Rencana menikmati matahari tenggelam gagal. Dalam keadaan panik dan cemas, Hafiz dan Rina berboncengan dan melaju dengan kecepatan tinggi. Setelah mendengar kabar Ayahnya berada di Puskesmas, keduanya tidak tinggal diam.
Kehidupan di desa yang lumayan kecil
dan sedikit penduduk. Sukit untuk menemukan Rumah Sakit. Jika harus pergi ke Rumah Sakit kota harus menempuh perjalanan dua jam dari desa Rina.
Akses di desa memang kurang memadai, Namun sekarang sudah di usahakan pelayanan baik di Rumah Sakit. Pihak Dokter di Puskesmas itu menyarankan agar Pak Mudhi dibawa ke Rumah Sakit.
"Rina, kamu temani Ayahmu. Dan kamu Fiz cepat berangkat. Awas kalau sampai ketinggalan pesawat!" pinta Bunda Sofiah dengan kasar, Hafiz menatap Ayah angkatnya. Pak Mudhi mengangguk. Hafiz mengecup punggung tangan dan tidak rela namun takut dengan Bunda angkatnya.
Rina mendampingi sang Ayah di dalam ambulance. "Ayah ... Maz Hafiz akan terbang. Ayah malah kayak gini," ucap Rina sambil tersedu-sedu dan meletakkan punggung tangan kiri sang Ayah ke pipinya.
Ayahnya dalam keadaan tidak sadar. Setelah dua jam akhirnya mobil berhenti dan terparkir. Ayahnya segera dibawa masuk. Air mata Rina terjatuh, meleleh dengan mudah.
Rina mondar-mandir dengan cemasnya.Tidak lama Bundanya datang. Dia menangis, Bundanya memeluknya. Rina kemudian mengaji di samping Ayahnya yang masih belum sadar. Karena penyakit darah tinggi dan serangan jantung. Ayahnya dalam keberadaan seperti ini.
"Aku sangat yakin. Pasti Bunda mengatakan sesuatu sampai Ayah tidak sadar. Bunda ...." Batin Rina memandang Bundanya yang sedang berbicara dengan dokter.
'Apa dia Eza? Apa dia cinta pertamaku? Sudah empat tahun, Rina ... pasti kamu ngigo,' batinnya lalu mencubit punggung tangannya.
"Aaaa!" teriaknya, menjadi pusat perhatian dari Dokter itu.
"Rina kan? O ... jadi Ibu ini Ibunya? Saya kakak kelasnya dulu," jelas Dokter Eza. Bundanya dan Dokter Eza keluar.
"Ngapain Bunda, sok akrap. Aduh ... perasaanku kembali lagi, bagaimana aku bisa terjerat sebegini dalamnya? Huh ...." gumamnya sambil menutup wajah dengan raut susah. Bundanya masuk ruangan lalu duduk di samping Rina.
"Rina. Bunda sudah menerima lamaran Bu Diah. Kamu akan menikah dengan Dirga," ucapan itu sangat membuat Rina terguncang dan syok dan langsung berkaca-kaca.
"Bun ... bohongkan? Bun, Dia adik dari Dokter Eza kan? Jangan Bunda ... pilihkan orang lain. Please Bun ...." Rina menatap melas dan memohon kepada Bundanya.
"Terima saja! Sudah terlanjur. Tidak enak juga menolak. Jangan durhaka kamu, ya!" jawaban itu sangat mengiris hati gadis cantik itu. Rina berlari keluar dengan deraian air mata.
"Sungguh tidak bermoral." Dia menangis tersedu-sedu, sampai tertidur di Mushola Rumah Sakit.
Suara adzan subuh berkumandang. Dia segera melaksanakan kewajibannya sebagai hamba. Setelah shalat dia masuk ke kamar di mana Ayahnya di rawat.
***
Pagi yang cerah, mentari bersinar dengan sangat terang. Cahayanya menerobos masuk ke dalam ruangan, Rina memandang Bundanya dengan kemarahan. Dia menangis lalu memutuskan untuk jalan-jalan menikmati pagi hari yang sangat indah untuk menghilangkan benannya. Suara burung berkicau, menambah kebisingan, desiran ombak laut menyapu bibir pantai terdengar.
Rina berjalan dengan arah kakinya, ia membeli roti di warung sebrang dari Rumah Sakit. Di belakang warung kecil itu, terdengar suara yang amat memikat hati, suara ombak di pagi hari, Rina berlari dengan bahagianya, wajahnya berseri ia melepas penat kegalauan, dengan bermain air.
