Menyiapkan diri dengan membuka tangannya yang sedari tadi meremat lingerei.
Sambil memasukkan bibirnya kedalam mulut. Runia pun melangkah masuk ke kamar Hafiz. Lingereinya masih batas wajar dan tidak terlalu nerawang.
Lingerei merah muda itu di atas tengkul dan tidak terlalu tipis. Hafiz pun sudah masuk ke dalam kamar mandi.
"Cepat bantu," pinta Hafiz sambil menuang air panas itu. "Ah ... ah, huh!"
"Kenapa?" tanya Runia cemas. Hafiz mengangkat kaki kirinya yang memerah.
"Kena air panas?" tanya Runia sangat cemas kemudian dia segera mengambil air dingin. "Turunkan," titah Runia yang sudah jongkok lalu menaikkan kepala. Menatap suaminya dari bawah, sedang hafiz menatapnya.
"Gagal fokus aku," keluh Hafiz. Runia pelan-pelan mengalirkan air ke kaki Hafiz. "Lain kali jangan berpakaian seperti itu," ujar Hafiz yang jelas melihat kulit mulus putih dari istrinya.
Runia menaikan wajah. Hafiz tidak segara mengalihkan pandangannya.
"Jangan berpakaian seperti itu. Karena itu terlihat murahan," kata Hafiz. Membuat Runia terdiam dan terus mengalirkan air.
Keheningan tercipta, kebekuan menjelma. Hafiz memperhatikan Runia yang sedari tadi diam saja.
"Bukannya apa. Aku suka saja melihat penampilanmu seperti biasa. Jangan seperti ini. Aku hanya tidak suka." Hafiz melepas kemejanya. Runia masih tertegun, dan Hafiz merasa bersalah dengan apa yang tadi dikatakannya.
"Aku tidak ingin, menikmatimu sebagai istri karena ingin melakukannya. Aku ingin menghargaimu sebagai istriku. Kita memang perlu usaha agar cinta itu tumbuh. Tapi banyak cara, kewajiban mu memang melayani ku."
Runia berdiri saat Hafiz belum selesai berbicara. Wanita itu tidak bersuara sama sekali. Hafiz menarik tangan Runia sampai di depannya. Runia tidak mau menatap Hafiz.
"Dengar. Ketika aku benar-benar belum cinta kepadamu. Aku harap kamu bisa mengerti. Sebuah cinta memang tidak terlepas dari kekaguman. Namun, aku ingin menghargaimu sebagai istriku. Dengan cara menerima kamu apa adanya. Biarkan cinta itu tumbuh. Semerbak lalu kita jalani kehidupan kita. Aku ingin mencintaimu dan memilikimu ketika aku dan kamu sudah, merasa nyaman dan ingin selalu bersama. Aku ingin kamu melayani ku ketika aku benar-benar tidak menginginkan dari bukan sekedar fisik."
"Apa maksud kamu?" tanya Runia menatap suaminya.
"Kamu sangat cantik. Aku tidak memungkiri itu. Dengan mudah nantinya aku akan bisa tertarik kepadamu. Mengagumi kecantikanmu. Dan aku pun bisa dengan mudah meminta hak ku. Namun, untuk saat ini aku menolak. Aku belum ingin melakukan itu hanya karena aku tertarik akan kecantikanmu. Aku ingin melakukan hak kita. Ketika kita sudah saling mencintai. Maafkan aku, bisakah kamu pakai piama lalu kembali kemari?"
Kedua mata saling bertemu bertatapan penuh arti. Hafiz melihat mata Runia yang berkaca-kaca.
"Apakah ucapanku terlalu kasar? Aku melukai hatimu? Aku benar-benar minta maaf. Niatku, supaya kita saling menerima apa adanya. Bukan karena ada apanya. Aku ingin memiliki perasaan istimewa antara aku dan kamu. Karena pernikahan bukan hanya kebutuhan logis. Karena pernikahan seumur hidup satu kali, kalau bisa. Sekali lagi maafkan aku," ujar Hafiz yang terus menatap Runia.
Bulir air asin itu akan jatuh ke pipi Runia. Hafiz merasa bingung. Runia memeluknya dengan sangat erat, hingga membuat Hafiz terkejut dan membulatkan mata.
"Hiks, hiks, hek hek hek. Terima kasih karena sudah menghargai ku. Terima kasih atas usahamu. Aku sangat berterima kasih, est ... kamu tidak hanya memandang dari wajahku. Terima kasih, sudah berkenan untuk mencintaiku apa adanya." Runia menatap suaminya dari bawah. Hafiz hanya menelan ludah kasar dan tidak berani menatap istrinya.
