"Kenapa nasibku seperti ini ... semoga jika benar Dirga, aku dapat membawanya ke arah positif." Rina meratapi nasibnya dalam renungan.
FLASHBACK ON.
Kisah Kembali Ke Masa Kini
Tiiin!
Tiiin!
Duggg.
"Allahu Akbar!"
"Ngelamun saja. Jadi dari tadi aku ngomong sendiri? Aku bilang kamu baju pengantinya jangan sama dengan tunanganku. Tunanganku tidak mau,dengar tidak?" tanya Eza dengan ketusnya dan terus menatap jalan.
"MasyaAllah ... aku punya telinga. Aku mendengar," jawab Rina kesal.
Rina bernyanyi dengan suara pelan dan menikmati semilir angin sore, bau pasir pantaipun tercium dari dalam mobil. Dia menegakkan duduknya.
'Jangan muntah Rina ... ini memalukan. Mana tahan ... tolong jangan buat malu lagi, kenapa perutku eror? Apa kebanyakan menghirup angin saat melamun tadi? Ha, a ....' batin Rina tersiksa dengan keadaan.
'Waduh ... katroknya. Aku memang kampungan, bagaimana cara menaikan kacanya? Gengsi dong. Aduh ... pencet yang mana ya?' gumamnya sambil melihat tombol untuk menaikan kaca, agar angin yang masuk tidak banyak menerpanya.
Karena dia ingin muntah saat mabuk dalam perjalanan ia berusaha menahan, dengan terus menelan ludah.
"Apa kau punya permen?" tanya Rina memberanikan diri, ia mencari di laci-laci mobil, sambil munutup mulut dengan rapat.
"Kamu mabuk?" tanya Eza mencari sesuatu lalu memberikan kantung plastik. Rina menyaut dengan sangat cepat. Namun, belum bisa membuka kantong plastik itu, dia sudah tidak sanggup menahan rasa mual yang sudah di ujung tenggorokkan.
"Huuek ...." Ia pun muntah hingga memercik kesemua ruang di depannya. Setir dan celana Eza terkena imbasnya. Semua kotor karena perbuatan yang tidak sengaja. Raut wajah Eza terlihat ilfil dan jijik sambil melirik sadis ke Rina.
"Astagfirullah!" seru Eza sangat kesal ia mengerem mendadak sampai Rina terjadug. Eza menatap marah. Rina tertunduk malu dan hanya dapat manahan air matanya dan rasa mual yang kembali datang.
"Kau tak bisa tahan! Jadi najis kan celanaku! Ceroboh! Kapan kamu itu tidak berbuat onar! Heh ... kok bisa Ibuku memilihmu!" suara yang sangat keras dari Eza, ia lalu keluar dari mobil. Rina turun dan segera menepi ia masih muntah-muntah sambil menangis dan menekan perutnya.
"Hiks, heh, he ... siapa juga yang mau hiks hiks, nikah sama adiknya yang brandal itu," gumamnya tersedu-sedu.
Rina sangat malu dia berlari dengan jatuhan air mata, Eza memperhatikannya dari dua puluh lima langkah.
"Ceh. Mau kemana dia? Dasar aneh, konyol, ceroboh, ihz ...." Eza terus menggerutu kesal, lalu kembali membersihkan dengan rasa mual. Dia pun menelan ludah kemudian mencari Rina. Dia mengamati jalanan sambil menaikan kepala kearah terakhir dia melihat Rina.
"Heh ... kok nggak kelihatan. Merepotkan sekali, kemana dia? Ini semua karena Ibu, andai Ibu tidak sakit, aku akan menolaknya sebagai adik iparku," tanya Eza dengan wajah kesal. Ia benar-benar tak pernah suka pada Rina, dia selalu acuh dan sering berbicara dengan nada tinggi, sikap Rina pun yang sering salah tingkah bila berhadapan dengan Eza, membuat Eza semakin tidak suka dan benci. Eza berjalan dan mencari Rina, dia menoleh kesana-kemari.
"Hai ... mau ke mana?!" tanya Eza lalu berlari.
"Ada sungai!" jawab Rina teriak.
Rina berlari ke mata air, sungai lebar namun tidak dalam, dengan air yang sangat jernih tanpa sampah, ia membersihkan diri. Mereka berada di desa yang sepi hampir tiada penghuni. Manusia yang hidup di desa itu berada dan hidup di dataran tinggi. Eza mendengarkan suara arus sungai. Dia ikut membersihkan diri di sungai itu,menuruni jalan yang licin dan berhasil sampai.
