Suara dentingan sendok dan garpu membentur piring menjadi sesuatu yang mengiringi sarapan keluarga Adhitama. Mulut mereka fokus mengunyah makanan menikmati apa yang tersaji di hadapan mereka masing-masing.
Gina mengambil telur dadar khusus untuk dirinya seorang. Telur merupakan makanan yang membuat Gina akan merasa bahagia berkali-kali lipat. Perlahan Ia masukkan telur itu ke dalam mulut, mulai menikmati makanan favoritnya. Selama beberapa detik Gina mengunyah tiba-tiba kunyahannya berhenti.
Kening Gina berkerut dengan mata bergulir ke kanan dan ke kiri. Berusaha kembali mengecap rasa telur yang sekarang berada tepat di atas indra pengecapnya. Dengan susah payah Ia menelan kunyahan telur dadar itu masuk ke dalam kerongkongan, yang menjadi jalan menuju ke perut.
Dengan cepat Ia meraih gelas berisi air lalu meneguknya tergesa. Lidahnya sedikit terjulur merasakan bagaimana asinnya rasa telur yang Ia makan.
Gina spontan menoleh ke arah Gian yang menjadi koki masakan hari ini. Entah apa maksud Gian memberikan telur asin kepada dirinya, apapun itu telur dadar ini benar-benar tidak ingin Ia makan lagi.
Ketika hendak memprotes serta mengkritik masakan Gian untuknya, terlintas begitu saja perkataan temannya jika ada seseorang memasak makanan terlalu asin.
"Katanya kalau ada orang yang masak kayak nyediain air laut, itu tandanya orang yang masak lagi kebelet pengen nikah."
Gina mengerjap ketika ucapan teman sekolahnya melintas. Ingatan tersebut membuat Gina tanpa sadar tersenyum sendiri, menggelengkan kepalanya saat Ia menghubungkan perkataan sang teman dengan masakan Gian.
"Nah kan, kebelet pengen nikah," lirih Gina. Niat dirinya ingin mengatakan itu dalam hati, namun secara tidak sadar Ia mengungkapkan hal itu dengan suara yang terdengar cukup keras. Sampai mampu menggetarkan gendang telinga ketiga orang yang sarapan bersamanya.
Sang Mama dan kedua saudara kembarnya seketika itu juga menoleh, merasa terkejut dengan ucapan Gina beberapa saat lalu.
"Siapa yang kebelet pengen nikah?" Pertanyaan dari sang Mama sontak membuat Gina mendongak, menatap kedua kakak kembarnya dan sang Mama yang menatap dirinya heran. Kecuali Gian tentunya. Meskipun selama beberapa detik sama seperti yang lain menatap Gina heran dicampur terkejut, akhirnya Gian tersadar. Ia berusaha menahan tawa, menatap geli ke arah Gina.
"Si Gina tuh Ma, lagi kesem-sem sama cowok sampe kebelet nikah. Dari kemaren ngomongin cinta-cintaan muluk," ujar Gian heboh. Ia tidak kuasa lagi menahan tawa saat Gina melotot ke arah dirinya.
Sang Mama dan Gino sontak menatap Gina dengan sorot mata terkejut serta menuntut penjelasan. Gina menggeleng, menentang apa yang diucapkan Gian kepadanya.
"Nggak Ma. Kak Gian lagi ngarang, jangan dipercaya." Gina balas memberikan tatapan meyakinkan pada sang Mama juga Gino.
"Bohong Ma. Kalo orang suka senyum-senyum sendiri terus ngomongin tentang jatuh cinta artinya apa? Lagi kesem-sem sama cowok, kan." Berhasil meredakan tawanya, Gian sekarang beralih menatap Gina dengan sorot mata menggoda sang adik.
"Kemaren Gina cuman nanya Kak Gian pernah jatuh cinta apa nggak. Kalau yang soal kebelet nikah tadi, itu mah Kak Gian yang pengen."
"Loh kok, bisa Kakak yang kebelet nikah?"
"Iya, tuh telur dadar yang Kak Gian masak keasinan. Itu artinya Kakak lagi kebelet pengen nikah. Ya kan Ma?" Gina menoleh ke arah sang Mama, meminta persetujuan dari Mamanya yang sedang duduk menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan sesekali menyuapkan makanan ke dalam mulut. Ia merasa sedang menonton acara tv gratis jika Gian dan Gina sudah berdebat seperti ini.
Sang Mama mengangguk, membenarkan apa yang diucapkan oleh Gina. Jawaban singkat dari sang Mama membuat Gina mengangkat dagu ke arah Gian.
Gian sendiri tidak mau kalah, Ia kembali membalas ucapan Gina.
"Gak usah ngelak sambil ganti topik. Udah ngaku aja."
