"Kenapa rasanya demam mendadak setelah mendapat ciuman di keningku. Jika dia terus agresif, bisa-bisa aku tidak dapat menahan hasrat ku. Huh ... aku harap dia pergi kamarnya," gumam Hafiz lalu meringis kesakitan saat berdiri.
Dia memakai handuk dan keluar dari kamar mandi, dengan pandangan mata yang waspada menyapu setiap sudut di kamarnya.
"Alhamdulillah tidak ada," gerutu Hafiz sambil berjalan ke lemari. Dia berjalan dan melihat cermin, terlintas kain putih.
"Astagfirullah!" Hafiz menutup mata setelah melihat sosok putih.
"Mas, ini aku."
"Wuuu." Hafiz memundurkan badanya karena terkejut. "Huh ... jantungku!" Napasnya keluar tidak teratur dan cepat. Hafiz masih mengelus dadanya.
"Maaf. Aku sengaja menunggu Mas untuk shalat isya' bersama. Mas tadi sudah shalat belum?" tanya Runia dengan halus. Hafiz mengusap wajahnya.
"Apa kamu tidak tau!" Hafiz terlihat sangat kesal dan masih mengatur napasnya. "Maaf. Huft ... jantungku, huft ... aku mengambil air wudhu," imbuhnya.
Hafiz segera mengambil kaos dan memakai. Untuk sejenak dia melirik istrinya yang memang terlihat sangat cantik jelita dengan mukena putihnya.
Setelah beberapa menit, Hafiz yang terlihat semakin tampan karena cahaya wudhu. Runia sama sekali tidak menaikan wajahnya. Hingga keduanya berjalan di tempat shalat. Hafiz masih berusaha memakai buku taqwanya.
Mereka tidak saling berbicara, kemudian memasuki ruangan shalat Hafiz berdiri dan siap menjadi imam. Runia pun berada di belakangnya dengan menggelar sajadah. Mereka mengerjakan kewajiban hamba sebagai bentuk syukur atas nikmat.
Setelah salam, Runia pun segera meraih tangan kanan suaminya dengan ditutupi kain dari mukena, hingga tidak tersentuh kulit. Dan, meletakan punggung tangan itu di ubun-ubunnya.
Hafiz pun memejamkan mata. 'Kuharap dia adalah wanita yang tepat. Semoga dia tidak pernah mengecewakan aku. Jadikan dia seorang pendamping yang bisa meredam syahwat jahatku. Aamiin.'
Setelah itu Hafiz berdiri. "Mas tidak berdoa?" tanya Runia menatap suaminya.
"Kamu saja yang mendoakanku. Aku percaya kepadamu, dan aku sangat yakin jika doamu tidak akan membahayakan ku." Hafiz turun dari dari lantai shalatnya.
Melihat Runia yang masih berada di atas sajadah. Hafiz melangkah cepat.
"Huhuhu. Eh ...." Dia bertindak seperti cacing kepanasan. "Heh ... kenapa aku ini?!" Hafiz terlihat kesal dengan perasaan yang terus menggebu-gebu di dalam hatinya. Dia berusaha mengontrol diri dan keinginannya.
Hafiz meniup telapak tangannya dan berbalik arah. Melihat Runia keluar dari tempat salat. Hafiz segera memutar badan membelakangi Runia. Runia hendak berjalan ke kamarnya.
"Hai tunggu!" panggil Hafiz yang menoleh ke Runia. 'Memanggil namanya saja terasa berat,' serunya dalam hati.
"Runia. Bukankah kamu sering mendengarkan ceramah Ustadz?" tanya Hafiz. Runia menatap Hafiz dengan tanda tanya lalu menggangguk pelan.
'Aku sama sekali belum tahu kepribadian wanita yang aku nikahi ini. Apa aku harus mengajaknya tidur bersama? Ih ... kok gengsi ya,' bicaranya dalam hati.
"Iya, ada apa? Aku hanya mendengarkan. Kalau bisa mengamalkan, supaya diri ini semakin baik," jelas Runia.
"Mari tidur bersama," ajak Hafiz cepat dengan langkah cepat. Jelas saja ucapan itu membuat Runia tercengang. Hafiz kembali menghentikan langkah lalu membalikkan badannya ke arah Runia.
"Bukankah menolak ajakan suami itu dosa?" tanya Hafiz. Sungguh pertanyaan Hafiz itu membuat Runia terpaku dan semakin berdebar kencang jantungnya. Pipinya semu memerah.
"Kenapa masih berdiri di situ. Sini mendekat, aku tidak akan bermacam-macam. Katanya kita harus saling mengenal. Jadi tidurlah di sampingku, dan aku akan ...."
