Suara riuh dari banyaknya orang membuat telinga siapapun yang ada di sana tidak bisa merasakan yang namanya ketenangan, sebuah tempat dengan ukuran amat besar bahkan tidak dapat meredam suara yang ada di sana.
Seorang remaja laki-laki dengan kaki panjangnya melangkah menuju ke arah kelas. Jam menunjukan bahwa saat ini adalah waktunya istirahat. Ia baru saja selesai dari ruang guru dimana tadi ada guru mata pelajaran yang memanggil.
"Gian!" Merasa terpanggil sosok pemilik nama langsung menoleh ke belakang, tepat dimana beberapa teman laki-laki sebayanya berada.
"Makan?" tawar salah satu temannya. Gian tahu bahwa mereka mengajaknya menuju ke kantin. Memesan makanan sesekali melemparkan canda dan tawa.
Namun hari ini, mood miliknya sedang tidak baik. Ia menggeleng, menolak ajakan teman-temannya sehingga mereka yang mendapatkan penolakan dari Gian mengangguk.
Tanpa menanyakan alasan apa yang tepat sampai Gian menolaknya, beberapa remaja laki-laki itu tahu bahwa salah satu teman mereka sedang dalam fase tidak ingin diganggu.
Setelah teman-temannya pergi, Gian kembali melanjutkan langkahnya. Wajah murung disertai sedikit lingkar hitam di bawah mata membuat siapapun tahu jika remaja itu sedang tidak baik-baik saja.
Gian mendudukan bokongnya di bangku yang biasa dirinya tempati, tepat di bangku paling depan dekat guru. Tidak salah memang ketika Gina memanggilnya anak yang sangat rajin.
Karena menurutnya, mendapatkan nilai yang buruk karena keteledoran tanpa hasil merupakkan sebuah mimpi buruk. Ambisi serta tujuan yang kuat agar bisa mengambil seluruh pekerjaan sang Mama ke tangan dirinya membuat Gian tidak ingin berhenti berjuang.
Ia hanya ingin Mamanya kembali mengambil tugas menjadi seorang ibu rumah tangga. Tidak pergi kemana-mana dan hanya mengurus ketiga anak kembarnya. Memberikan kasih sayang dan menjadi tempat cerita yang baik.
Bukan menjadi seseorang yang menghandle semua pekerjaan dari mendiang Papanya.
Hati Gian bergemuruh, ia merindukan kehidupannya sewaktu kecil. Masa sebelum tujuh tahun lalu yang sangat sulit terulang.
Bukan hanya Gina yang sakit, bukan hanya adiknya itu yang terpukul. Melainkan, Gian dan Gino juga. Mereka bertiga merasakan sakit yang sama, perasaan yang sama. Yang membedakan hanyalah suatu peristiwa yang menyebabkan trauma Gina tercipta.
"Sadar Gian, sadar. Ini masih di sekolah, lu nggak boleh keliatan lemah di depan siapapun." Beberapa kali remaja laki-laki tersebut menepuk-nepuk pipi miliknya. Mencegah agar air mata yang tergenang akibat rasa sesak di dada tidak muncul begitu saja.
Gian membuka resleting tas, ia mengambil kotak bekal yang sudah disediakan oleh Bi Mora untuknya. Ketika membuka tutup kotak bekal itu, selama beberapa detik Gian terdiam. Termenung melihat menu makan siang yang disuguhkan di depan matanya.
Telur dadar.
Kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk sebuah senyum samar. Mengingat memori beberapa minggu lalu, hari ketika Gino memberi tahu bahwa dirinya memiliki seorang kekasih. Dan tepat di hari itu juga, Gina memprotes telur dadar buatan Gian yang sangat asin.
Tidak sampai beberapa detik, senyum yang terpatri di wajah tampannya luntur. Kali ini memori tentang bagaimana serangan panik Gina kambuh membuat dada Gian kembali terasa sesak seperti ada yang menginjaknya sekuat tenaga.
Beberapa perkataan Dokter Hani yang sampai saat ini masih bersarang di kepala Gian pun, membuat remaja laki-laki itu tidak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi dengan Gina sebenarnya.
Rumit, kasus kali ini sangat rumit. Gian hanya bisa berharap bahwa saat ini hal itu tidak lagi menjadi badai yang mengguncang hidup Gina, Gino dan dirinya.
"Nih gua pinjemin pulpennya, tapi inget. Kalau pulpen ini ilang, lu pada bakal gua cekik satu-satu. Paham kagak!!"
Sebuah teriakan dengan lengkingan yang menyebabkan kuping sakit, sukses membuat Gian tersentak kaget. Ia melirik ke arah pojok bagian belakang kelas. Di sana terlihat seorang gadis bersama dengan dua orang laki-laki.
