Penyiksaan dua puluh empat jam pun berakhir, dengan hukuman yang kalah dari tantangan terakhir adalah saling suap mie, susu, di campur dengan irisan bawang merah mentah. Banyak di antara mereka yang meringis menahan muntah, apalagi para siswi yang begitu manja sampai berguling-guling sembari meraung menangis histeris.
Sementara tak jadi masalah untuk Arka yang selera makannya memang mengerikan, malah lahap menghabiskan sarapan yang penuh inovasi.
Kembali ke kasur yang di rindukannya setelah perjalanan panjang, juga pelukan mama, papa dan juga mika, adiknya yang begitu menggemaskan.
Menghabiskan jatah akhir pekan untuk bermalas-malasan, sampai hari aktif mulai mengacaukan.
Bangun pagi dengan bunyi alarm setiap menitnya yang di abaikan, karena yang paling manjur adalah usapan tangan kecil Mika di dahinya. Sembari suara pelan khas anak kecil yang begitu tentram terdengar. "Sudah pagi, kak Arka nanti terlambat masuk sekolah, loh!"
"Aye-aye, capt!"
Menjadi penyokong semangat paginya. Mengenakan seragam baru yang di harapkan dapat membawanya pada masa-masa penuh kenangan seperti yang banyak berkisah.
Wajah berserinya bahkan membuat Melisa semakin bersungut. Arka yang paling semangat menghabiskan sarapannya, berpamitan berangkat sekolah dengan lambaian tangannya seperti biasa.
Brian yang sedia menjadi tukang ojeknya, menemui kumpulan semangat yang bertebaran dari para penghuni baru. Sampai pandangan Arka menangkap satu sosok yang otomatis menjadi pusat perhatian, tarikan di kedua sudut bibirnya lenyap.
"Satu, dua tiga, empat. Oke, tinggal dikit lagi," ucap Yuda setelah menunjuk barisan di lembar putih yang dipegangnya.
"Eh, beneran? Gue nggak merhatiin, loh!" Sahut Brian yang setelahnya berganti sumringah.
"Ya, setidaknya kurang dua lembaran lagi, lah!" timpal Yuda dengan entengnya, sementara Zaki dan Brian kompak mengecek kertas tugas mereka sendiri. Ya, dua lembar dengan garis nomor sampai dua puluh di setiap lembarnya.
"Bangsat! Ini masih banyak banget, ogeb!" sungut Brian yang sontak menyabet kepala Yuda dengan gulungan kertas miliknya. Mereka bahkan belum seperdelapan menyelesaikan tugas.
"Ya pantes lah, orang kita diem-diem bae di sini."
"Jadi maksud lo, kita harus keliling kayak yang lain? Ribet kayak fans yang ngemis tanda tangan sama artis, gitu?"
"Ya... Mang gimana lagi?"
Yuda dan Brian malah berdebat, di antara ratusan siswa baru, hanya mereka yang santai duduk di tangga, mengawasi rekan seperjuangan lain yang masih di tanggung kan beban. Dalih untuk bisa lebih mengenal kakak tingkat dengan menebak nama mereka dan meminta tanda tangan, seolah siksaan lalu masih tak memuaskan, begitu merepotkan.
Sementara Zaki yang mengawasi lamunan Arka sampai beberapa saat lalu, lantas menyadarkan.
"Gimana, Ar?"
"Ehm?"
"Mau ikutin peraturan?" tanya Zaki yang seperti bisa menerawang suasana buruk Arka, membuat Yuda dan Brian ikut bersemangat. Pasalnya Zaki yang terbiasa kontra dengan kenyataan dari ke badungan mereka kali ini berpihak.
"Mungkin nggak sih buat kita kabur?" pikir Arka yang memang sudah tak punya wajah lagi untuk sekedar menatap Nino dari kejauhan.
"Kalo usaha, pasti bisa," sahut Brian menyakinkan, di dukung dengan anggukan kepala antusias dari Yuda.
"Dah lah, cabut! Urusan resiko, belakangan."
Bangkit terlebih dahulu. Gerak tangan terangkat milik Arka pun di ikuti ketiga kawannya yang mengekor.
"Kek nya aman kalo lewat belakang," ucap Arka setelah mereka berhasil mindik-mindik, keluar dari tengah keramaian. Percaya diri tak ada panitia yang mengawasi gerak-gerik mereka.
Bergerak ke belakang sekolah, di pikir mereka hanya gerbang serupa yang di depan, namun kedamaian tersembunyi mereka dapatkan saat itu.
Halaman rerumputan yang menghampar luas, pepohonan rindang yang memasok udara semakin sejuk. Sejenak mereka menikmati suasana, dengan kedua lengan terbentang.
"Bagus juga nih sekolah, ada tempat ademnya. Bisa jadi basecamp, kan?" celetuk Zaki yang lekas di setujui oleh yang lain.
"Ya, lo berdua di pohon sana, trus gue sama Arka di sana, gimana?" sahut Brian, menunjuk dua pohon yang tumbuh berdekatan, lantas mengatur tempat nyaman menurutnya sembari menampilkan raut sumringah.
"Etdah! Nggak gitu juga, kali! Mangnya kita monkey, apa?" protes Arka sembari menghempaskan rangkulan tangan Brian yang membebankan bahunya.
