Hafiz masih mengatur napas. Dia menguatkan hati yang masih terguncang karena bersandingan dengan istrinya.
'Sangat tidak efektif jika aku melakukannya sekarang. Sedangkan tadi, aku sok jual mahal. Nyesel aku. Padahal kebutuhan ini sudah menyiksaku,' batin Hafiz yang sedari dari mengatur malamnya bersama sang istri.
"Mas sampai kapan, Mas akan berdiri seperti itu?" tanya Runia.
"Memang kenapa kalau aku berdiri? Kamu sudah berpikiran mesum ya? Kamu sudah tidak tahan? Maklumlah aku memang mempesona," kata Hafiz kepedean dengan bertanya balikkan fakta.
Keinginan ikhwan nya sudah jelas tidak bisa ditahan lagi. Namun, dia berusaha tidak memperlihatkan keinginannya. Dengan mengatakan hal tadi kepada Runia.
"Aku heran deh sama Mas. Tadi kata Mas, 'bukankah menolak ajakan suami itu dosa?' tadi Mas bilang seperti itu. Aku menuruti karena aku takut berdosa. Tapi kok sekarang Mas nuduh aku mesum. Memang aku melakukan apa Mas?"
"Syut ... diam!" sahut Hafiz. "Sebenarnya aku masih ada pekerjaan, aku lupa. Jadi kamu tidur lebih dulu," imbuhnya mencari alasan agar rasa tegangnya hilang.
"Baik," jawab Runia lalu berbaring miring.
Sementara Hafiz mengambil beberapa kertas, spidol dan penggaris.
'Heh ... bisa tidak tidur semalam aku. Kenapa tadi aku meminta dia untuk tidur sekamar. Huh ... pada akhirnya aku tidak berani mendekatinya. Konyol ... aku sok sibuk padahal ini jam ku istirahat. Harus bagaimana lagi aku ini,' bicaranya dalam hati.
Dia duduk di kursi dan terus memandang istrinya yang tidur membelakanginya.
'Ayolah menghadap sini. Mana boleh istri membelakangi suaminya. Apa aku harus memintanya, ini benar-benar konyol,' kata Hafiz dalam hati.
Setelah beberapa menit dia hanya fokus memandangi istrinya tanpa membentuk pola pun di kertas itu.
"Hai. Apa kamu sudah tidur? Hai ... Hai ... menghadap sini kalau belum tidur," titah Hafiz, sambil terus memainkan spidolnya memutar dengan dua jari.
"Apa namaku terlalu menyeramkan, dari tadi panggilnya hai, hai. Tapi kenapa feeling ku sebenarnya Mas nggak sibuk," ujar Runia. Hafiz menelan ludah, kemudian pura-pura menggaris.
"Aku sudah mulai kok, ini lihat!" kilahnya. 'Padahal aku hanya ingin memandang wajahnya.'
"Coba lihat," ujar Runia berdiri. Hafiz takut jika dia hanya beralasan.
"Stop. Tetap di situ. Aku sudah mau tidur. Ngantuk, tidak fokus," ujar Hafiz berdiri dan meletakkan spidolnya. Jelas saja ketika Hafiz berdiri ekspresi wajah Runia langsung memerah.
Hafiz berjalan menghampiri istrinya namun dia berbelok ke arah ke kamar mandi.
Dia benar-benar seperti cacing kepanasan. Di dalam kamar mandi pun dia tidak melakukan apapun. Dia hanya menghapalkan tangan lalu menitupi telapak tangannya.
Sesekali dia bercermin, lalu menghirup bau badannya. "Wangi, keren, ah ....!"
"Mas baik-baik saja?" tanya Runia yang ternyata berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Kenapa? Maksudku aku tidak papa," jelas Hafiz, lalu merapikan rambutnya.
"Mas, aku ingin buang air kecil," kata Runia. Hafiz membuang napas panjang.
Kreak!
Runia pun segera masuk, Hafiz keluar dari kamar mandi. Dia benar-benar menyiapkan mentalnya.
Berbaring, lalu merapikan bantal lalu berpose sok keren dan siap.
"Hih." Hafiz terlihat kesal dengan kelakuannya sendiri. Setelah beberapa menit akhirnya Runia keluar dari kamar mandi.
Hafiz pun pura-pura sudah terlelap dalam tidurnya. Runia pun berbaring dengan berkedip-kedip Runia meneluarkan napas berat. Dia terus bergerak dan tidak nyaman. Sesekali menatap Hafiz. Dia kembali mengeluarkan napas. Setelah dua puluh menit berlalu. Runia pun segera bangun.