"Heh, mana pulpen gua yang pagi tadi lu pinjem? Balikin!!" teriak si gadis sekali lagi.
Gian masih menyimak dengan khidmat, ingin tahu apa jawaban dari teman sekelasnya yang sudah seperti ditagih hutang puluhan milyar oleh seorang lintah darat.
"G-gua balikin p-pake uang aja ya, Rin." Terbata-bata, remaja laki-laki yang menjadi korban keganasan seseorang yang dipaggil Ryn itu menjawab.
BRRRAAAKKK
Suara benturan kayu dengan sesuatu dengan kekuatan besar berhasil menghancurkan sebelah kaki meja salah satu murid.
Airyn, gadis itu melotot ganas. Kedua tangannya mengepal seolah bersiap menghantam apapun. Suara langkah kaki banyak orang berbondong-bondong ingin melihat apa yang terjadi setelah terdengar sebuah suara menggelegar dari sebuah kayu yang ditendang.
"Cari pulpen gua sampe dapet!!! Kalau sampe nggak dapet juga, lu cuman harus inget ini. Gua nggak pernah maen-maen sama ucapan gua, paham?"
Airyn menoleh ke arah jendela, terlihat disana terdapat banyak sekali pasang mata yang sedang mengintip apa yang ia lakukan. Tanpa aba-aba apapun, gadis itu memukul keras ke arah jendela.
Tidak menyebabkan kerusakan, tapi berhasil membuat semua murid yang ada di sana pergi. Takut akan keganasan seorang Airyn yang terkenal amat menyeramkan.
Beberapa menit kemudian, gadis tersebut memejamkan mata. Kedua tangannya menyilang di depan dada sembari mengetukkan sebelah kaki. Hal itu sukses membuat laki-laki yang menghilangkan pupen miliknya semakin bergetar takut.
"Kenapa masih di sini? Bosen hidup lu? Pengen mati?" ujar Airyn. Ia muak melihat orang-orang yang tidak bertanggung jawab seperti seseorang yang ada di depannya saat ini.
Sudah tahu meminjam, masih saja berani menghilangkan.
Ketukan di kakinya semakin cepat, Airin menggigit bibir seraya memutar bola mata malas ketika teman tidak bertanggung jawab di hadapannya membuka mulut, bersiap melontarkan kata-kata.
"Gua minta maaf," lirih laki-laki itu. Ia menunduk, takut akan tatapan Airin yang semakin menusuk.
Airin menghentikan ketukan kakinya. Kedua tangannya juga tidak lagi tersilang di depan dada. Tanpa disangka-sangka, gadis galak itu tersenyum.
"Itu yang daritadi gua tunggu. Gua maafin." Dengan cepat dan tanpa beban, Airin memaafkan teman sekelasnya semudah membalikan telapak tangan.
"Sekarang lu ambil sapu, terus bantuin gua ganti meja si Liam." Karena tidak mau diamuk lagi oleh seseorang semenyeramkan Airyn, anak laki-laki itu mengangguk lalu segera berbalik untuk mengambil sapu.
Di sisi lain, Gian yang sedari tadi memperhatikan tanpa mengalihkan perhatian, tidak kuasa menahan suatu gejolak yang membara di dalam hatinya. Ia kembali menatap bekal yang sama sekali belum tersentuh, menghiraukan jam istirahat yang sebentar lagi selesai.
Gian menunduk, mengontrol nafas serta jantungnya yang berdebar cepat. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, sadar akan apa yang terjadi dengan dirinya.
Untuk pertama kalinya dalam tujuh belas tahun seorang Gian Adhitama hidup, remaja laki-laki itu merasakan rasanya,
Jatuh cinta.
"Rin, ini kamu ada apa lagi? Siapa yang bikin kamu marah?" Suara yang cukup melengking bagi seorang remaja laki-laki yang baru saja masuk membuat debaran di jantung Gian seketika menghilang.
Hanya ada detak jantung normal dan rasa sesak yang kembali merasuk ke dalam dada. Gian mengangkat tubuhnya yang sedari tadi menunduk, kemudian menatap jendela luar yang mengarah ke arah taman dengan dalam.
Gian menghela nafas, ia menyerahkan kepalanya ke arah jendela tanpa menghalangi pandangan ke arah taman yang sangat asri.
Bagaimana ia bisa lupa? Beberapa waktu lalu secara lepas perasaan di hatinya itu mengembang, tanpa menyadari fakta bahwa,
Gadis yang dicintainya sudah memiliki seorang kekasih.