"Hahaha... tapi seru, bor! Kita becandaan sambil teriak, uu-aa!"
"Huaaa!" Candaan Yuda berhasil membuat yang lainnya terbahak.
"Eisstt! Bukannya itu abang lo ya, Bri?" Zaki yang paling teliti, lantas menunjuk seorang pria dari kejauhan yang terlihat menatap kepergian seseorang. Namun sayangnya mereka tak bisa memastikan siapa sosok yang mendapatkan perhatian intens pria berperawakan atletis itu, sebuah lorong yang di beri pembatas menjadi penghalang.
"Habis mojok sama cewek?" Tebak Yuda, yang kompak di tatap tajam oleh Arka dan juga Brian.
"Nggak mungkin lah, orang abang gue orangnya lempeng. Nggak kayak muka-muka lo pada yang pada mesum."
"Nggak nyadar diri sendiri, mang siapa yang biasanya ngasih persediaan bok8p?" Sahut Yuda, yang membuat Brian bersungut, mereka juga menerima dengan senang hati kepingan kaset darinya, kan? Malah nagih dengan permintaan genre, lagi! Sialan, memang!
"Kalian ngapain di sana?"
"Eh, mampus!" Pekik keempatnya bersamaan, konflik ringan pasal bok8p tertutup, pria yang nyatanya memang kakak dari Brian itu semakin bergerak mendekat.
"Cabut, jangan nih?" tanya Zaki yang sudah panik, sementara langkah mereka berempat beringsut mundur.
"Mau kabur?"
"Eh? Nggak kok, bang. Kita-kita mau... Minta tanda tangan." Brian memang brengsek, mengumpan Arka dengan menjorokkannya semakin mendekat ke arah Nino. "Ya kan, Ar?" Memaksa dengan delikan tajam, lagi.
"Eh?!" Sementara Arka sudah cengo, sekujur tubuhnya kaku, mendadak tremor dengan pandangan menunduk dalam tak kuasa berhadapan kembali dengan Nino yang berjarak sangat dekat. "Anu... Ehmm.... Itu?" Suara nya bahkan tak jelas, meski ketiga kawannya begitu berisik memberikan dukungan.
"Kertas sama bulpoinnya mana?"
Baru setelah itu Arka memberanikan diri mengangkat pandangannya, meski netranya mengerjap. Brian bantu mengansurkan kertas milik Arka yang diambilkannya, tak susah mencari karena memang isi tas punggung milik mereka kurang lebih berisi sama, satu buku dengan satu kertas yang di bagikan tempo hari.
Peralatan tulis pun seperti beban terlalu berat layaknya barbel untuk mereka berempat. Nino pun sampai geleng-geleng kepala dengan decak tak sangka. Berhubung dirinya baik hati, tanpa celotehan panjang lebar, Nino pun menyabet bulpoin miliknya, satu per satu mendatangani kertas itu dengan tulisan keterangan nama lengkapnya yang begitu rapi.
"Habis ini kembali ke lapangan, tugas kalian belum selesai."
Nino kemudian beranjak pergi, tak ingin repot-repot menggiring kumpulan siswa yang mulai menunjukkan pemberontakan untuk mematuhi peraturan.
Mereka pun mengikuti langkah Nino yang semakin menjauh, dengan raut terbodoh yang kompak di tampilkan. Pesona Nino memang gila-gilaan.
"Bangsat! Malu banget gue..." ringis Arka yang sontak langsung berjongkok, menyembunyikan wajah merah padamnya di atas lipatan tangannya.
"Ar... Lo nggak ngasih tau tentang kejadian waktu itu... Bener-bener gue cekek, lo!" Sementara Brian yang masih di liputi rasa penasaran atas kejadian tempo hari pun langsung mengancam.
"Isshhh, serem bet! Jangan-jangan lo psiko ya, Bri?" timpal Yuda.
Sementara Zaki pun ikut penasaran. "Eh, tunggu-tunggu! Ada yang lo sembunyiin dari kita-kita, Ar?"
.
.
.
Arka masih tetap bungkam sekembaliannya ke halaman gersang dengan debu berterbangan akibat hentakan kaki yang terlalu bersemangat menyelesaikan misi.
Pandangannya masih tak ingin lepas dari abang ganteng kawannya itu, sekali pun jalan jongkok menjadi hukuman karena dirinya dan ketiga kawannya yang di cap menyepelekan tugas dari panitia. Ya, tanda tangan terakhir terhenti di nama Nino Antares, mereka tak ingin mengusahakan lagi karena terlalu malas.
Di perintah untuk berjoget, cosplay jadi monyet, cium pohon, menyatakan cinta pada panitia dengan berteriak sekencang mungkin. Seperti biasa, kakak kelas coba menunjukkan seberapa beken mereka. Halo...! Arka dan kawan-kawannya tak terlalu bodoh untuk begitu saja menjadi bahan candaan. Panas-panasan dengan menunjukkan ketangguhan mereka di depan publik, nyatanya lebih membuat mereka keren, tak jadi masalah resiko kaki pegal.
Toh, Arka hanya perlu bersandar di punggung lebar milik Brian selama perjalanan pulang, yang kemudian langsung melompat ke atas kasur tanpa ingin repot berganti pakaian. Arka lelah, fisik bisa di istirahatkan, namun batinnya yang terlalu mengganjal, mengusik rencana tidur siangnya.