Di tengah malam yang sunyi dan hening Rina hampir melepas jilbabnya ketika sudah di rumah. Namun kejadian beberapa jam lalu membuat ia mengurungkan niatnya.
Perasaan was-was masih menyelimuti hatinya. Dia mengambil nafas panjang dengan tangan yang bergemetar. Merasa tidak nyaman, walaupun dia berada di dalam rumah. Rina memejamkan mata untuk sejenak, lalu membuka mata kemudian berlari ke kamarnya dan membuka pintu.
Ceklek!
Ceklek!
Rina mengatur napas dia sangat gugup. Deru napas yang tak seimbang dan cepat. Keadaan semakin tegang ketika Rina menaikkan kepala melihat lampu yang berkedip dan menyala. Degup jantung berdetak semakin cepat. Wajahnya mamucat dan karena semakin tegang dia menuguk ludah berkali-kali.
"Huft ... Allah bersamaku. Mending aku tidur di kamar Mas Hafiz saja. Ih ... kok jadi parno sih. Ehkm," gumamnya segera menggambil baju. Langkah cepat dan memutar kunci, dia sangat gelisah. Keringatnya menetes, dia membuka pintu dengan rasa tidak karuan dan pergi ke kamar sebelah dengan berlari.
Brok!
Dia segera menutup pintu dan berdiri.
"Huft ... huft ... ehhe ... Ya Allah ... gelisah sekali aku ... waduh ... paginya masih lama," gumamnya sambil mengeluarkan napas cepat.
Rina mengunci kamar lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat mengalirkan air pun dia masih merasa tidak aman.
Bola mata bergerak cepat kesana-kemari. "Rina ... tidak ada siapapun," katanya lalu segera menyelesaikan mandinya.
Dia segera keluar dari kamar mandi. "Enaknya ngaji kalau tidak bisa tidur, tapi sedang datang bulan. Huft ... suasana seram pula. Mending gambar sajalah," dia membuka laci milik Kakak angkatnya. Matanya membulat ketika melihat foto SMA Hafiz dan Naina.
"Cinta memang tidak harus dimiliki. Cinta juga tidak mesti tersampaikan. Ingat Rina ... Allah Maha Tau apa yang berbaik walau terkadang hati kecewa. Rasa kecewa itu datangnya dari setan karena setan ingin kamu marah kepada Allah," katanya menegur diri sendiri.
Rina duduk dan mulai menggambar, walau hati masih tertekan namun dia mulai menuangkan perasaan lewat hobinya. Dia menggambar pohon besar yang rindang. Di bawahnya gambaran pantai yang luas. Lalu terlihat gambaran itu ada gadis merana sedang berdiri di tepi pantai.
"Kenapa aku menggambar kesedihan lagi ... apapun pekerjaan yang dilakukan harus dengan suasana hati. Huft ...." Rina menyandarkan kepalanya di meja.
Dia hanya memutar-mutar pensilnya. Dia segera bangun dan kembali menggambar. Dia menggambar wanita yang berdiri sedang menatap pemuda yang dicintai dengan orang lain.
"He!"
Clek!
Patahlah pensilnya, dia meremat gambarannya dan berusahan menahan air mata.
Dia mengambil ponsel lalu berdiri dan membanting tubuh ke ranjang. Tiduran sambil mendengarkan salawat 'Ya Robbi Antal Hadi'.
Usaha keras agar bisa terlelap. Dia merubah posisinya namun tetap tidak nyaman.
****
Suara azan subuh berkumandang, Rina bangun namun dia ingat jika masih belum suci. Akhirnya dia kembali tidur.
Sinar mentari pagi menerobos kamar lewat tirai. Rina yang sangat sederhana bangun dan segera mencuci muka lalu bersih-bersih.
Tok-tok!
Rina terkejut dia mengintip. Sangat terkejutnya dia ketika melihat sosok pemuda tampan dengan kaos putih.
Rina berbalik badan memajamkan mata dan ketakutan. Dia mengeluarkan napas panjang lalu membuka pintu. Pemuda itu masuk tanpa permisi lalu duduk di kursi dengan sikap angkuhnya.
"Ceoat ganti baju! Sudah di tunggu Mas Eza dan Intan," katanya. Rina mengangguk. "Dan ingatnya. Kamu calon istriku, Dirga! Jadi ... lepas hijabmu dan pakailah pakaian seksi." Mendengar itu dari Dirga, Rina terlihat marah dan kesal.