Kobaran api terasa sudah membakar hampir seluruh bagian tubuh Gina. Darahnya naik ketika Gian berkata seperti itu. Gina berdiri dari kursinya dan segera menghampiri Gian yang duduk tepat di hadapannya. Ia dengan brutal memukuli Gian untuk menyalurkan rasa kesalnya kepada kakak kembar pertamanya tersebut.
Gian masih terus mengira bahwa Gina memiliki lelaki pujaan hatinya. Walau sudah dipukul berkali-kalipun Gian tetap diam, pasrah menerima pukulan dari Gina yang penuh dengan perasaan emosi.
Gino yang sedari tadi diam dan menyimak, saat ini sedang tertawa. Entah mengapa melihat kedua saudara kembarnya selalu bertengkar setiap harinya cukup membuat Gino terhibur. Menurut dirinya melihat saudara kembarnya saling bertengkar merupakan sebuah simbol dari keakraban antar kembaran.
"Jadi siapa yang lagi jatuh cinta diantara kalian berdua?" Di sela-sela tawanya, Gino bertanya kepada Gian juga Gina. Ia berniat mencampurkan minyak ke dalam api yang berkobar itu.
"Kak Gian!"
"Gina!"
Suara tawa Gino semakin keras melihat Gian yang terlihat kewalahan menahan serangan bertubi-tubi dari seorang Gina. Dirinya berhasil membuat kedua saudara kembarnya itu bertengkar semakin hebat.
Di sisi lain sang Mama hanya tersenyum, sudah biasa melihat pemandangan seperti itu setiap hari. Matanya melirik ke arah jam yang terpasang apik di tembok ruang makan. Merasa terlalu siang untuk berbenah rumah, sang Mama berniat menghentikan pertengkaran Gian dan Gina. Ia juga ingin mendengar sendiri apa yang ingin disampaikan Gino kepada dirinya dan kedua saudara kembarnya secara langsung, meskipun la sudah tahu apa yang akan dibicarakan.
"Yang jatuh cinta itu bukan Gina," Ucapan sang Mama membuat kegiatan Gian dan Gina terhenti, akan tetapi sebelum Gina berhasil bersorak bahagia, sang Mama kembali melanjutkan, "bukan juga Gian."
Hal itu sontak membuat Gian dan Gina merasa bingung. Ucapan sang Mama kali ini sungguh tidak bisa dimengerti oleh otak mereka. Sedangkan tubuh Gino mulai menegang, tawanya langsung terhenti ketika sang Mama mengatakan hal itu.
Sang Mama yang sebelumnya menatap Gian dan Gina, sekarang beralih menatap Gino tegas. Apa yang dilakukan sang Mama sontak membuat Gian juga Gina ikut mengalihkan pandangan mereka menuju ke arah Gino.
"Tapi Gino yang lagi jatuh cinta."
Satu kalimat enam kata tersebut membuat dua manusia di dalam ruangan makan menarik nafas. Terkejut mendengar sang Mama mengatakan hal yang sama sekali belum pernah terlintas di dalam pikiran mereka. Mata Gian melotot tak percaya, sedangkan Gina menutup mulutnya yang menganga.
Gino merasakan aura orang-orang mengintimidasi masuk ke dalam seluruh tubuhnya, memberikan sedikit tremor. Gino sedikit menunduk, menolak melihat ekspresi Gian, Gina dan tatapan tegas sang Mama kepadanya.
"Katanya ada yang mau kamu sampaikan, kan? Sekaranglah waktu yang tepat, Gino,"ucap sang Mama menuntut Gino untuk angkat bicara.
Tidak lama Gino mengumpulkan keberanian, Ia segera mengangkat kepalanya kembali lalu melirik ke arah Gian dan Gina. Niat ingin berbicara serius kepada keduanya juga sang Mama sirna begitu saja ketika Ia melihat ekspresi Gian dan Gina yang hingga saat ini belum melemaskan wajahnya karena terkejut.
"Muka kalian bisa biasa aja gak?" ujar Gino menahan tawa.
"Nggak bisa." Tawa Gino kembali pecah saat Gian dan Gina menjawab secara bersamaan. Ia bukan orang yang mudah sekali tertawa bahkan dengan lelucon lucu sekalipun, tapi pengecualian jika itu berhubungan saudara kembarnya.
"Ih cepetan Kak, mau ngomong apa." Gina merasa kesal sendiri melihat Gino tidak mulai berbicara, sedangkan semua orang di sini sudah menunggu.
"Oke, maaf." Gino menghentikan tawanya lalu berdeham. Raut wajah Gino menatap keluarganya lembut, walau masih terasa gugup untuk menyampaikannya, namun sinar bahagia terpancar jelas di wajah tampan Gino. Membuat keluarga Adhitama tahu bahwa sesuatu yang akan disampaikan Gino merupakan hal yang membuat lelaki itu bahagia.
"Gino .... " Gino menjeda ucapannya sejenak. Senyum lembut terpatri di bibir manisnya. " ... punya pacar."