"Hah?" Jantung Gina sedikit berdebar karena terkejut mendengar apa yang baru saja di tangkap kedua telinganya. Mulutnya terasa sedikit kelu, bingung ingin merespon apa lagi selain satu kata bermakna ganda tersebut.
"Bentar-bentar, kurang jelas. Ngomong lagi coba," titah Gian sambil pura-pura mengorek kupingnya. Sebelah tangannya meraih gelas berisi air lalu memasukkannya ke dalam mulut tanpa sekalipun terbesit niatan untuk ditelan.
Gino menghela nafas, berusaha menetralkan jantungnya yang masih bertalu cepat. Ia menuruti perintah sang kakak tanpa melihat perlakuan Gian terhadap air yang baru saja diteguknya.
"Gino punya pacar," ulang Gino cepat. Nada bicara tidak lagi dia perhatikan, yang ada di fikirannya saat ini hanyalah mengucapkan sesuatu yang cukup mendebarkan sebanyak dua kali.
Pfffftttttt
Suara air yang disemburkan dari dalam mulut untuk sesaat mengisi keheningan di meja makan keluarga Adhitama. Gino tersentak, matanya spontan menutup saat indra penglihatannya menerima beberapa tetes air yang masuk.
Gina yang melihat itu semakin melotot, atensinya teralih ke arah Gian. Dilihatnya kakak kembarnya itu menatap Gino dengan wajah datar, namun Gina tahu sudut bibir Gian berkedut menahan tawa. Di detik itu juga Gina menangkap gelegar tawa sang Mama yang terdengar keras.
Gina terduduk. Ia kembali menatap Gino yang sedang menggosok matanya, berusaha menyingkirkan air yang masuk agar dapat melihat. Seluruh wajah Gino basah penuh dengan air semburan Gian.
"K-kak Gian ngapain sih? Itu Kak Gino nya-hahahahaha." Entah karena suara sang Mama yang memang renyah serta membuat orang lain ikut tertawa, atau tidak kuasa melihat keadaan wajah Gino, pada akhirnya tawa Gina pecah saat itu juga.
"Nggak ngapa-ngapain, Kakak cuman kaget, ternyata Gino yang lagi jatuh cinta," jawab Gian santai. Sesekali dirinya mengulum bibir dan mengatur nafas agar tidak memecahkan tawa. Hatinya membuncah bahagia telah berhasil menjahili saudara kembarnya.
"Tukang bohong! Jelas itu nyemburnya niat banget." Saking tidak bisa lagi menahan tawa, tangan Gina memukul meja dan memegang perutnya. Tawanya semakin keras ketika melihat Gino yang mengambil tisu untuk mengelap wajahnya.
"Jangan di lap, Kak. Tepuk-tepuk aja kayak pake toner, lumayan semburan dari dukun. Bisa makin glow down." Setelah mengucapkan hal tersebut, Gina merosot ke bawah meja. Semakin gencar dirinya tertawa, akan semakin hilang suara tawa yang didengar orang-orang.
Sang Mama dan kedua kakak kembarnya di meja makan tersebut bahkan hanya bisa mendengar Gina yang sesekali mengambil nafas kemudian tertawa tanpa suara lagi.
"Toner gimana, airnya bau semur daging. Kak Gian nyemburnya tega banget, belom sikat gigi." Gino mengusap wajahnya dengan tisu, sesekali mengernyit jijik saat mengingat fakta bahwa yang ada di atas wajahnya ini merupakan air dicampur liur kembarannya yang menjijikan.
Gian yang sedari tadi berpura-pura memasang muka datar akhirnya tergelak. Pertahanannya hancur melihat ekspresi jijik seorang Gino. Sensasi sesudah menjahili adik-adiknya akan selalu menjadi bagian favorit Gian ketika jiwa jahilnya muncul.
Mendengar suara tawa ketiga manusia yang disayanginya ini, membuat senyum tipis terpatri di wajah tampan Gino. Dirinya bahkan rela jika saja menerima kejahilan saudara kembarnya lagi, asalkan bisa mendengar dan merasakan rasa bahagia di relung hatinya seperti sekarang.
Ruang makan keluarga Adhitama dipenuhi gelak tawa. Dalam sekejap melupakan satu kabar mengejutkan yang baru saja hadir di kehidupan mereka.
Dikarenakan lelah tertawa, sang Mama meletakkan kepalanya di atas meja. Peluh akibat terus tertawa memenuhi paras wanita awet muda tersebut. Di tengah nafasnya yang sedang Ia kendalikan agar berhenti untuk tertawa, sang Mama mengerjap. Hatinya terasa ada yang mengganjal. Sang Mama terdiam, Ia yakin ada sesuatu yang dirinya lupakan saat ini.