Rina lari kesana kemari. Lalu menghentikan langkah dia teringat keadaan Ayahnya. Sesaat ia melupakan perjodohan yang tiba-tiba itu. Dia duduk di pasir, lalu berbaring, angin pagi menambah kesejukan.
Rina menoleh ke arah kanannya jarak 200 meter, lalu mengamati dan melihat pemuda yang sedang menikmati kopi dan duduk santai di gubuk, pemuda dengan kaos abu-abu itu, tidak lain adalah Eza.
Rina berusaha tak peduli, ia kembali menikmati suasana lautan di pagi hari, ia mengambil ponsel berfoto-foto, bergaya aneh, seperti para penggemar foto lainya.
Namun seberapa besar ia berusaha tidak peduli, tapi matanya ingin mencari dan tidak bisa berbohong, dan lehernya memaksa untuk menoleh ke arah Eza.
Rina dengan perasaan yang berdebaran mengikuti matanya. "Yah, tuh ... kan, udah hilang, emmm. Kenapa aku tidak bisa berpaling. Kenapa mataku terlalu jujur, ini maksiat mata Rina! Kamu udah nurutin maunya setan!" Ia kesal dengan dirinya sendiri, yang tidak bisa menahan untuk mencari Eza.
"Hai," panggil dari arah belakang.
"Dia menghampiriku, A ... senengnya ...." pikirnya kegirangan. Rina menoleh expresinya berubah ketika tahu kalau pria yang berdiri di depannya adalah orang lain.
"Asep. Kenapa? Ah males." Rina pergi, Asep malah tertawa melihat kepergian Rina, entah apa yang di tertawakannya, Rina berjalan cepat.
Srettt!
Rina ditarik ke belakang sampai ia memutar, Rina terkejut dan akan jatuh, ia segera berpegangan pada pundak itu, matanya membulat.
Deg Deg Deg.
Tangannya berpegangan di pundak Pria di depannya, Eza mengikatkan jas dokternya ke pinggang Rina.
Rina menelan ludah ia sangat gugup, keringat pun muncul dari keningnya.
Eza menurunkan secara kasar tangan Rina. Rina masih tercengang, ia tidak bisa berkutik dan bingung mau bicara apa.
"Perhatikan dirimu sendiri," suruh Eza, membuat Rina tidak mengerti maksudnya. Rina mulai kesal ia melepas jaz putih itu dari pinggangnya.
"Ada darah!" jelas Eza sangat cepat, ia lalu pergi begitu saja.
Rina berfikir lalu memastikan ia melihat ke arah belakang.
"He ... ini memalukan, kenapa tidak terasa jika keluar darah M. Ya Allah," ujarnya kesal dengan dirinya, sambil mengetuk kepalanya. "Dasar ceroboh, jadi tadi Asep menertawakan ini, oh, konyolnya ...." Dia terus berbicara sendiri.
"Rasanya aku ingin sembunyi dari Kak Eza, aku tidak sanggup menahan malu, darah M kenapa kau keluar begitu saja,
seharusnya tahan dulu, mau ditarok di mana muka seperti baskom ini." Riana tidak berhenti menyesal, ia segera membersihkan diri, "Tante pinjam kamar mandinya ya?"
"Iya pakai saja."
Dia ke kamar mandi pemilik warung, setelah itu melihat jas putih itu.
"Untung bersih." Riana membolak-balikkan jaz itu. Memastikan darahnya tidak menempel, tapi ada hal berat dari kantong jaz sebelah kanan, dan lagu Aiseteru berdering.
Riana mengambil ponsel jadul itu, ia syok melihat ponsel kecil munyil, merek Nokia tahun 2000 an, ia sangat heran pemuda keren, kaya, idaman wanita ponselnya jaman dulu, tapi rasa kagum mulai bertambah di hatinya.
Rina tidak bisa mau mengangkat panggilan dari gadis yang bernama Intan. Rina tetap tidak menjawabnya, walau panggilan itu membuat berisik.
"Hai kamu di dalam!" Suara laki-laki mengetuk pintu toilet.
Rina sadar itu suara Eza, ia membuka pintu kamar mandi.
"Jaznya simpan saja, bawa sini hp ku!" sikap Eza sangat ketus, Rina memberikan ponselnya. Mereka berjalan di bawah pohon ketapang pohon yang daunya lebar dan warnaya semu orens dengan biji seperti jengkol.
Eza menghentikan langkahnya, sepertinya ia sedang menelpon balik gadis yang tadi menelponnya.
"Iya, kamu atur aja undangan pernikahan kita, iya sayang, terserah kamu, kamu pakai apapun cantik, udah dulu ya, ada pasien," jelasnya lalu berjalan cepat.
