Kedua sosok manusia melambaikan sebelah tangannya mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang di dalam sebuah mobil yang perlahan melajukan rodanya menjauh. Sampai mobil tersebut sudah hilang dari pandangan, salah satu diantara mereka masih ada yang melambaikan tangannya.
Melamun, itu yang sedang dilakukan Gina sekarang.
"Hei, ngelamun terus. Nanti kesambet sama kuntilanak loh," tegur Dokter Hani menyadarkan Gina dari alam bawah sadarnya. Gadis itu menoleh, menatap linglung ke arah Dokter Hani yang sedang tersenyum ke arah dirinya.
"Kunti-- apa?" tanya Gina bingung. Membuat suara tawa menggelegar yang menggema di seluruh penjuru garasi pecah begitu saja.
"Kamu kenapa gemesin banget sih." Saking gemasnya, Dokter Hani meletakan sebelah tangannya dan mengusak kasar puncak kepala Gina. Membuat sang empu pemilik rambut menggeram kesal saat tatanan rambutnya berantakan.
"Kenapa ngelamun?" Psikiater itu menanyakan hal yang tadi membuat Gina sampai-sampai tidak menurunkan lambaian tangannya. Padahal mobil yang melaju membawa Suzy pulang sudah menghilang, lenyap dari pandangan mereka.
Gina menoleh, memperhatikan jalur keluar kendaraan di garasi khusus keluarga Adhitama. Ia menatap lekat seolah mobil yang ditumpangi Suzy dan dikendarai oleh supir pribadinya masih ada di sana.
Secara tiba-tiba, tatapan gadis cantik itu kosong. Pikirannya memutar adegan beberapa waktu lalu. Kejadian yang membuat sahabat baiknya menjadi seperti itu.
"Suzy nggak papa, kan?" gumam Gina lirih. Ia seakan berbicara dengan dirinya sendiri. Tanpa tahu bahwa Dokter Hani yang berprofesi sebagai psikiater pribadi miliknya memperhatika setiap gerak-gerik Gina sedari tadi.
"Hei cantik, liat saya." Kedua sisi wajah Gina terangkum di dalam kedua tangan hangat milik Dokter Hani. Mau tak mau, secara spontan gadis cantik itu menatap tepat ke arah mata yang saat ini menatapnya serius.
"Sebelum nanya keadaan Suzy, coba pikirin dulu keadaan kamu sekarang," ujar Dokter Hani. Intonasi sarat akan kekhawatiran akan Gina sangat jelas terdengar dari setiap kata yang psikiater tersebut keluarkan.
"Kamu nggak papa?" Bahu Gina meluruh saat mendapatkan pertanyaan yang ditujukan untuknya.
Tidak. Jangan tanyakan hal itu kepada Gina sekarang.
Karena dirinya sendiri bahkan tidak tahu keadaannya sekarang baik-baik saja atau tidak.
Gina hanya merasa, jiwanya sedikit demi sedikit tersedot. Kesehatan mental seperti mempengaruhi stamina fisinya juga, membuat Gina merasa seperti sakit. Tubuhnya serasa dicekoki racun mematikan setiap hari.
Gadis malang itu menggeleng sebagai jawaban. Biarlah Dokter Hani yang mencari apa maksud dari jawabannya barusan. Jika ia sendiri tidak tahu, bukan berarti Dokter yang sedang merangkum wajahnya saat ini juga tidak tahu.
Dokter Hani seorang psikiater hebat, ia pasti tahu apa maksud gadis seperti dirinya saat ini.
Sedangkan di sisi lain. Dokter Hani hanya mencoba tersenyum menenangkan, ia jelas tahu apa maksud dari gelengan serta tatapan Gina kepada dirinya. Hatinya kembali berdenyut sakit, seperti ia lah yang ada di posisi pasiennya sekarang ini.
"Jadi, Gina cantik mau tau gimana keadaan Suzy?" tanya Dokter Hani riang. Ia sangat handal menyembunyikan topeng kesedihannnya bahkan di depan Gina yang terlihat sangat peka sekali terhadap ekspresi serta perasaan seseorang.
Gina ikut tersenyum melihat Dookter Hani yang seperti itu, sebelum menjawab ia merasakan rangkuman wajah nya tidak terasa lagi, berganti dengan usapan lembut dari puncak kepala hingga bawah rambutnya yang sampai ke pinggang.
"Iya, Suzy nggak papa, kan?"
Dokter Hani mengangguk, merasa lega ketika binar mata Gina terlihat sedikit lebih hidup akibat dari sikapnya yang mempengaruhi emosi remaja labil seperti gadis itu.