Sebuah ingatan penting terlintas cepat di kepala ibu tiga anak itu. Matanya langsung mencari dimana letak jam, kepalanya kembali mengingat hari apakah sekarang ini. Jantung sang Mama bertalu cepat, Ia bangkit dari posisi duduknya dengan amat kasar. Membuat kursi yang Ia duduki terjengkang ke belakang. Suara kursi jatuh sukses menggantikan suara tawa yang menggelegar.
Tawa Gian terhenti, Gina terkejut hingga ludahnya masuk ke dalam tenggorokannya, mengakibatkan jalur pernafasan sedikit terhambat dan terbatuk. Gino melirik sang Mama dengan sorot mata heran diselimuti keterkejutan.
"Mama lupa ada urusan. Kalian jangan lupa beresin rumah, Mama pulang harus udah rapi semua. Gino, soal pacar kamu kita obrolin lagi bareng-bareng nanti malem di kamar Mama, ya. Mama minta maaf karena gak bisa lebih lama lagi sama kalian hari ini." Setelah mengucapkan hal tersebut, sang Mama berlari kecil untuk bersiap-siap pergi.
Ia sedikit merutuki dirinya yang dengan mudahnya melupakan sebuah rapat penting. Jika sudah bersama dengan ketiga anak kembarnya, sang Mama bahkan hanya bisa fokus menikmati waktu bersama mereka sehingga lupa dengan semua.
Ketiga anak kembar yang masih terduduk dengan salah satu di antara mereka ada yang terbatuk karena tersedak ludah, hanya mampu memperhatikan sang Mama yang berlari dengan kencang menuju ke kamar miliknya. Hati mereka sedikit tercubit melihat beberapa saat yang lalu baru saja mereka berkumpul tertawa bersama membagi kehangatan setelah setiap harinya sulit untuk membagi waktu bersama mereka.
Setelah batuk karena tersedak Gina berhenti, keadaan di meja makan dilanda oleh keheningan yang mencekam. Suasan di ruangan itu seakan dibalik seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.
Gian tertunduk, kedua tangannya yang berada di atas paha terkepal. Inilah salah satu alasan mengapa Ia harus lebih rajin lagi belajar. Agar sang Mama berhenti bekerja seperti itu dan fokus di rumah memberikan kasih sayang melimpah.
Seperti dulu, sebelum Papa mereka pergi untuk selamanya.
"Sedih ya," ujar Gina lirih. Ia menatap kosong ke depan, sebuah helaan nafas membuat bahunya merosot ke bawah. Gino yang berada di depan Gina segera beranjak ke samping adik kembar perempuannya itu. Ia menyentuh dagu Gina dan mengarahkannya agar menatap matanya. Sebelah tangannya yang lain mengelus Surai hitam Gina, berusaha memberikan pengertian bahwa Gina tidak perlu merasa seperti itu.
"Sedih kenapa?" tanya Gino.
"Sedih kenapa Mama ngeliburin asisten rumah tangga pas kita lagi libur panjang. Udah gak digaji, rumah sebesar ini di bersihin cuman sama bertiga. Jadi anaknya Mama ternyata tidak semudah apa yang temen-temen Gina gosipin." Dilepasnya tangan Gino dari kepala Gina. Ia memasang wajah jengkel yang amat kentara dikarenakan waktu liburnya habis untuk membersihkan rumah sebelas dua belas dengan istana ini.
Bayangkan, membersihkan rumah keluarga Adhitama perlu setengah hari untuk membersihkan semuanya. Sisanya mereka perlu melakukan hal-hal yang menyenangkan lainnya.
Gian yang sedari tadi hanya menyimak dan khawatir akan perasaan kedua adik kembarnya, tersenyum. Ia tahu mereka bertiga sedih akan aktivitas sang Mama yang terlalu padat, namun mereka berusaha mengerti. Dan hal itu membuat Gian semakin ingin membuat sang Mama berhenti bekerja.
"Iya si, Kak Gino juga kangen Bi Mora." Gino menyenderkan punggungnya di kursi. Perkataan Gina barusan membuat Ia mengingat asisten rumah tangga yang terkenal rajin dan memiliki gaji paling besar.
"Bi Mora diliburin itu, biar bisa berpetualang dengan si monyet," sahut Gian. Bibirnya kembali berkedut menahan tawa atas fikiran mereka yang terhubung satu sama lain. Gina dan Gino pun tidak jauh berbeda dengan Gian. Mereka bertiga berusaha menahan tawa.
"Terus kalau gak tau jalan bilangnya kayak gini." Suara Gina semakin bergetar ketika mengucapkannya. Ia melirik ke arah Gian dan Gino yang juga menatapnya dengan ekspresi yang sama.
"Katakan peta! Katakan peta!" Di detik dan waktu yang sama, suara mereka menyatu dengan merdunya. Mengeluarkan apa yang ada di fikiran mereka satu sama lain. Mengembalikan suasana yang sempat hilang beberapa menit sebelumnya. Menyembunyikan kesedihan dibalik candaan dan tawa Gian, Gino dan Gina.