Belva dan mamanya duduk di sofa ruang keluarga. Suasana hening, tidak ada satupun yang bersuara. Mama Belva sedang duduk sambil menggigit jari telunjuknya dengan pandangan mata menerawang.
Belva baru saja menceritakan kepada mamanya soal kesalahpahaman papa Tania. Belva tidak berhenti mengomel karena titipan mamanya sudah membuat Tania berada dalam masalah. Tentu saja, mama Belva sangat merasa bersalah.
"Mama harus bagaimana? Mama benar-benar tidak enak sama Tania. Tania nggak marah sama mama, kan? Apa Tania tidak mencoba untuk menjelaskan semuanya sama papanya?"
"Papanya sudah lebih dulu murka, Ma. Jadi tidak mau mendengarkan penjelasan apapun. Tania benar-benar merasa terpukul. Habis Mama sih, minta yang aneh-aneh. Lagian Anak itu tidak punya malu sama sekali, Ma. Jadi diminta untuk melakukan apapun dia pasti mau asal menurutnya itu benar. Anak itu tidak peduli dengan penilaian orang lain asalkan dia tidak seburuk yang orang pikirkan. Dia lupa, kalau persepsi orang lain itu kadang bisa membuat dirinya sakit." Belva berbicara dengan serius. Dia tidak henti menyalahkan mamanya, karena sebenarnya dia khawatir dengan keadaan Tania. Namun, tentu saja dia tidak mau mengaku.
Tania, semakin lama Belva mengenalnya, dia semakin merasa nyaman bersama orang yang selalu apa adanya, tanpa jaim, sehingga bisa bebas melakukan apapun yang dia mau, melakukan apapun yang dia suka, bukan yang orang lain suka. Mungkin itulah yang membuat Tania tampak selalu ceria.
Sementara itu, setelah Tania puas menumpahkan air mata, Dia segera membasuh mukanya berkali-kali berharap sembab yang ada di wajahnya tidak lagi terlihat. Meskipun 1000 kali dia membasuh wajahnya itu, sembab diwajahnya tidak mungkin serta-merta menghilang. Dia mengamati wajahnya di cermin berkali-kali, dan masih terlihat sembab.
Andai saja ada bedak di kamar mandi saat itu, pasti dia bisa sedikit menyamarkan sembab di wajahnya. Sayangnya dia bukan gadis yang sangat memperhatikan penampilannya, kecuali di saat-saat tertentu saja.
Tania menghela nafas panjang, dan menghembuskannya pelan-pelan. Dilakukannya hal itu berkali-kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia harus menemui Belva dan mamanya dengan wajah yang masih sembab, namun harus terlihat ceria. Setelah dia sudah merasa tenang, Tania segera menuju ke ruang keluarga di mana mama Belva dan Belva sudah menunggunya di sana.
"Hai Tante, Tante kenapa?" tanya Tania dengan wajah ceria. Dia langsung merasa tidak enak ketika melihat Mama Belva sedang murung.
"Tania." Mama Belva langsung berdiri dari duduknya, menghampiri Tania dan langsung memeluknya erat.
Tania sudah menduga kalau Belva sudah menceritakan semuanya. Namun, pelukan Mama Belva tidak membuat Tania semakin tenang. Namun, pelukan itu semakin membuat dadanya semakin terasa sesak.
"Maafkan Tante ya, Sayang. Tante sama sekali tidak mengira akan seperti ini jadinya."
Tania berusaha untuk melepaskan pelukan Mama Belva. Tidak. Dia tidak mau dikasihani. Dan itu sama sekali bukan salah Mama Belva. Karena Tania tahu persis bagaimana sikap ayahnya yang selalu berprasangka buruk padanya, dan selalu menganggap rendah dirinya.
"Tante, Tania nggak apa-apa. Nggak usah didengerin Kak Belva. Papa sudah sering kok seperti itu. papa memang selalu melakukan hal tanpa mendengar penjelasan dulu. Tante Jangan khawatir, Tania nggak apa-apa, dan Tante tidak perlu merasa bersalah."
"Sekali-kali kamu harus mengakui bahwa dirimu itu kadang juga mengalami rasa sedih. Orang Kamu manusia, bukan robot. Jadi sedih dan menangis itu wajar. kamu nggak perlu lagi pura-pura tersenyum seperti itu. Lagian saat kamu menangis dan tersenyum Itu sama-sama jeleknya."