"Sangat jernih, maaf ya?" tanya Rina melirik satu detik lalu merunduk. Dia menggigit bibir bawah karena sangat canggung dan grogi. Guncangan di dalam dada kembali berdebar dan tidak dapat dihentikan. Dia mengatur napas berusaha rileks.
"Maaf aku kasar! Aku cuma bingung nanti solat ku bagaimana? Aku tidak membawa pakaian lain," jelas Eza membasuh lengannya, dan mengelap celananya karena bekas muntahan.
"Aku yang harusnya minta maaf. Biasanya aku tidak pernah mabuk. Mungkin karena masuk angin dan telat makan, maaf ya," pinta Rina membersihkan mulut dan pakaiannya. Dia melepas peniti hijab kemudian cuci muka. Wajahnya sungguh berseri namun kecantikan Rina tidak pernah terlihat oleh Eza.
"Huek ... he ... est, huek ...." Eza pun ikut muntah karena jijik, Rina melihat Eza yang lemas.
'Tidak mungkin dia bisa mencintaiku, sampai kapan pun. Berhentilah berharap Rina. Kamu tak pantas dengan Dokter yang sangat bersih. Hidupmu saja penuh debu, est ... kenapa aku selalu terlihat salah. Ayolah ... terima Dirga, cintai Dirga. Lupakan pria yang sama sekali tidak pernah mengharapkanmu. Lagian dia selama ini cinta buta kepada Intan. Intan yang lebih dari segalanya. Walaupun cerdas aku, lebih berbakat aku. Dia sudah cinta mati kepada kekasihnya, apakah aku sanggup di pelaminan bersama? He, menyedihkan! Kamu bisa Rina ... maju dan lupakan. Bismillah,' batin Rina menyuruh diri sendiri.
"Kamu melamun lagi? He, aneh!" Raut wajah Eza sangat jelas menunjukkan dia tidak suka dengan keberadaan Rina.
"Tidak. Tidak salah. Aku mungkin membawa sarung. Nanti bisa buat solat, maaf ya Kak," ucapnya penuh penyesalan melirik dengan merunduk.
Kemudian mereka akan kembali ke mobil, dengan berjalan pelan dan berjarak lima belas langkah. Eza berjalan di belakangnya.
"Ingat. Kamu calonnya adikku. Jadi ... satu jam terakhir ini aku yang akan menjagamu demi Ibuku. Walaupun aku sangat tidak setuju namun karena Ibuku aku mendukung. Jadi, awas kamu kalau sampai tidak hadir saat hari pernikahan. Cepat jalanya! Mana sarungnya?" kata Eza berjalan cepat ketika sampai mobil, dia melepas celana panjangnya, Rina terkejut dan menutup matanya dengan kedua tangan.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Rina merunduk cemas, terkejut dan semakin berdegup jantungnya. Eza tertawa cekikikan.
'Kenapa malah tertawa? Yang aneh Aku atau dia? Tawanya sangat lucu dan sweet, jadi tambah ... stop! Rina. Hentikan ... kamu calonnya Dirga, Rina. Lagian banyak alasan agar kamu membencinya. Dia sadis, hanya memanfaatkanku. Egois, ih, kok bisa aku cinta mati ke dia? Aku yang heran dengan diriku. Lupakan hempas!' bicaranya dalam hati agar berhenti mencintai Eza.
"Kau itu sangat aneh! Aku tidak ceroboh sepertimu, aku selalu memikirkan apa yang akan aku lakukan. Aku selalu memakai pikiranku! Sebelum bertindak. Mana sarungnya!" seru Eza kembali ketus, Rina mengambilkan sarung dari tasnya dengan cemberut, dia sejenak mencium sarung itu.
"Untung wangi ... orang menyebalkan seperti dia tidak pantas untuk dicintai," pikirnya. Dia segera memberikan sarung itu dengan menutup mata.
"Aku pakai bokser!" jelas Eza lalu ia memakai sarung. Tak lama Eza masuk mobil, "Kamu duduk di belakang, aku tidak mau terkena itu lagi. Najis!" suruhnya dengan nada kasar, Rina turun dan duduk di kursi kedua.
Bersambung.