'Kita tidak perlu membenci seseorang lalu memperlihatkan kebencian kita dengan terlalu. Mungkin rasa benci itu hadir ketika belum mengenal dan hanya melihat kekurangannya, kesalahannya, kelakuannya. Namun mencoba mengenal itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Siapa tahu apa yang kita benci adalah argument sepihak. Lama-lama rasa benci terlebur oleh kenyamanan karena saling mengenal. Di dalam keburukan calon suamiku pasti ada kebaikan yang belum bisa aku lihat,' kata Rina dalam hati berusaha positif thinking kepada Dirga.
"Banyak yang lebih muda, kenapa memilih yang tua Neng?" tanya tukang becak itu.
"Hehehe. Sepertinya nyaman saja," jawab Rina. Tidak lama ponselnya berdering.
Rina segera meraih ponselnya den lihat nomor sang bunda. Seketika matanya langsung berkaca-kaca. Gadis itu menaikkan wajah kemudian menggeser layar ponselnya menerima panggilan telepon itu.
"Halo. Assalamualaikum," jawab Rina dengan suara terpecah namun dia tetap berusaha menyembunyikan tangisnya.
"Waalaikumsalam. Sayang ...." Suara dari dalam telepon itu terlihat sangat terisak dan tersedu-sedu.
"Bunda kenapa?" tanya Rina yang ikut bersedih.
"Hik hik hiks. Est ... heh ... m_aaf, hiks."
"Bunda ... jangan menangis. Aku sudah mengerti alasan Bunda. Dan aku berusaha terus memahaminya," ujar Rina sangat lembut dan berusaha tidak melukai hati Bundanya.
"Hik hik hiks. Bunda merasa kejam sama kamu. Bagaimana seorang wanita yang melahirkan anaknya tega melakukan itu. Hik, hiks ets ... eh heh ... seharusnya bunda tidak melakukan itu, walaupun itu permintaan dari orangtua Bunda. Hek hek hek, esttt."
"Bunda doakan saja, semoga bakti ku ini berbuah kebaikan dan kebahagiaan untukku. Bunda harus sembuh demi aku," kata Rina yang begitu tegar walaupun dia ingin menangis.
"Hik hik hik, est ... Bunda sama sekali tidak mengenal Dirga. Bunda baru tahu ketika ada tetangga kita yang anak gadisya menggugurkan kandungan karena Dirga. Sekarang dia sedang bertaruh nyawa karena pendarahan hebat paska menggugurkan. Hik hik hiks, jangan berfikiran Bunda menjual kamu sayang. Hik hiks eat, heh ...."
"Bunda, semua sudah terjadi Bunda. Tidak mungkin Bunda menggagalkan perjodohan ini. Kakak Eza sudah terlalu baik kepada Bunda. Apa Bunda enak hati jika membatalkan? Tentu tidak 'kan? Bunda, Ibunya Kak Eza sudah sangat baik. Jika aku mendapatkan mertua baik Insya Allah aku akan bahagia. Bunda jangan menangis lagi, sekarang fokus merawat Ayah dan Bunda sendiri. Sambil mendoakan, siapa tahu nanti ada keajaiban," jelas Rina dengan dada sesak.
"Hik hik hiks. Est ... kenapa Bunda tidak memahami, jika putri Bunda sudah dewasa. Dan berhak bahagia dengan pilihannya," ujar Bunda yang kembali menangis pilu.
"Maaf ... ma_af."
"Bunda. Jika Bunda terus menangis aku tidak akan terima. Bunda doakan saja yang terbaik untukku. Doa Bunda selaganya."
"Tapi Bunda menyesatkanmu. Dan memasukkanmu ke lubang buaya. Hiks est ... mana ada Bunda yang tega seperti aku ini. Hik hiks est hek Rina ... hiks."
"Hiks, Bunda jangan menangis. Est ... kuatkan aku. Selama ini aku belum bisa memberi dan berbakti. Sedang aku juga tidak tahu berapa panjang umurku dan umur Ayah, Bunda. Aku tidak ingin membuang waktu dan aku ingin berbakti. Aku sudah memasrahkan semua kepada Allah. Nantinya bagaimana aku tidak mengerti. Sekarang ini yang menurutku hal terbaik yang aku lakukan untuk Ayah Bunda tidak lain mencari ridho Allah dari pelantara berbakti. Doakan Bunda agar Allah mengampuni dosa-dosaku selama ini," tutur Rina membuat tukang becak itu menangis.
Bundanya semakin menangis hebat lalu menutup telepon karena tidak sanggup lagi. Rasa sesal yang mendalam karena sudah mengikat perjodohan antara Rina dan Dirga.