"Aku tidak pernah menyesal bisa menikah denganmu. Selama ini. Banyak kaum adam yang menilai dari wajah. Wajah ini titipan yang harus disyukuri. Dan aku merasa tepat, setelah aku memiliki suami seperti kamu. Terima kasih," kata Runia lalu melepaskan pelukan dan pergi dari kamar mandi.
"Huh ... huh ... kenapa jadi saktah dalam tajwid. Berhenti sejenak tanpa mengambil napas. Rasanya berdebar-debar. Huh ... est ... Hiks, aku memang naif. Padahal aku terbuai. Kenapa aku tidak memgambil kesempatan. Lagian memang prosesnya bisa jatuh cinta ya ... karena sering bersama. Waduh ... habis menolak aku malah ingin," keluh Hafiz yang bingung akan perasaannya.
"Hafiz ... cintai dia bukan hanya dari kecantikannya. Kamu tadi bilang seperti itu. Bodohnya ... hua ... jiwaku meronta. Aku terlalu sok baik, padahal naif."
Mungkin menyesal karena tidak mengambil kesempatan. Hafiz memejamkan mata lalu mengambil napas dan mengeluarkan secara perlahan.
"Huft ... kamu pria baik-baik. Jadi hargai dia dan cintai dia," gumamnya. Hafiz melepas kaosnya.
"Aa ...."
"Est ... itu kena apa?" tanya Runia dari arah belakang. Hafiz menutup dadanya dengan kedua tangan.
"Aku malu," kata Hafiz yang lalu menutup wajahnya dengan tangan kanannya.
"Tadi Mas bilang aku harus mengobati luka Mas, jadi jangan malu," kata Runia yang kemudian menghampiri Hafiz. "Est ... pasti perih banget ya?" tanya Runia yang meringis melihat lengan Hafiz. "Kok sampai seperti ini? Kena apa sih Mas?" tanya Runia.
'Walaupun dengan pakaian tertutup kamu memang cantik. Hafiz ....'
Pleak!!!
Hafiz menampar pipinya sekeras mungkin. Runia sangat terkejut.
"Huh ... nyamuk, ehkm. Ada pekerja hampir tertimpa besi saat di tempat kontruksi, aku mendorongnya malah kena lenganku, dan ada orang mendorongku karena akan ada benda jatuh dari atas. Lengkap deh, rasanya," jelas Hafiz.
"Sangat membahayakan ya," ujar Runia lalu membantu Hafiz membersihkan diri. "Di seka saja. Karena airnya sudah sedikit dingin," jelas Runia lalu meremas handuk kemudian menyeka badan Hafiz yang ideal.
Dada yang bidang, bagian perut yang kotak-kotak itu sangat memanjakan mata. Runia terlihat sangat gugup. Hafiz tidak henti memandangi wajah sang istri.
"Lain kali harus hati-hati. Pekerja juga di nasehati saat meletakkan benda," ujar Runia yang terus berbicara. Hafiz menikmati wajah ayu itu dari indra penglihatannya.
"Emmm. Aku sedikit cemas, aku takut keberadaanku di lacak," kata Runia tiba-tiba, membuat Hafiz mengerutkan kening.
"Bicaralah jujur," pinta Hafiz.
"Entah kamu akan percaya atau tidak, semua konspirasi dari Kak Elsa. Karena hutangnya Kak Elsa yang aku sendiri tidak tau kegunaannya untuk apa. Tristan yang tadi menelpon dia sangat terobsesi denganku sejak SMP. Dia anaknya orang kaya raya dan pejabat. Dia yang memberikan uang kepada Kak Elsa, dan aku sediri tidak tau jumlahnya. Sampai sekarang dia berusaha mengincarku. Bahkan tujuan Kak Elsa menjebak kita pun aku tidak mengerti. Dan dia selalu bisa membuat Ayah percaya kepadanya. Est ... entahlah," ujar Runia yang fokus dengan membersihkan badan suaminya.
"Aku akan menjagamu karena janji dan tugasku," ucap Hafiz. Runia menatapnya penuh arti.
Muahc!
Bibir Runia mendarat di dahi Hafiz dengan cepat. Hafiz tercengang. Runia melarikan diri.
Bersambung.
Hay Readers. Terima kasih. Love kalian semua. Jika ada yang salah comen di paragraf ya. Kadang typo atau dialog yang kurang nyambung bisa beri kritik dan saran. Belum bisa baik dalam kepenulisan. Semoga suka.