Setelah Rina membersihkan diri. Gadis cantik itu segera mencari buku pemberian Eza, enam tahun lalu. Tumpukan buku-buku dia sisihkan. Matanya membulat ketika melihat buku depannya.
Gadis itu menelan ludah, matanya berkaca-kaca dan senyumnya mengembang sempurna dengan debaran dari dalam hati.
"Hatching! Est ... yah, est. Pilek." Dia segera mengambil tisu lalu meraih buku itu.
Rina melemparkan tubuhnya di ranjang. Dia membuka lembaran kusam.
"Bagaimana aku selalu mengagguminya seperti ini." Semua isi di dalam buku itu hanya gambaran dia menyaksikan Eza dari kejauhan.
"Dia sama sekali tidak pernah memberi harapan kepadaku. Hal yang paling membuat aku terkesan ketika dia memberikan buku ini. Hanya itu kenangan manisnya. Selama ini, memang hanya aku dan cintaku yang tidak terbalas." Rina terkurap lalu membalik kenangan-kenangan saat SMA.
Dia melihat gambarannya sendiri. Di dalam kertas itu menggambarkan seorang gadis tengah menangis dan bersembunyi. Sedang dari arah lain terlihat seorang pemuda tengah memberikan bunga kepada gadis lain.
Rina melemparkan buku itu lalu memejamkan mata. "Jangan kembali lagi berharap. Kalau bisa buku ini dibakar saja," katanya menasehati hatinya.
"Mata dan hatiku selalu menunggu. Huah! Ya Allah ...." Rina menutup wajah dengan bantalnya.
"Hajching! Ha_haj. Heh ... tidak jadi. Panas dingin rasanya. Seperti jatuh cinta pipi terasa panas namun tangan mendingin. Est ... huh ...." Rina menarik selimut dan berusaha tidur.
Tok!
Tok!
"Assalamualaikum ...." Suara wanita berada di depan rumah Rina. "Assalamualaikum ...."
Rina segera bangun karena terkejut, matanya masih memerah. "Dag, dig, dug. Rasanya detak jantung ini. Huft, siapa ya ... berharapnya Bude Sri, mengantar makanan yang hangat. Uwu ... enak tuh. Hahaha, halu aku," gumamnya.
"Waalaikumsalam ...." jawab Rina dari dalam rumah kemudian memegang gagang pintu.
Ceklek!
Rina meneguk ludah setelah melihat sosok wanita paruh baya berdiri di hadapannya. Wanita yang tidak lagi muda namun terlihat sangat berwibawa dan anggun.
"Rina. Kamu sangat pucat Nak," kata wanita itu. Rina masih dalam keadaan bingung.
"Dia habis ujan-ujanan Bu," sahut Eza dari arah kanan. Rina memajukan kepalanya setelah mendengar suara yang tidak asing baginya.
Semakin tercengang ketika melihat calon mertua dan calon kakak iparnya sedang berada di rumahnya.
Jedarrr!
Klap!
Klap!
"Mari masuk Bu Susi," ajak Rina refleks menggandeng ibu calon mertua masuk ke dalam rumahnya. Eza pun terpaksa masuk.
"Tangan kamu panas sekali Nak," ujar calon mertua lalu menyentuh dahi Rina. "Tuh ... kan, demam. Eza pokoknya Ibu mau tidur di sini. Ibu mau menemani Rina. Kamu juga tidur di sini."
Eza terlihat sangat terkejut ketika ibunya meminta hal itu. Rina terlihat sangat tegang ketika berada di samping calon mertua.
"Kamu harus istirahat. Mungkin kamu tadi lelah karena menyelamatkan anak yang tenggelam," ujar bu Susi.
"Ibu itu salahnya dia sendiri. Dia tadi main hujan. Sudah tua juga main hujan," sahut Eza ketus lalu duduk.
"Aku masih muda dan manis!" kilah Rina cepat tidak terima. "Tua itu jika aku sudah beruban," imbuhnya yang masih tidak terima.
"Iya ... kamu manis dan cantik," puji bu Susi lalu duduk. "Ini tadi Ibu masak soto. Masih panas, jadi cepet dimakan. Ini cukup banyak, kamu juga makan Za!" titah sang ibu.
"Ibu kenapa jadi ketus sama aku? Anaknya Ibu aku atau dia. Bukankah aku sering pergi, tapi Ibu kenapa lebih perhatian sama dia," kata Eza menunjukkan ketidak kesukaannya kepada Rina.
"Lagian kan dia akan menjadi menantu Ibu. Lagian juga kamu akan pergi ke Jakarta setelah menikah. Jadi apa salahnya Ibu menyayanginya. Lihat, rumahnya saja bersih. Tidak seperti rumahnya Intan."
"Ibu jangan mulai deh!" sahut Eza lalu main ponsel dan berbaring. Rina melihat bu Susi menghela napas panjang.
"Saya ambil piring dulu Bu," kata Rina lalu berjalan ke dapur dengan mengepalkan tangan karena gugup.
