... Rega. Kakak tahu itu cuma asumsimu dan bukan hal yang pasti. Tapi dari itu aku sadar... aku terlalu fokus membenci dam menolak sisi pengecutku sampai lupa kalau ada jalan keluar lain. Kakak pikir, mungkin karena ini, hal ini disebut grace."
Waaa... suara seraknya... Apa ini terhitung +1 untuk 'wanita yang kubuat menangis'?
"Rega... menurutmu, apa nggak masalah kalau seseorang tetap jadi dirinya sendiri meski dunia ini memberimu rintangan yang mana itu mengharuskanmu untuk berubah?"
Waaa... wajahnya... dia tak segan menatapku dengan wajah penuh tangisnya.
Tapi... mengharuskan ya... dunia dan takdir memang sifatnya memaksa, tapi... ya, aku tak tega melihatnya terus menangis.
"Aku nggak paham sama yang kakak maksud mengharuskan."
Sembari menjawab pintanya untuk diyakinkan, aku mengambil tisu di meja dekat tempat ia mengambil apel tadi.
"Kak, kita ini manusia, diberkahi dengan apa yang disebut kehendak bebas. Jadi ya... mau berubah apa nggak, kita yang harus memutuskannya. Nggak ada jawaban yang pasti."
Aku duduk di sampingnya dan memberinya tisu itu.
"Ini cuma tentang perspektif. Beberapa orang bilang, pengecut tetaplah pengecut kalau ia tak merubah dirinya, meski ia bisa menyelesaikan masalahnya. Yang bermetamorfosislah yang lebih baik."
Dia tak menggubris, hanya dengan tajamnya menatapku terus menerus. Dari sejak aku berdiri di depannya, sampai saat aku duduk di sebelahnya saat ini. Meski dia tetap menyimak apa yang kubicarakan tapi aku merasa... seperti pedagang asongan yang tertolak.
Sebegitunyakah dia butuh pendapat... ah bukan... tapi keyakinan.
"Tapi kak... bagiku yang asli yang terbaik. Bagiku, rintangan hidup bukan untuk mengubah karakter, tapi untuk mengasah cara berpikir dan memperluas pengetahuan kita memecahkan masalah. Kita terlahir dengan ciri khas tersendiri. Kalau kakak memang terlahir pengecut, bukannya menghilangkan sisi pengecutmu berarti menghilangkan ciri khas dirimu?"
*Clap Clap Clap
"Pidato yang bagus. Jadi, kamu orangnya seperti ini ya... jangan merusak orang lain dengan pola pikirmu..."
Seorang keluar dari toilet yang ada di belakang sofa tempat kami duduk. Dia... maksudku kak Renanda, langsung mengambil tisu yang kubawa dan menghapus air matanya.
Dia memiliki rambut hitam sepunggung dan mata berwarna biru cerah. Ia ternyata belum pergi ya... dialah orang yang paling ingin kutemui.