Arka bangun lebih pagi dari kesehariannya lalu. Mengguyur tubuhnya dengan pancuran air dingin dan menggosok-gosok seluruh bagian tubuh hingga bersih. Beralih ke wastafel untuk menggosok gigi dan mencuci wajah, tersenyum lebar menatap pantulannya yang sudah nampak segar dengan beberapa tetes air mengalir di tubuh atas telanjangnya.
Setelah mengenakan seragam yang masih putih biru, Arka pun menuruni tangga siap untuk memulai hari.
"Napa lo cengengesan, masih pagi juga!"
Arka pun mendudukkan diri di kursi meja makannya tanpa mempedulikan kakak perempuannya yang selalu memancing mood jelek.
"Pagi Ma, Pa, dan adikku tersayang Mika! Selamat menikmati sarapan!" ucap Arka. Tangannya mengusap surai adik laki-lakinya yang masih menginjak bangku sekolah dasar kelas IV itu. Sedangkan matanya saling melirik tajam dengan wanita yang satu tahun lebih tua darinya itu, Melisa.
"Pagi, kak Arka."
"Pagi, sayang."
"Ya ialah, dinikmati! Orang gue sama mama udah kerja keras bikin makanan beraneka ragam buat bekal Mika sama lo juga!"
"Eh, ma! Aku nggak mau bawa bekal, kayak anak kecil, tau!"
Mengerucutkan bibir, Arka baru menyadari jika di depannya saat ini tertumpuk dua buah kotak makanan, yang sudah jelas untuknya dan Mika.
"Nggak mau kayak anak kecil tapi sukanya ngerengek!"
"Apaan sih! Ma... Kak Mel, tuh!" adu Arka.
"Ngadu terus!"
"Lo tuh sukanya bikin gara-gara mulu, ya kak!"
Gue nggak bikin gara-gara-"
Braak
"Udah-udah, papa makannya jadi nggak nafsu gara-gara kalian berantem terus," ucap pria paruh baya itu. Menegak minum dengan rakus dan mulai membenahi letak dasinya. Pandangannya menatap tajam ke arah dua anaknya yang saat ini menunduk takut. Keseharian di meja makan yang memang masih sama, pertengkaran dua anak remajanya selalu saja membuatnya memijat kepala.
"Udah pa, sabar. Lanjutin makannya lagi, ya!" ucap sang istri menenangkan.
"Sebagai hukuman, satu minggu tidak akan ada uang saku untuk kalian. Bawa saja bekal dari masakan mama."
"Pa!"
"Pa!"
Arka dan Melisa sontak menjerit protes. Wajah cemas membayangkan mulutnya yang akan kekeringan karena hanya bisa menatap banyaknya jajanan di kantin tanpa bisa menikmati.
"Pa, aku nggak mungkin nggak bawa uang sama sekali, kan? Aku bawa motor, loh!" protes Melisa berusaha mencari cela.
"Tenang saja, bensin di motor kamu akan tetap terisi full."
Mendengarnya, Melisa pun mencebikkan bibir, punggungnya seketika melemas. Sedangkan raut wajah Arka, seketika bugar. Mendengar penderitaan sang kakak cukup mengobati kesengsaraannya juga.
Menyelesaikan sarapan dengan membawa masing-masing kotak bekal, mereka bertiga pun berbaris untuk mencium tangan orangtuanya sebelum pergi sekolah.
Arka berjalan menuju pintu rumahnya itu dengan bergandengan tangan dengan Mika. Mengayun-ayunkan tangannya yang bertautan itu dengan raut ceria mengejek Melisa yang berwajah masam.
"Wekk! rasain lo!"
"Pa, ma!"
Sebelum mendapatkan ceramah lagi, Arka sudah melenggang pergi dengan berlari. Tangannya melambai dan sesekali meloncat girang. Kesenangan Arka memang begitu sepele, yaitu melihat kakaknya yang rese berwajah suram.
"Dadah semuanya, Arka berangkat. Sini tak kasih cium jauh dulu!" teriak Arka setelah membuka lebar pagar besinya. Mengerucutkan bibir dan menciumnya di telapak tangan yang setelahnya diarahkan ke anggota keluarganya yang menatap dengan terdiam dengan tingkah urakannya.
"Cabut, Bri!"
Setelah menyamankan duduknya di boncengan motor matic milik Brian, pria itu pun segera menancap gasnya dan meluncur menuju jalanan besar.
Brian memang selalu mengantar jemputnya, setelah motor matic milik Arka dijual oleh sang papa karena aduan Melisa yang memberitahukan jika ia suka keluyuran untuk balapan. Karena itu Arka sangat tidak menyukai sikap sang kakak dan mereka lebih cenderung sering bertengkar.
Semua yang diadukan ke papanya itu selalu dilebih-lebihkan oleh Melisa. Pada kenyataannya Arka tak pernah sekalipun ikut balapan liar walaupun ia suka di dalam perkumpulan malam itu.
"Bri, kakak lo nggak ikut kegiatan sekolah apa gimana, sih?"
Saat ini Arka dan Brian sedang berada di parkiran depan sekolah. Arka yang beralih duduk miring di motor Brian, sedangkan pemiliknya malah berdiri dihadapannya.
"Nggak tau gue, kayaknya sih ikut." balas Brian dan menatap Arka yang memandangnya tak yakin.
"Bener?"
"Ar... jangan gitu dong! kalo ternyata salah, lo marah sama gue lagi. Gue sama Bang Nino soalnya jarang banget bicara pribadi."
Mengangguk-anggukkan kepala, Arka pun menepuk bahu Brian yang tertutupi jaket kulit itu.
"Gue udah nggak marah, asal lo dukung gue aja!" ucap Arka dengan menaik turunkan alis kirinya.
"Oke deh! Lagian gue kangen banget buat jahilin lo!"
"Akh, bri!"
Brian menjungkit motornya yang standar tengah dan membuat Arka yang duduk dengan menumpu kaki itu kelabakan. Kedua lengan Arka pun memegang erat bahu Brian dan memukul-mukulnya pelan.
"Hahah.... cowok jangan takut jatuh dong!"
"Eh, gila! Jatuh di posisi motor yang standar tengah nggak lucu, Bri! Mau lo kalo gue marah sama lo lagi?"
Tin tin tinnn
"Kalo mau cari perhatian jangan di parkiran, halangin motor gue aja!"
Arka dan Brian pun sontak menolehkan pandangannya ke sosok penunggang motor dengan helm full face yang kacanya terbuka. Brian dan Arka langsung melepaskan cekalan tangan masing-masing. Perhatian mereka tertawan ke sosok pria dengan tampang maskulinnya melepas hoodie hitam dan memasukkannya ke dalam tas.
"Bang!" panggil Brian pelan. Ia sendiri tak menyangka dengan keterdiamannya sendiri menatap gagahnya sang kakak dengan motor besar merah miliknya. Sedikit tak terima dengan segala sesuatu yang didapatkan sang kakak dengan berlebih. Wajah dengan rahang tegas dan tubuh tinggi berotot, semua itu berbanding terbalik dengan Brian.
"Kenalin, Bri kenalin!"
Arka yang masih mematung beberapa saat itu seketika tersadar saat sosok pria incarannya semakin bergerak menjauh. Berdiri dari posisi duduknya dan langsung menarik-narik lengan Brian.
"Bri!"
Mendengar rengekan sahabatnya itu, Brian pun mencekal lengan Arka dan membawanya ke sang kakak dengan langkah yang sedikit terburu-buru.
"Bang Nino, bang!"
"Hufh... kalo jalan kenapa cepet banget, sih!" ucap Brian
Setelah berhasil mengikuti langkah Nino, Arka dan Brian pun mengatur nafas dengan rakus. Nino yang membalikkan tubuhnya itu pun seketika mengerutkan dahi.
"Kenapa?"
"Temen gue mau minta kenalan."
"Eh gue-"
"Nanti bakalan ada sesi kenalan kok! Dah ya Bri, buru-buru nih!" balas Nino. Setelah melihat jamnya yang menunjukkan angka yang sudah terlewat dari aturan.
Belum sempat lengan Arka bersambut, pria yang diincarkan itu malah berbalik melenggang pergi. Arka masih terkejut dengan penolakan secara langsung itu, apa ia terlalu terlihat jelas jika sedang mengejar kakak Brian itu?
"Mungkin dia emang lagi buru-buru Ar. Bukan maksud kakak gue buat nggak ngehargai lo, kali!"
"Apa gue jelas banget suka sama dia? Dia sadar mungkin, Bri! Apa jangan-jangan malah jijik?"