"Suzy nggak papa, dia sesek cuma gara-gara rasa sedih yang berlebihan aja. Saya udah nitipin dia ke temen saya yang psikolog. Sebentar lagi juga Suzy udah nggak bakal kenapa-napa lagi."
Psikiater itu merangkul Gina, menuntun pasiennya masuk kembali ke dalam rumah kediaman keluarga Adhitama. Sejujurnya ia hanya ingin mendudukan bokongnya yang sudah mulai terasa pegal, lagipula mengobrol dengan posisi berdiri itu tidak ada bagusnya.
"Gina, saya boleh minta sesuatu sama kamu?" ucap Dokter Hani tiba-tiba. Gina yang tadinya menatap lurus ke arah jalan menuju rumah sembari menghela nafas lega setelah mengetahui kabar sahabatnya, langsung menoleh.
"Boleh, apa?" Gina tersenyum. Melihat Dokter Hani yang terlihat sedikit tegang saat melihatnya kali ini, membuat gadis tersebut berniat menenangkan psikiater pribadinya agar setidaknya rileks barang sedikit.
"Tolong bertahan. Saya yakin bakal ada kebahagiaan yang bakal ngisi hidup kamu tanpa bayang-bayang rasa sakit masa lalu lagi."
"Saya mohon, tolong bertahan," ulang Dokter Hani sekali lagi. Dan seperesekian detik kemudian rasa cemas mulai menyerang Gina saat melihat mata Dokter Hani terlihat berkaca-kaca.
"Dokter Hani nangis?" Pekikan terkejut dari Gina dan gerak reflek yang terlihat terburu-buru untuk memeluk Dokter Hani membuat hati psikiater perempuan itu amat terenyuh. Tersentuh akan seluruh sikap gadis malang yang sedang memeluknya.
Dokter Hani jarang menangis, terakhir Gina melihat psikiater itu menangis adalah tujuh tahun lalu saat dirinnya dan Dokter Hani pertama kali bertemu. Waktu itu Dokter Hani meraung-raung melihat bagaimana keadaan anak perempuan malang seperti Gina.
Dan sekarang, kedua kalinya Dokter Hani menangis. Walau tidak sekeras tujuh tahun lalu, tetapi Gina cukup tersakiti melihatnya seperti ini.
"Bertahan ya cantik ... kamu anak kuat, kamu anak baik." lirih Dokter Hani disertai isakan kecil. Gina membeku, rasanya seperti dejavu saat Dokter Hani melontarkan kata-kata tersebut.
Tidak lama kemudian, setelah ingatannya terus mengorek apa yang ia lupakan air mata mengalir begitu saja melewati pipinya menuju dagu dan berakhir di bahu Dokter Hani yang tengah ia peluk.
Sang Mama.
Sesaat sebelum Gian datang dan sepasag kekasih yang menjadi bintang utama juga menunjukkan batang hidungnya. Sang Mama menangis, memohon kepada dirinya agar Gina baik-baik saja.
Kedua tangan Gina yang ada di belakang punggung Dokter Hani bergetar, sudah dua orang yang memohon kepadanya agar terus ada di dunia ini. Dua orang yang sudah menjadi sosok paling hangat dan aura keibuan yang amat kuat.
Memintanya hal yang sama, menangis di hadapannya sembari berharap agar Gina baik-baik saja.
Sebenarnya, ada apa? Kenapa Mamanya dan Dokter Hani seakan sudah memiliki firasat buruk akan dirinya?
Gina mengusap-usap punggung Dokter Hani saat terdengar isakan yang keluar semakin keras.
"Iya, Gina janji bakal bertahan, tapi Dokter Hani harus berhenti nangisnya ya." Sebisa mungkin Gina mengeluarkan suara dari tenggorokannya yang sedari tadi tercekat menahan tangis.
Gadis itu terkekeh sejenak ketika sebuah guyonan untuk menghibur Dokter Hani terlintas di kepalanya.
"Kayaknya yang kerasukan kuntilanak di sini bukan Gina deh ya. Kuntilanak cengengnya udah bersarang di dalem Dokter Hani kayaknya." Sebuah pukulan yang tidak terlalu keras ia terima di bokongnya. Berhasil, isakan dari psikiater itu sedikit demi sedikit mulai menghilang.
Membuat hati Gina setidaknya sedikit tenang hanya karena itu.
Dokter Hani meregangkan pelukan, ia menatap Gina lekat. "Beneran ya? Kamu harus bertahan demi saya, demi semua orang yang sayang samu kamu."
Gina mengangguk. "Iya, Gina janji."