Entah penguatan macam apa itu. Namun, itulah cara Belva untuk menguatkan Tania.
"Tante, Kenapa sih anak Tante itu selalu gengsi meskipun hanya sekedar memberikan penguatan. Kalau memang mau menenangkanku, sini peluk kayak Bunda."
"Bunda? Jangan sekali-kali memanggil mamaku dengan sebutan Bunda, Mama dan lain-lain. Panggilan itu hanya untukmu seorang."
"Ih, memangnya kenapa? Tania bolehkan memanggil bunda, Bun?"
"Boleh dong, Sayang."
Mendengar itu Tania langsung menjulurkan lidahnya ke arah Belva dan merasa menang.
"Sayang, nanti Bunda ikut ke rumah kamu ya? Mama mau menjelaskan semuanya ke papa kamu."
Tania terdiam sejenak. Untuk apa mama Belva ke rumah? Papanya juga tidak ada di rumah. Karena papanya sudah nyaman berada di rumah wanita lain.
"Papa Tania sudah tidakĀ lagi tinggal di rumah, Bunda." Tania menunduk, dadanya bergemuruh. Entahlah, menghentikan tangis itu ternyata sama susahnya dengan menciptakan tawa tulus. Sungguh sulit.
Mama Belva langsung menelan ludah. Dia semakin bersimpati dengan gadis yang selalu terlihat ceria yang ada dihadapannya itu.
"Em ... Ya udah, kita tutup kasus. Sekarang kita makan dulu ya? Mbak Yani lagi masak bakso. Kata Belva kamu suka sekali sama bakso."
"Beneran Bunda? Yeay! Makan bakso ... " Tania langsung Kegirangan. Wajahnya berubah ceria. Entah bagaimana yang ada di dalam hatinya, yang penting luarnya terlihat ceria.
'hanya dengan mendengarkan kata bakso saja kamu sudah girang seperti itu. Semudah itukah membuat kamu bahagia, Rambutan?'
Belva menatap Tania yang sedang tersenyum girang. Tanpa dia sadari, Belva menarik kedua ujung bibirnya. Ya, dia tersenyum.
"Haaa ... Ommo ... Kak Belva tersenyum padaku, Bunda? Mimpi apa aku semalam?" Tania langsung heboh gemes sambil menggigit ibu jarinya saking senangnya melihat senyum Belva. Ya, laki-laki ketika jarang tersenyum, maka sekali tersenyum mampu membuat hati wanita kobat kabit tidak karuan.
Menyadari kehebohan Tania, Belva langsung menyudahi senyumannya lalu menetap Tania sok jutek.
"Lebay banget sih. Sana makan bakso dulu!" Belva beranjak dari duduknya, melewati Tania dan mamanya tanpa menoleh. Dia berjalan lurus menuju ke ruang makan.
"Bunda, dulu ngidam apa sih. Bisa melahirkan Kak Belva yang senyumnya manis seperti itu." Tania masih menatap Belva yang mulai menjauh menuju ke ruang makan.
"Kamu juga manis senyumnya. Ayo segera makan bakso!"
"Ayo bunda," ucap Tania sambil menggelayut di tangan mama Belva tanpa sungkan seolah mereka sudah sangat dekat. Meskipun masih ada sisa rasa sakit di hatinya, tetapi Tania berusaha untuk bersikap ceria seperti tidak ada apa-apa sebelumnya.
Belva sudah lebih dulu duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. Belva mengambil bakso di wadah besar lalu meletakkan di mangkoknya.
Tania langsung ambil posisi duduk disebelah Belva.
"Ngapain sih dekat-dekat. Sana di samping Mama."
"Mau ngetes kinerja jantung. Masih normal apa nggak ketika aku duduk di samping Kak Belva." Tania berucap dengan ceria sambil mengambil mangkok dan mengisinya dengan bakso yang masih mengepul.
Mama Belva hanya geleng-geleng saja melihat tingkah mereka. Dia segera duduk di kursi yang menghadap ke arah Belva dan Tania.
"Tante, nggak ada Nasi?" Tanya Tania tanpa malu. Belva hanya memukul Tania lembut dengan sendok. Sedangkan Mama Belva hanya tertawa melihat kepolosan dari sahabat anaknya itu.