"Aau ...!" teriak Rina dengan mencubit lengannya. Eza menatap Rina, dan merasa aneh dengan gadis itu. Rina masih belum percaya jika Eza berada di kamarnya.
"Jangan teriak-teriak seperti itu, ini sudah malam! Apa kamu ingin, kalau kita dituduh macam-macam sama tetangga. Jadi diamlah, cepat minum obatmu itu," titah Eza dengan nada seperti biasa.
Eza malah duduk di sofa kamar Rina lalu membuka sedikit tirai sambil menikmati hujan yang deras. Rina duduk dan akan minum.
Saat memegang gelas Rina sangat bergemetar. Eza segera bangun dari tempat duduknya dan menghampiri Rina.
Eza merebut gelasnya kemudian membukakan obat untuk Rina. "Jangan pernah berpikiran lebih. Aku melakukan ini agar kamu tidak sakit. Kalau kamu sakit, otomatis pernikahan ditunda. Jadi aku ingin kamu segera sembuh."
Sungguh menyakitkan perhatian Eza yang terpaksa. "Lebih baik aku mati daripada harus menikah," ucap Rina ketus lalu melempar obat itu.
Eza menatap tajam dia terlihat sangat kesal. Namun, karena ada ibunya dia tidak berani marah.
"Sekarang tolong keluar dari kamarku!" titah Rina kasar namun pelan dengan menunjuk ke pintu. Rina sama sekali tidak berani menatap wajah Eza.
"Keluar! Kamu kira aku ingin apa. Kalau kamu mau menikah, menikah saja. Kan aku yang sakit. Bukan calon istrimu!" kata Rina sangat kesal.
Eza mendekat dengan kedua tangan yang menyangga tubuhnya di pinggir ranjang, lalu mencondongkan wajahnya kepada Rina. Rina mengundurkan tubuhnya, dan pandangan mereka bertemu di satu titik.
"Mungkin aku sangat egois."
"Jelas saja!" sahut Rina dengan kesal sambil memalingkan wajahnya. Namun, Rina semakin tidak bisa menghindari gejolak di dalam hatinya. Perasaan nyeri semua dan pipi memanas.
"Aku minta maaf," ujar Eza dengan nada menyesal.
"Telat!" kata Rina tetap tidak berani memandang Eza. 'Ah, palingan agar bisa nikah bersama dan pernikahan tidak tertunda serta ibunya tidak kena serangan jantung. Dasar!' umpat Rina dalam hati.
Rindu semakin terkejut ketika Eza duduk di pinggir ranjangnya.
"Aku tidak tahu apa yang ada di dalam hatimu," kata Eza sambil melihat ke arah pintu.
"Aku benci kamu. Itu yang ada di hatiku!" seru Rina dengan suara tinggi lalu merendah. Rina terus memegang dadanya yang berdegup seperti akan perang.
'Aku selalu sadar, aku memang seperti nun di idghom bilagunnah. Ada tapi tidak dianggap. Dan hatiku ... kenapa kamu?' tanya Rina dalam hati.
"Maaf jika aku melakukan semua ini karena terpaksa. Kamu gadis baik Rina, tidak seharusnya kamu mendapatkan Dirga yang seperti itu. Apa kamu tahu, aku sendiri." Eza belum menuntaskan bicaranya suaranya menjadi serak dadanya juga berkembang kempis.
Rina melihat kesedihan dari Eza, dia terus memandang laki-laki yang dicintainya selama ini dari arah belakang. Jarak antara keduanya hanyalah satu meter. Rina berada di ranjang dan Eza di pinggir ranjang sambil duduk membelakangi Rina.
Eza tertegun dengan menekuk kepala. "Banyak teman yang mengatakan bahwa cintaku ini buta. Cintaku ini gila. Setiap keburukan dari Intan aku tidak bisa melihatnya. Dikhianati Intan berkali-kali pun aku rela mempertahankannya. Bagimu mungkin aku juga bodoh. Tapi sungguh, aku mengerti aku tidak bisa hidup tanpa Intan."
Sangat menyakitkan mendengar itu semua dari mulut Eza. Pengakuan Eza yang seperti itu nyaris membuat Rina menangis.
