Siang yang terik sinar mentari menyengat.
Dalam keadaan kacau seorang gadis melempari biji ketapang ke Laut, hpnya berdering lagu dari Dadali Band.
Rindu aku sangat rindu kamu.
Terasa saja kau masih ada di sampingku.
Gadis itu tidak menjawab ponselnya yang terus berbunyi. Dia mengangkat wajahnya kelangit dan menikmati semilir angin yang menerpanya.
Dia duduk di atas hamparan pasir putih sambil duduk merana dengan merangkul kedua kaki.
"Rina ... kenapa situasinya seperti ini," keluhnya. Air matanya berlinang dan jatuh ke pipinya.
Gadis cantik dengan hijab kuning ini meratapi nasibnya.
"Tolong ... Bun, kasiani anakmu, ini ... aku sama sekali tidak suka dengan Dirga, dia bukan pemuda baik. Kenapa? Kenapa?!!" teriaknya.
"Ya Allah bantu hamba. Hamba tidak setuju menikah dengan Dirga. Hiks ehhe ...." Rina kembali melamun. Tak lama ia berdiri dari tempatnya, berjalan kembali ke RS Abdi Famili, Makassar. Langkahnya terhenti matanya terbelalak dia mundur dan bersembunyi.
Dia melihat wanita paruh baya yang tidak lain sang Bunda tercinta. Bundanya berdiri di gerbang Rumah Sakit, dan sedang ngobrol dengan seorang Dokter eza yang sudah di dalam mobil, Riana bersembunyi di balik gerbang. "Sedang apa Bunda? Kenapa jadi gawat! Heh ... mana bisa aku menikah dengan adik dari orang yang aku cinta. Kak Eza idaman hati ... he ...." Rina mengrutu kesal dan sedih.
"Hai ...." Eza menghentikan mobilnya, Rina sangat terkejut. Jantungnya hampir saja terlepas dari tempatnya, ia masih merasakan degupan yang tidak terkendali.
"Cepat masuk!" Eza menyuruh tanpa melihat Rina. Rina sangat bingung ia terdiam di tempatnya. Sang bunda datang dan langsung memasukkan Rina ke mobil.
Mata Rina berkaca-kaca, "Apa lagi Ini?" tanyanya dalam hati.
Rina menuruti kemauan sang Bunda, ia duduk di kursi depan, Bunda berbisik.
"Dengar! Kamu akan memilih baju pengantin, hari penikahanmu dan Dirga sudah ditetapkan dan Dokter Eza juga akan menikah dihari yang sama denganmu, baju dan salinan Bapakmu di kursi belakang, tolong cuci," jelas Bundanya berbisik, kempas-kempis dadanya dan hanya bisa menahan semua perasaan sedihnya. Bundanya menutup pintu sambil mengumbar senyum.
Eza membalas senyuman itu, lalu menginjak pedal gas mobilnya. Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
"Ya Allah aku tak bisa apa-apa ... menikah dihari yang sama? Astagfirullah ... bapak belum pulang pernikahan sudah ditetapkan. Pemaksaan tingkat kesulitan. Huh ...." batinnya.
Rina main game, ia berusaha tak mempedulikan pria di sampingnya.
Eza juga asik sendiri dengan menutup kedua telinga dengan mendengarkan musik lewat headset.
Mereka sudah menempuh perjalanan satu jam. Tempat dinas Makasar dengan rumah Eza menempuh perjalanan dua jam. Mereka sampai di desa tetangga. Maklum saja kerja di kota dan Bapak Rina di rawat di Rumah Sakit kota.
Tiada percakapan, saling diam dan sibuk sendiri. Rasa di dalam hati Rina bergejolak tapi ia, tidak mau melakukan hal konyol lagi. Yang akan membuatnya malu.
Azan Asar berkumandang, Eza memarkirkan mobilnya, lalu turun dan masuk ke Masjid. Rina sok tak peduli, tapi matanya ingin saja melihat pria yang ia cintai sekaligus akan jadi Kakak iparnya.
"Begini saja rasanya hatiku perih. Oh, cinta ... kenapa kau menyiksa. Setelah empat tahun tidak bertemu kenapa aku terikat dengannya lagi. Bunda juga, kenapa tak mengerti dengan perasaanku. Cinta tak terbalas sudah biasa tapi, jika menikah dengan adik dari orang yang di cintai bagaimana? Hiks ...hiks hekhek, est ... sangat menyedihkan." Rina memandang keluar kaca, disetiap sisi jalan adalah pesisir dan di balik jalan lain ada dataran tinggi.
Eza masuk mobil, dan kembali melajukan mobilnya. Diam tanpa kata seperti orang yang tak mengenal. Hp Eza berbunyi panggilan dari Kekasihnya. Raut wajah yang sangat gembira.
Mau tak mau Rina mendengar suara keromantisan mereka. Rina menahan gemrucuh kecemburuan yang membakarnya, dia meniupi telapak tangan.
"Iya, kurang satu jam lagi, kamu udah makan? Dihari pernikahan kamu harus sehat. Iya. Baiklah. Iya. Aku sudah makan. Oh ya, kita nikahnya satu resepsi juga sama Dirga, kamu setuju kan? Maaf ini mendadak, tak tau juga Bunda tiba-tiba menikahkan Dirga. Aku juga belum bicara sama Dirga, tapi Ibu gadisnya sudah menetapkan berarti Bundaku juga." Eza berkata panjang lebar, Rina merasa tak kuat ia teringat perlakuan Ibunya.
"Sudah pasti pendapat Kak Eza tentang Bunda sangat matre. Memang iya! Sangat keterlaluan, tiada harganya, orang mudah memandang hina karna tak mengenal. Bunda adalah sebutan yang mulia, namun dengan sikapnya seperti itu terlihat hina dan tak punya harga diri," umpatnya dalam hati lalu mengambil tisu.
"Sayang ...." Eza menggoda calon istrinya. Rina dengan kesal memainkan bibirnya tidak suka, dia mengambil tisu.
"Ya Allah ... selama ini aku memendam rasa, walau aku tak bisa menyimpan rahasia ku. Aku tak malu mengakui perasaanku, saat SMA. Ku kirim surat cinta dan waktu itu dia mementahkan perasaanku. Mengirim surat cinta, surat kagum. Ya Robb aku meminta dan kalau bisa, hapus perasaanku. Aku tidak ingin mencintainya lagi. Aku memang aneh, sangat aneh terkadang aku sangat benci pada diri sendiri. Sekuat mungkin aku melupakan. Aku tetap tak bisa, walaupun aku tak mengenalinya kemarin, tapi setiap bertemu hatiku, jantungku tak bisa di kendalikan. Aku berada disituasi terburuk. Rina jangan menangis, Rina ...."
Isi hatinya sambil memandang ke arah luar, agar air matanya tertahan.
Bersambung.
Terima kasih jika berkenan baca.