"Kamu mau kemana?" tanya Hafiz yang menarik tangan Runia dengan mata terpejam.
"Aku sudah tidur. Aku harus minum obat sebelum tidur," jelas Runia. Hafiz membuka matanya dan menarik Runia sampai berbaring di lengan besar miliknya.
"Obat apa yang kamu minum?" tanya Hafiz sambil membelai rambut Runia dengan tangan kirinya.
Jarak keduanya sangat dekat, Hafiz memandang lengkap istrinya. Runia terlihat sangat gugup.
Runia menutup dada dan lengan kedua tangan yang ditekuk di atas dadanya.
"Aku insomnia parah. Ehkm. Setiap malam aku merasa cemas. Jadi aku minum obat yang dosisnya lumayan, supaya bisa cepat tidur," jelas Runia.
Jelas saja Hafiz merasa penasaran dengan gadis yang dinikahinya itu.
"Kecemasan seperti apa yang kamu rasakan? Lalu sudah pergi ke dokter? Jangan membahayakan dirimu sendiri Runia. Kamu harus jujur ketika shering bersama dokter. Karena biasanya sebelum dokter merasakan dokter pasti akan tanya dulu riwayat apa yang diderita oleh pasien. Jangan lagi cemas di sini ada aku," kata Hafiz begitu meyakinkan Runia.
Runia baru memandan suaminya. Kedua mata saling memandang.
"Kalau begitu selalu ingatkan aku jika aku melupakan sesuatu. Karena yang sering terjadi adalah gangguan daya ingat, aku pelupa, aku sulit fokus. Tubuhku sering menggigil. Merasa lemas. Kecemasanku jika ... Tristan datang tiba-tiba," ujar Runia lalu memegang detak jantung suaminya.
"Apa kita harus pindah? Aku tidak akan membahayakanmu Runia."
"Jangan. Aku ingin berada di dalam rumah ini sampai ragaku tak bernyawa. Sebisaku menghadapi cobaan apapun." Runia memejamkan mata.
"Jangan lagi minum obat tidur. Aku yang akan membuatmu terlelap. Ya?" tanya Hafiz membuat Runia membuka mata.
"Aku tidak tau dengan cara apa? Mungkin dengan mengaji, atau sesekali mendengarkan musik. Aku harus bisa menjaga kehormatanmu. Terkadang orang memang dibutakan oleh nafsu syahwatnya. Aku juga termasuk seseorang yang seperti itu. Namun, aku ingat jika ada kedua malaikat yang mencatat amalku. Sekarang aku jujur, aku akan menceritakan masa remajaku," kata Hafiz yang memandang kosong.
Runia menatap suaminya. "Orang tuaku sudah meninggal, aku dibesarkan Paman dan Bibi. Karena aku sangat nakal saat SMA aku coba-coba narkotika."
Seketika Runia menatap suaminya. "Tatapanmu seram. Aku tidak suka, nyesel juga sih, coba-coba malah dosa malah dibenci. Lalu Bibiku marah dan tidak suka kepadaku, Paman menyuruhku di Pondok Pesantren, selama dua tahun aku berada di penjara suci. Selama di pondok aku suka membantu kuli bangunan. Mungkin dari situ bakat arsitek."
"MasyaAllah keren ...." puji Runia. Hafiz hanya tersenyum singkat.
"He, lalu karena paman bangkrut, aku keluar dari pondok baik-baik, aku merantau ke Jakarta karena ada teman dan ada rumah peninggalan kedua orang tua, ya ... masih seperti ini. Aku bukanlah laki-laki sholeh. Aku hanya laki-laki yang masih menghindari maksiat. Maksiat itu datangnya mudah."
"Iya. Sangat mudah melakukan maksiat. Tapi ... maaf. Aku sudah sangat mengantuk," kata Runia pelan. Hafiz pun tersenyum. Dia tidak berhenti menikmati wajah ayu dari sang istri.
"Aku ingin mengenalmu Runia. Aku akan membuatmu nyaman dan aku akan mencegahmu meminum obat tidur. Cukup aku saja yang jadi obatmu," kata Hafiz lalu mempererat pelukannya dan mencium kening Runia.
"Impas ya ...." ujar Runia sangat lirih. Hafiz menahan tawa dan terus memandangi istrinya.
Bersambung.
Hai Readers enaknya up berapa bab ya? Dalam sehari. Biar semangat dan bisa dua bab komen dong. Karena Authornya penasaran. Ini bagus tidak kisahnya.