"Est ... huft ... aku dikhianati berkali-kali. Aku sempat marah, aku sempat memutusnya. Aku kira aku akan baik-baik saja. Namun ternyata aku seperti orang gila, setelah memutusnya. Tidak ada orang yang memikirkan perasaanku. Aku sadar diri juga, bahwa Intan tidak mencintaiku secara tulus. Tapi aku sangat yakin, suatu hari pasti dia bisa menerima aku. Entah pendapatmu nanti akan bagaimana. Kamu akan mengataiku bodoh, gila, buta karena cinta. Atau cinta mati! Terserah," tutur Eza lalu menaikan wajah memandang Rina.
"Na ... aku hancur dan sangat tersakiti ketika aku tidak mendengar kabar Intan. Aku seperti orang kebingungan. Rasanya aku kehilangan separuh dari nyawaku. He ... aneh." Eza sadar akan cintanya yang berlebihan.
Rina yang sedari tadi menatap Eza segera membuang wajah, untuk menutupi perasaannya.
"Aku terus memaafkan kesalahannya. Kesalahan fatal yang pernah dan sering dia lakukan. Kebanyakan seseorang tidak akan memaafkan jika disakiti dan dikhianati. Saat selingkuh di depan mataku. Teman-teman heran kenapa aku tidak marah. Apa menurutmu aku ini?" tanya Eza kepada Rina.
'Bagaimana aku bisa menjawab, aku pun seperti kamu. Tapi jelas berbeda, kesalahan Intan memang sangat fatal. Entahlah. Kita sama-sama sadar dan tahu bahwa mencintai seseorang dengan terlalu itu sangat menyakitkan. Tapi seperti aku ini juga tidak bisa menghindar. Aku cinta buta kepadamu,' batin Rina sambil mengeluarkan napas.
"Aku tidak bisa menilaimu. Dan, aku juga tidak tahu itu cinta atau nafsu. Aku hanya bisa mendoakan. Agar kelak cintamu menjadi cinta yang suci, cinta yang bisa dalam kebaikan menuju RidaNya. Aamiin." Rina mengangkat tangan dan lalu mengusap wajah.
"Aku pernah berpikir. Mana ada yang peduli dengan perasaanku. Mereka hanya menganggapku buta karena cinta. Setiap keburukan dari Intan aku tidak pernah bisa membencinya. Huft ... ceh. Harapanku, setelah menikah aku bisa merubah keburukan itu menjadi kebaikan. Terima kasih atas doamu. Dan aku berharap Ibu juga akan menerima Intan. Ibu sangat menyayangimu, jadi aku harap kamu tetap menerima Dirga sebagai calon suamimu. Bawa Dirga ke arah kebaikan juga. Aku yakin kamu pasti bisa. Karena kamu gadis baik. Est ... Heh. Maafkan aku," ujar Eza mengusap wajah karena air mata yang berlinang di pipi lalu berdiri.
Kemudian Eza mengambil obat lalu membukakan.
"Ini minum. Jangan dibuang lagi. Karena ini gratis, wajahmu juga pucat, cepat minum!" Eza menyodorkan obat dan gelas.
Rina menelan ludah kasarnya, meraih gelas dengan tangan yang masih bergemetar, lalu meminum. Dia sama sekali tidak berani melihat mata Eza. Rina segera mengembalikan gelas itu di atas laci.
"Kalau kamu berhasil sembuh. Nanti kita main hujan-hujanan." Eza mengatakan itu dengan cepat lalu berjalan keluar dari kamar Rina. Rina hanya terdiam sambil mengerutkan kening.
"Apa tadi aku salah dengar? Dia mengajak main hujan? Ah ...." Rina berbaring dan berusaha memejamkan mata.
'Aku melihat luka dan kesedihan akan cinta yang berlebihan. Dan aku ikut bersedih. Apa dia juga merasakan perasaanku, yang terus cinta buta kepadanya? Apa dalam hatinya juga mengasihaniku? Aku terus peduli dan tidak bisa cuek. Sebetulnya ini perasaan cinta atau apa ...? Kenapa aku tidak mengerti.' Rina cemas dan tidak mengerti kebimbangannya.
"Seakan-akan kata maaf darinya tadi, karena dia tidak bisa membalas perasaanku. Aku yakin pasti karena itu. Hua ... tidur Rina ... tidur. Rasa pusing sudah hilang, kini datang merana," keluh Rina lalu menutup semua bagian tubuh dengan selimut.
Bersambung.
Semoga suka ya. Terima kasih banyak.