'Bagaimana ada kejadian seperti ini ... hik, hiks. Makin deman aku rasanya. Tuh kan. Panas dingin. Rasanya ... sweet sih, di perhatikan tapi ... rasanya ingin masuk IGD,' keluh Rina dalam hati lalu meraih piring.
"Kenapa piringnya jadi dua dan tiga." Rina menggelengkan kepalanya agar pandangannya tidak kunang-kunang.
Dia sudah meraih piring dan akan kembali ke ruangan tamu.
"Ibu hargai perasaanku dan pilihanku. Kenapa ibu masih mengharapkan aku berjodoh dengan Rina. Jelas saja, aku selama ini sudah menjalin kasih dengan Intan. Walaupun permintaan Kakek aku yang berjodoh dengan Rina. Tapi kan sekarang sudah ada Dirga yang menggantikanku," kata Eza pelan namun Rina mendengar.
Rina berdiri di balik tembok, dia masih menyiapkan mental setelah mendengar perkataan Eza.
"Ibu harus bagaimana lagi. Yang di minta sama Kakek mu,
Kamu yang berjodoh dan menikah dengan Rina. Baik ... Ibu mengalah. Sudah kita jangan ribut di rumah Rina," tegur Ibunya.
'Kamu harus sadar diri Rina. Kamu tidak akan pernah menggapai bintang. Karena bintang itu teramat jauh. Dia pun bisa tidak peduli dari amanah yang sudah dipesan kan oleh almarhum Kakeknya. Karena dia menolaknya, aku yang harus menikah dengan Dirga. Bu Susi terlalu baik, tidak mungkin juga aku menghindari perjodohan ini. Jalani saja dengan Bismillah,' katanya dalam hati lalu keluar dengan senyum manis.
Apa yang dilihatnya menjadi kunang-kunang. Rina hampir terjatuh.
"Nak, kamu pusing sekali ya?" tanya bu Susi yang memegang bahunya. Rina duduk sambil membuka mata lebar-lebar.
"Bu. Ayo pulang saja ah," ajak Eza merengek seperti anak kecil.
"Kamu ini. Rina ini sedang sakit. Lebih dari kamu periksa, kamu beri resep. Lagian juga dia sendiri di rumah. Kasihanlah Eza ... dengar Eza. Ketika nanti kamu sudah pergi ke Jakarta, yang akan merawat Ibu ya ini, menantu ibu ini," tutur bu Susi sambil memegang lengan Rina.
Rina semakin tidak bisa menahan sakit kepalanya. Dia berusaha membuka mata yang melengket.
"Iya, iya, iya. Suruh dia istirahat biar aku periksa," ujar Eza dengan sangat terpaksa.
"Yang ikhlas dong," sahut Rina lirih. Bu Susi tersenyum.
"Apa kamu bilang?! Makanya jangan ceroboh. Sok-sokan jadi pahlawan kesiangan. Lalu hujan-hujanan seperti bocah kecil. Kan, jadi aku yang susah," ucap Eza dengan nada ketusnya.
"Eza! Jika dia menjadi pahlawan kesiangan itu lebih baik. Kenapa kamu sendiri juga tadi tidak menolong. Bukankah kalau harus mencari petugas pantai itu terlalu lama? Bisa-bisa nyawa anak itu sudah melayang. Ya untung saja Rina cepat dan sigap." Bu Susi mengelus lengan Rina.
"Bela terus ...!" kata Eza tidak terima. Sedangkan Rina masih merasakan kasih sayang yang diberikan oleh calon mertuanya. Mata Rina berkaca-kaca dan bibirnya bergetar.
Sang calon mertua menuangkan makanan yang dibawa olehnya.
Klutik!
Klutik!
Suara mengaduk makanan. Rina terus memandang dekat-dekat bu Susi.
"Nenekmu dulu yang merawat Ibu. Ketika neneknya Eza sedang sakit parah. Jadi Ibu dan Bunda mu kami bersahabat. Namun karena keadaan pisah. Karena ada bencana di Palu kami kehilangan kontak. Tidak saling menghubungi, bertahun-tahun. Sudah makan dulu," jelas Bu Susi yang melihat mata Rina berkaca-kaca.
"Kenapa menangis?" tanya bu Susi segera menyeka pipi Rina yang basah.
"Ekting!" seru Eza pelan. Bu Susi yang mendengar melempar sendok. Eza menangkapnya.
"Dasar kamu! Mari makan Nak." Bu Susi menyuapi Rina. Rina merasa canggung, matanya melihat Eza yang sibuk dengan ponselnya.
'Dia sangat menyebalkan. Tapi kenapa aku tambah semakin memiliki perasaan. Apa coba yang membuat aku terpikat. Padahal dia sangat ngeselin!' batin Rina dengan mengunyah pelan.
"Huk." Rina menutup mulutnya. "Sudah Bu, ingin mual. Masuk angin," kata Rina yang lalu mengambil tisu.
"Ya sudah ayo istirahat, Ibu antar. Eza diperiksa."
"Iya Madam." Eza tetap fokus dengan layar ponsel. Rina di tuntun ke kamar oleh Bu Susi.
Bersambung.
Halo ini authornya kalau ada typo kasih komen ya. Terima kasih banyak.