"Akan apa?" tanya Runia cepat dan terus memandang suaminya dari tempatnya berdiri.
"Jangan mesum. Aku akan menceritakan diriku. Kebiasaan buruk ku," jelas Hafiz. "Ayo cepat. Kalau tidak datang dalam lima detik, kesempatan akan hangus," ancam Hafiz. Runia berlari dalam hati Hafiz tertawa puas.
"Satu. Dua. Tiga."
Brug!
Runia menabrak dan berpegangan di pundak suaminya. Dengan tawa merekah dan napas terhembus cepat.
"Heh ... heh ... jahil ya," ujar Runia menatap suaminya. Hafiz berusaha menghindari kontak mata itu.
'Butuh alasan pasti untuk memandangmu. Namun, aku takut, ini saja sangat sulit mengendalikan diri,' batin Hafiz yang lalu mencuri pandangan untuk sang istri yang masih tertawa.
"Au ... kamu mencubitku?" tanya Hafiz. Runia segera masuk ke kamar suaminya dengan tertawa dan tingkah manja.
Hafiz pun tersenyum dan menikmati cubitan itu. Dia menutup pintu pelan lalu mencoba melepaskan bajunya. Runia yang sudah melipat mukenanya dia segera mendekat ke suaminya untuk membantu.
Jarak mereka sangat dekat bahkan hembusan napas dari keduanya saling melengkapi.
"Eh ... est. Huft ... perih," keluh Hafiz lalu meneguk ludah.
Dengan pelan-pelan Runia melepaskan baju Hafiz. "Ini masih perlu diobati, biar cepat kering," kata Runia lalu meniup lengan Hafiz. Hafiz dengan puas menikmati perhatian dari Runia.
"Jika aku pecandu apa kamu masih menerimaku?" tanya Hafiz pelan. Seketika Runia menaikan wajah.
"Jika mau berubah, tidak akan melakukan keburukan lagi, memperbaiki, aku akan terima. Aku akan setia mendampingimu ketika rehabilitasi."
"Jika aku tidak bisa berubah, sangat tergantung pada barang itu bagaimana? Apa kamu masih berkenan hidup di sampingku?" tanya Hafiz dengan wajah serius.
"Tidak takut dosa? Tidak takut siksa Allah? Ingat, kita ada yang mengawasi dan mencatat setiap amal kita," tutur Runia yang sangat serius. Terlihat sangat jelas ada ketakutan dari raut wajah.
"Hahaha. Wajahmu. Jika barang yang aku butuhkan dan aku terus bergantung kepada barang itu, namun halal bagaimana? Apa pikiranmu aku pecandu barang haram? Aku hanya takut jika ... kecanduan olehmu." Hafiz segera pergi ke kamar mandi setelah mengatakan itu.
Jelas saja ucapan Hafiz tadi membuat Runia takut sekaligus berbunga-bunga. Runia lemas seketika dia duduk di pinggir ranjang sambil senyum-senyum sendiri.
Sementara Hafiz hanya mondar-mandir di dalam kamar mandi.
'Gila ... kenapa aku menggombal seperti itu. Sungguh gawat. Hah ... huh ... est ... huh ....' Dia kebingungan.
Menenangkan diri sejenak lalu mengeluarkan napas dalam-dalam.
"Huft ...." Hafiz sudah memegang gagang pintu.
"Aku memang pernah mencicipi barang haram itu, tujuh tahun lalu. Bahkah sampai kini Bunda masih membenciku gara-gara kebodohanku. Bunda masih tidak percaya, jika aku hanya sekali menggunakannya. Bunda ... engkau memang hanya Bibi, tapi aku sangat menyayangimu. Hanya sekali aku tidak akan mengulanginya. Maafkan aku," gumam Hafiz setelah mengingat kesalahannya.
Ceklek.
Hafiz mengusap telapak tangannya yang berkeringat.
"Kamu sangat menakutiku," ujar Runia. Hafiz tersenyum.
"Jika benar aku pecandu. Apa tadi ucapanmu serius?" tanya Hafiz. Runia malah melempar bantal.
"Kamu itu membuat aku lemas. Jika kamu pecandu barang haram maka ingat aku. Aku sesuatu yang halal untukmu. Kita akan memulai semua, dan saling melengkapi," kata Runia, Hafiz mendekat, keduanya saling memandang dengan dihiasi debaran dari dalam hati.
'Apa aku harus melakukannya sekarang?' tanya Hafiz dalam hati.
Bersambung.
Terima kasih jika terus mengikuti kisahnya. Semoga suka beri komen ya Readers, beri star vote, yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng.