Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 47 - 46. Pengendalian Diri

Chapter 47 - 46. Pengendalian Diri

"Suzy, nanti ngobrol sama saya di ruangan sebelah kamar Gina, ya? Di situ kamar yang disediain Mamanya Gina buat saya kalau nginep di sini. Udah tau, kan?" 

Saat ini Dokter Hani, Gina, dan Suzy sudah ada di dalam kamar Gina. Mereka bertiga duduk di atas kasur sang pemilik kamar setelah sarapan pagi yang dibuatkan oleh Bi Mora dan Asisten Rumah Tangga lainnya.

Gina tertawa menanggapi ucapan Dokter Hani. "Suzy bukan sekali dua kali ke sini perasaan. Bukan sebulan dua bulan juga dia kenal sama Gina. Kenal sama Dokter Hani juga lamanya samaan sama kayak Gina waktu itu."

Gadis itu duduk di sisi lain tempat tidurnya tepat di samping Dokter Hani. Posisi mereka berdua saat ini berhadapan dengan Suzy yang tadinya duduk bersebelahan dengan Gina.

Ia menatap Dokter Hani dengan kerlingan jahil. Seolah meminta izin atas apa yang akan dirinya lakukan. "Suzy, nanti ngobrol sama saya di ruangan sebelah kamar Gina, ya? enyenyenyenye blablabla. Udah tau, kan?" 

Tawa Gina pecah, ia terpingkal-pingkal sesaat setelah mengejek apa yang Dokter Hani lontarkan kepada sahabatnya itu. 

Tak ayal, Suzy yang beberapa waktu lalu terlihat mendung dan murung, ikut tertawa atas tingkah gadis cantik yang kini sudah memegang peerutnya yang sakit karena terlalu banyak terbahak.

Sementara itu objek yang tengah ditertawakan hanya bisa berpura-pura tidak terhibur karena dirinyalah yang diejek oleh anak itu. Ia memasang muka sedatar mungkin, menahan tawa agar tidak sama seperti dua remaja konyol di hadapannya.

"Saya cuman ngelakuin tugas sebagai seorang Psikiater, Gina. Biar nanti Suzy kalau ngobrol sama saya juga tau apa yang harus dilakuin," bela Dokter Hani setelah sebelumnya menarik nafas untuk meredam tawa yang hampir saja keluar. 

"Yaudah iya-iya, terserah." Gina kembali terpingkal saat ia melirik ke arah Dokter Hani. Dan benar saja, psikiater itu sedang menatapnya dengan jengkel seperti apa yang diperkirakan. 

Gina membaringkan tubuhnya, meletakkan kepala dengan rambut yang panjang tersebut di paha Dokter Hani. Seiring berjalannya waktu, tawa Gina perlahan mulai hilang, begitu juga dengan Suzy dan Dokter Hani yang diam-diam ikut tertawa.

Selama beberapa menit lamanya, ruangan yang cukup besar untuk ukuran sebuah kamar itu dilanda keheningan. Bukan keheningan yang mencekam namun keheningan yang membawa kenyamanan.

"Dokter Hani," Sampai pada akhirnya Gina memecahkan keheningan dengan cara memanggil psikiater yang sedang ia pinjam pahanya untuk bersandar.

"Apa?" Dokter Hani menunduk, mengusap-usap kepala Gina sayang. Tujuh tahun berusaha menyembuhkan gadis malang itu, membuat seseorang seperti dirinya sudah menganggap Gina sebagai anaknya sendiri.

Menyayanginya sepenuh hati.

"Kak Gian sama Kak Gino udah berangkat sekolah, kan?" tanya Gina memastikan.

"Udah, tapi Gino berangkat lebih pagi daripada Gian." Jawaban dari Dokter Hani membuat gadis yang bertanya menggeserkan kepala, menatap sosok di depannya dengan sorot ingin tahu diselipi keterkejutan.

"Loh kenapa?" Dokter Hani mengulum bibir menyesali perkataan yang spontan keluar dari mulutnya. Karena candaan Gina beberapa menit lalu, berhasil membuat fokus psikiater yang sedang melakukan penelitian itu terbuyar.

Melupakan apa yang seharusnya ia katakan dan tidak. Jantung Dokter Hani sontak bergemuruh tidak karuan, seketika ia merasa amat lalai atas tugasnya menyembuhkan mental Gina.

Guna menutupi agar tidak terlihat seperti orang yang terkejut dengan ucapannya sendiri, Dokter Hani tersenyum, menelan ludah berakali-kali melihat Gina yang terus menunggu dirinya menjawab.

Percuma saja jika dirinya mengalihkan pembicaraan agar Gina melupakan ucapanya, karena Dokter Hani lebih dari tahu bahwa gadis di bawahnya tidak gampang untuk ditipu. Gina tidak sebodoh itu, ia tahu.

"Biasa, anak muda." Pada akhirnya hanya tiga kata yang bisa ia keluarkan. Berharap besar bahwa Gina jangan sampai mengungkitnya lagi dan puas atas jawaban yang ia beri.

Akan tetapi, sepertinya hal tersebut hanya menjadi sebuah harapan kosong saat Gina kembali bertanya, "Emang anak muda kenapa? Apa hubungannya sama Kak Gino yang berangkat lebih pagi?"

Dokter Hani pasrah, hanya bisa meringis dan mempersiapkan diri kalau-kalau Gina terserang serangan panik lagi. Ia yakin jika saja serangan panik Gina kambuh karena dirinya sendiri, rasa bersalah karena kegagalan akan terus menghantuinya.

Gina sendiri masih menunggu, otaknya benar-benar malas berfikir tentang alasan mengapa kakaknya itu berangkat mendahului Gian. Karena biasanya Gino akan pergi kesekolah bersamaan dengan dua saudara kembarnya yang lain, di waktu yang sama.

Menggunakan mobil masing-masing menuju ke sekolah yang berbeda. Gian dengan sekolah ter favorit seluruh Ibu Kota, Gino dengan sekolah khusus tekniknya, dan Gina dengan sekolah yang sangat jauh dari sekolah kedua kakak kembarnya bersama Suzy.

Anak bungsu keluarga Adhitama itu tidak pernah ingin orang lain mengetahui bahwa dirinya mempunyai saudara kembar, begitu pula dengan Gian dan Gino yang menyembunyikan seluruh hal tentang adiknya kepada semua orang, termasuk teman-teman baik mereka.

Semua demi keselamatan Gina sendiri, karena membuat orang lain tahu tentang keberadaannya sebagai salah satu keluarga Adhitama dapat berdampak besar atas kesehatan mentalnya.. 

"Kalau remaja punya pacar, apalagi satu sekolah, apa yang dilakuin si cowok buat si ceweknya?" Sebelah tangan Dokter Hani ia kepalkan di balik punggung. Bersiap menerima kemungkinan terburuk yang akan terjadi dengan Gina.

"Oh, jemput Viona buat ke sekolah bareng?" ujar Gina santai. Ia menatap datar dengan air muka tenang, seolah nama yang baru saja terlontar dari mulutnya bukanlah masalah besar.

Awalnya Dokter Hani terkejut ketika Gina berbicara lancar soal Viona. Ia kira Gina tidak ada masalah apapun dan tidak terguncang dengan kejadian lalu yang menyeretnya kembali masuk kedalam kelamnya serangan panik.

Namun, tidak lama kemudian ia merasa hatinya teremas kuat. Merasa sakit saat netra hitamnya bertubrukan dengan manik milik Gina. 

Dokter Hani sekarang tahu, gadis cantik itu bukan tidak takut dan terguncang dengan nama seorang Viona, akan tetapi Gina sedang berusaha mengendalikan dirinya, mencegah agar serangan panik atau kesedihan-kesedihan itu mengambil alih tubuh ringkih miliknya.

"Gina ... sayang ... " lirih Dokter Hani pelan. Ia menunduk, mengecup lama kening gadis yang teramat kuat dan berusaha tetap baik-baik saja di depan semua orang.

Dokter Hani tercekat, berusaha tidak menangis melihat seorang yang memiliki gangguan mental parah seperti Gina menahan diri, mengendalikan kontrol tubuh agar tidak roboh dan terus menguatkan diri.

"Kamu bisa cerita apapun ke saya, kapanpun kamu siap. Jangan mendem sendiri sampai bisa bikin kesehatan mental kamu terganggu lagi, cantik."

Setelah mengucapkan hal tersebut, Dokter Hani memberikan sesuatu ke genggaman tangan Gina. Sebenarnya ia tidak ingin gadis itu meminum terlalu banyak obat yang baru saja ia berikan.

Akan tetapi lebih baik Gina menelan sedikit untuk membuatnya tenang daripada terjadi sesuatu yang mengerikan datang menyerang mentalnya. 

"Saya mau ngecek Suzy dulu, kamu baik-baik ya di sini." Dokter Hani meletakkan kepala Gina yang matanya terpejam ke atas kasur. 

Ia melirik ke arah Suzy dan mengisyaratkan remaja perempuan tersebut untuk segera pergi meninggalkan Gina.