Rina masih terpaku di tempatnya, hatinya tidak sanggup, mendengar ucapan Eza, ia kini harus benar-benar menyerah. Dia berbalik arah dan kembali ke pantai, dengan mata berkaca-kaca.
"Kenanganku dan dia adalah jaz ini, buat apa aku menyimpannya!" Rina membuang jaz putih itu ke pantai, ombak mulai membasahi dan membawa kenangan memalukan itu.
Rasa galau melanda, ia berusaha tegar tapi air matanya malah semakin deras melintasi pipinya, ia menahan agar tak ada suara tangisan, walau air mata bercucuran ia mengigit rapat mulutnya.
Ia menelan ludah, menghapus air matanya, lalu berlari mengambil jas itu yang sudah di tarik ombak, kakinya basah dan tertancap bulu landak.
"Kenapa aku tidak tega meninggalkan jas ini, ini kan hanya barang. Dan luka yang tertancap ini ... huaaaa." Rina meluapkan kepenatan itu dengan teriak.
"Luka di kakiku bukan apa-apa, tapi hati ku ... hiks, kenapa berjumpa lagi dan ini lebih menyakitkan, he ... hiks." Dia berjalan dengan pincang ke bibir pantai. Duduk di pasir kering memeras jas, lalu memeluk jas itu.
"Heh ... hiks, jangan menangis Rina," ujarnya menguatkan diri. "Mungkin jalanmu adalah bersama Dirga, heh ... mana bisa? Aku cintrongnya sama kakaknya, malah menikah dengan adiknya. Ya Allah sungguh rencana yang tidak bisa ditebak, sumpret aku galau abis," keluhnya.
Rina berdiam dan memejamkan mata, ia menikmati suara ombak dan semilir angin sedang.
Sungguh indah alam di sana, ombak yang ringan dan hembusan angin yang meniup secara berurutan. Tapi hati Rina berbeda, Rina menoleh ada bayangan hitam di depannya.
"Wo ... O!" Riana mumbul ia kaget. Asep duduk di potongan pohon di samping kiri Rina. "Hih. Kaget tau," keluhnya.
"Nih makan," ucap Asep menyodorkan nasi bungkus. "Aku minta maaf sudah menertawakanmu," Lanjutnya.
"Tau aja kalau orang lagi laper. Dari dulu dia memang baik. Teman Mas Hafiz yang baik, ya dia," batin Rina lalu mengambilnya dengan wajah datar dan tak berterima kasih, ia membuka nasi bungkus yang isinya nasi kuning dengan ikan laut yang diiris dengan bumbu merah. Makanan itu sangat favorit di pulau Sulawasi, tak sabar Rina menyantapnya dengan lahap.
"Orang galau abis kayak aku gini, enaknya memang makan, makan adalah hal istimewa saat galau tingkat asmara," ngomelnya dalam hati. Dia tersedak, "Ekh, huk, huk, huk."
Asep menepuk punggung Rina.
"Pelan, pelan saja," tegur Asep dengan nyanyi lagu Band Kotak. Rina terbebas ia memberi isyarat meminta minum, rasa serat di tenggorokannya, Asep tertawa melihat ke konyolan Rina, ia memberkan minum yang sudah ia buka tutup botolnya.
"Heh ... makasih." Rina lanjut makan.
"Kalau aku jadi Eza, aku tidak akan melepaskan gadis konyol sepertimu," ungkapan Asep membuat Rina terbelalak dan tersedak lagi, dia segera minum.
"Jangan GR, maksudku kau kan konyol, jadi bisalah di jadikan hiburan saat lelah ...." terang Asep, reflex Rina mendorong Asep. Asep terjungkal di pasir. Asep sangat kesal, matanya menunjukan ia marah, Rina takut.
"Maaf," ucap sesal Rina yang sudah mendorong terlalu keras hingga makanan Asep tumpah. Asep malah tertawa, Rina pun ikut tertawa.
"Kau menertawakan apa?" tanya Asep dengan wajah tanpa expresi.
"Lha kamu ngetawain apa?" tanya balik Rina mengerutkan kening.
"Di tanya malah balik nanya, ya kamulah!" bentak Asep lalu berdiri.
"Mau kemana?" Rina menaikkan wajah.
"Aku perawat waktu istirahat habis, jadi aku harus kerja lagi. Move on dong. Masa kamu bertahan bertahun-tahun. Kasihan aku sama kamu," jelasnya, Rina terdiam dan berpikir.
"Heh ... bener. Lepaskan dan terbangkan rasa yang tidak tersampaikan," gumamnya.
Dengan cepat langkah Asep hingga menghilang bayangannya. Rina mengambil nafas panjang, lalu ia kembali ke Rumah Sakit.
Bersambung