'Akhirnya Bunda tahu, watak bagaimana dari Dirga. Keburuknya dirinya Bunda pun juga tahu. Huft ... Bunda pasti lebih sakit hati,' batin Rina yang lalu mengusap air matanya.
"Neng. Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik. Dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Itu ayat Al Qur'an. Saya yakin Neng ini orang baik. Pasti akan mendapat jodoh yang baik pula," ujar tukang becak motor.
"Aamiiin!!!" teriak Rina sambil mengusap wajah. Sekarang ini dia merasa lebih tenang. "Pak belok," pinta Rina setelah melihat rumahnya.
"Di situ tho rumahnya?"
"Iya Pak mari mampir," ajak Rina. Montor berhenti dan Rina pun segera turun. Rina mengambil dompet lalu membayar.
"Lho ini kebanyakan," ujar bapak itu.
"Hadiah karena bapak sudah mendoakan saya," ucap Rina dengan tersenyum manis. Bapak itu tersenyum dan terlihat sangat bersyukur.
"Terima kasih Neng," kata bapak itu lalu segera memutar motornya dan melaju.
'Sekarang ini. Apa yang tidak mungkin. Semua mungkin jika Engkau menghendaki. Terima saja kenyataan. Terkadang kan memang hidup tidak semanis gula. Hidup memang seperti kopi, pahit tapi membuat ketagihan,' kata Rina lalu masuk.
Dia tidak segera ganti baju, melihat awan menggumpal semakin mendung gelap. Dan sepertinya langit akan menangis.
Dia pun berlari ke teras lalu meletakkan ponsel di atas meja. Kemudian dia kembali ke halaman dan hujan pun mulai turun.
Rintikan hujan tidak terhitung dia menari di bawah hujan yang deras. Dengan mengingat kenangan di waktu kecil.
Dia menghadap ke gerbang rumahnya. Seketika dia terpaku dan teringat.
****
Gadis berseragam SMA menoleh ketika ada yang memanggil. "Rina ... aku mengembalikan ini. Menurutku ini karya yang bagus. Namun lain kali jangan menggambar wajahku. Aku tidak suka. Maaf juga aku sudah merobeknya. Ini sebagai gantinya." Pemuda tampan itu memberikan buku tebal bersampul putih dan bergambar bunga teratai.
Di tempat itulah pertama kalinya sang pemuda meraih tangannya gadis yang mendambakannya selama ini, sambil meletakkan buku di atas telapak tangan Rina.
"Aku pamit. Jangan berpikiran aku memiliki perasaan lebih! Aku hanya tidak enak karena kamu adiknya Hafiz.' Eza pergi dengan sepedanya.
Gadis berseragam itu masih terpesona dan tidak membuang wajahnya sampai Eza tidak terlihat dari matanya. Dia pun sadar jika hujan akan turun. Dia tersenyum menatap langit tertanam sedikit harapan di dalam hatinya.
****
Tinnn!
Tinnn!
Seketika kenangan itu terbang ketika Rina mendengar suara klakson mobil.
"Pulang tidak pamit! Malah sekarang hujan-hujanan! Sana masuk!" Teriak Eza dari dalam mobil, Rina membulatkan mata setelah mendengar teriakan Eza yang kemudian pergi berlalu.
"Suaranya saja aku mendengar dengan pasti walaupun hujan sangat deras. Tadi salah dengar tidak ya?" tanya Rina yang berpikir lalu ingin tersenyum namun segera di tutup dengan tangan kanannya.
"Memang siapa dia? Memerintah sesuka hati, apa jangan-jangan dia mulai ... ah mana mungkin. Emmm. Di mana buku itu ya? Huu ... dingin. Ih, kenapa sok perhatian. Kan aku jadi baper. Hiks." Rina melangkah masuk ke teras.
"Si Buaya empang saja tetap cuek bebek! Ah. Nanti aku kena karma yang berjudul calon istri durhaka kan serem. Apa lagi ada petir. Hihihi, calon suami malah aku katain. Kucing garong, hehehe. Tuh ... 'kan bicara sendiri aku." Rina menggaruk kepalanya.
"Apa kira-kira si buaya empang akan mendapat karma? Kan karma masih berlaku. Ih serem." Rina menutup mulut dan tidak bisa ditutupi olehnya ketika suara Eza terus mengiang dalam pikirannya.
Bersambung.
Hai Readers semoga suka ya. Jika ada kritik dan saran boleh komen kok. Lalu beri star juga boleh biar tambah semangat. Terima kasih.