"Aku tidak akan melepas hijabku. Kalau kamu setuju aku akan pergi tapi kalau tidak pergi sendiri saja," kata Rina dengan wajah malas. Dirga berdiri lalu berjalan menghampiri Rina. Dia mendekat ke Rina lalu menutup pintu dengan cepat.
Deg!
"Kamu itu akan menjadi istriku ... biarkan aku mencobanya. Kamu masih suci atau tidak," tutur Dirga yang menatap Rina dengan penuh nafsu. Rina sama sekali tidak heran dengan perkataan Dirga. Rina menginjak kakinya.
"Au ...!" teriak Dirga lalu menarik tangan Rina. Rina jatuh dipelukannya. "Cukup berisi," gumamnya. Rina merasa tidak sanggup mendengar itu. Dia sangat ingin memberontak namun dia teringat jika Bundanya sedang sakit.
Tangan Dirga mulai menuruni lekuk tulang belakang. Rina mendorongnya saat tangan Dirga mulai turun.
"Dirga ... Rina ... cepat!" titah suara wanita dari balik pintu. Dirga segera membuka pintu. Rina bisa bernapas lega dia segera masuk ke kamarnya. Dirga tersenyum jahat lalu menahan pintu yang hendak ditutup Rina.
"Aku harus tau. Tubuhmu itu ideal atau tidak. Seksi atau tidak, pas atau tidak. Dadamu juga ... harus ... Wu ...." kata Dirga dengan tatapan menggoda.
"Mesum! Kamu horor banget sih," kata Rina menatap tajam lalu menginjak kali Dirga. Saat Dirga kesakitan dan lengah dia segera menutup pintu.
Rina merasa merinding dia hampir menangis. "Hih ... najis. Ya Allah ... serem banget sih nih orang. Lebih dari setan," gumamnya lalu mengambil baju.
Tidak lama Rina keluar dengan pakaian sederhana. "Kamu begini! Dekil!" kata Intan terkejut dengan penampilan Rina. "Kamu itu akan menjadi menantu orang kaya, kok tidak tau malu. Heh ... apa tidak ada baju yang lebih baik?!" kata Intan sambil mendorong bahunya. Wanita cantik dan seksi dengan belahan dada yang transparan itu jelas jauh berbeda dengan Rina.
"Tau nih. Hih ... ilfil banget, kalau tidak karena Bunda aku tidak akan mau," kata Dirga yang sama sekali tidak membela Rina.
"Aku menikah denganmu juga karena Bundamu. Jadi ... begini penampilanku. Aku tidak akan mendengarkan cacian ataupun makian! Tidak penting itu semua! Kalau terima ayo berangkat! Kalau tidak ya sudah," kata Rina sangat tegas dan berani.
"Sudah-sudah ayo cepat!" kata Eza melerai mereka. Rina duduk di kursi penumpang dan bersanding dengan Dirga.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Tangan Dirga mulai mendekati Rina. Rina menggeser tempat duduknya sampai ke pintu mobil. Dirga malah mencondongkan wajahnya ke Intan. Bahkan di depan Eza keduanya saling berbicara. Dengan jarak yang sangat dekat.
"Kakak ipar sini aku pilihkan gaunnya," kata Dirga. Intan menunjukkan beberapa gambar gaun dari buku.
Jarak wajah Intan dan Dirga hanya sejingkal.
Rina menatap Eza yang biasa saja. Dia hanya menggaruk leher belakang. Sambil melirik ke tangan Dirga yang menerobos dan memegang benda tidak bertulang milik Intan. Eza tidak tau karena tertutupi buku itu.
"Hehehe, jadi menurutmu yang ini bagus tanya Intan.
"Ya baguslah Mbak ... Mas itu harus perhatian. Apalagi istrinya pinter kayak gini," ujar Dirga. Rina merasa muak dengan semuanya.
Sungguh tidak dapat dipercaya oleh Rina. Rina hanya menggeleng-gelengkan kepala saat menyaksikan itu. Tidak habis pikir bagaimana cinta buta Eza selama ini disia-siakan oleh Intan. Merasa giris dengan apa yang dilihatnya. Rina memilih diam dan menghadap keluar kaca.
Bersambung.