Sebuah mobil berwarna merah mulai memasuki garasi luas yang berada di rumah bak istana tersebut. Mobil-mobil juga motor mewah terlihat berjejer rapi. Diam, menunggu sang pemilik menggunakannya.
"Udah nyampe, turun!" Gian menoleh ke arah sang adik, namun Gina masih tetap terdiam seolah tidak mendengar perintah Gian kepadanya. Hal tersebut membuat sedikit kerutan di dahi Gian terbentuk. Merasa jiwa sang adik hilang kemana dan entah kapan akan kembali. Yang Ia lihat saat ini hanyalah raga dengan mata menatap ke arah depan dengan dahi berkerut.
Entah apa yang terjadi dengan Gina sebelum dirinya datang untuk menjemput, pastinya ada sesuatu yang telah terjadi dan itulah penyebab adik kembarnya ini menjadi diam dari awal Gian menjemput hingga sampai di parkiran rumah sekarang ini.
Duk.
Tanpa perlu basa basi atau menanyakan apa yang terjadi dengan Gina, Gian lebih memilih menoyor kepala Gina untuk menyadarkan adik perempuannya itu dari lamunan yang menenggelamkannya. Menimbulkan suara benturan keras antara kepala dan kaca yang bertabrakan secara kasar.
Gian terkejut.
Dia tidak berniat menoyor kepala Gina sekencang itu, tapi mengapa suara benturan kepala dengan kaca mobil begitu kuat? Gina sendiri sudah berhasil sadar dari lamunannya. Menatap Gian dengan sorot mata penuh tanya juga rasa terkejut. Tangannya reflek mengusap kepala yang Ia pastikan akan ada sedikit memar disana.
Rasa bersalah mengalir dalam pembuluh darah Gian. Ia dengan cepat menggantikan posisi tangan Gina untuk mengelus kepalanya. Hal itu membuat senyuman jahil terukir di bibir tipis Gina. Melihat Kakaknya panik bercampur dengan kekhawatiran membuat jiwa-jiwa jahilnya bangkit.
"Kak, ngerasa gak?"
"Ngerasa apa?" Tangan Gian masih sibuk dengan aktivitasnya mengelus kepala Gina. Sekaligus mengecek kepala yang terbentur itu.
"Kepala Gina berdarah," ucap Gina mendramatisir.
"Gak usah lebay. Orang kepala kamu gak kenapa-napa." Gian kembali menoyor kepala Gina. Kali ini bahkan tidak seperti sebuah toyoran. Lebih tepatnya mendorong kepala Gina dengan sangat pelan. Bahkan dorongan tangannya pada kepala Gina tidak menggoyangkan kepalanya sama sekali.
Setelah tangan Gian beranjak dari kepala Gina, Gian masih sesekali melirik ke arah kepala adik perempuannya. Memastikan tidak ada darah yang mengalir barang sedikitpun dari kepala Gina yang terbentur akibat ketidaksengajaan dirinya.
Gian bahkan tidak sadar Gina sedari tadi melihatnya dengan sorot mata terhibur. Gian yang pura-pura tidak khawatir akan candaan Gina tadi membuatnya cukup tersentuh. Sifat kakaknya yang seperti ini yang membuat Gina tahu seberapa sayangnya Gian kepada dirinya.
"Katanya Gina gak kenapa-napa, tapi dari tadi masih aja tetep curi-curi pandang ngeliatin kepala Gina. Kenapa kak? Takut kepala Gina beneran bocor, ya?" Gina tergelak. Melihat Gian yang kembali memasang muka pura-pura tidak peduli.
Entah apa yang harus Ia deskripsikan atas perlakuan Gian yang satu ini. Lihatlah sekarang, tatapan Gian terfokus ke depan seolah menghiraukan perkataan Gina tadi, namun Gina tahu bahwa kakak kembarnya itu sedang berusaha menahan rasa malu. Terlihat dari cuping telinganya yang semakin lama semakin berubah warna menjadi kemerahan.
Menggemaskan. Satu kata penuh makna itu cukup mendeskripsikan Gian di benak Gina saat ini.
"Udah sana turun. Daritadi kamu ngelamun terus." Gian membuka pintu mobil bersiap-siap untuk turun dan merebahkan tubuhnya di atas kasur, ditemani oleh handphone yang selalu setia menjadi teman baiknya. Kegiatan yang hingga saat ini menjadi teman terbaiknya. Entah apa yang bisa menggantikan nikmatnya bermalas-malasan.
Gina tersadar.
Ia menatap sekeliling dengan mata melotot lebar. Terkejut ketika mengetahui dirinya sudah sampai di garasi pribadi rumahnya. Gina benar-benar tidak bisa melepaskan fikirannya dari sesuatu mengenai cinta. Topik yang tidak pernah masuk ke dalam pembicaraan dirinya dengan Gian dan Gino.
Dirinya memang belum pernah merasakan rasanya jantung berdebar sampai kaki bergetar saat melihat lawan jenisnya. Mungkin hanya sebatas merasa kagum dengan mereka. Hanya sebatas itu, tidak ada lagi reaksi lain yang bisa menandakan bahwa Gina sedang jatuh cinta.
Tapi apakah kakak kembarnya juga sama seperti dirinya? Belum pernah jatuh cinta?
"Kak Gian tunggu!" seru Gina. Ia menarik belakang baju Gian, membuat Gian yang baru saja hendak berdiri kembali terduduk dengan kepala terantuk mobil bagian atas.
"Aw! Ada apa si?" Seakan keadaan berbalik, Gian menoleh ke arah Gina sembari sebelah tangan mengelus kepalanya. Suara benturan yang cukup keras membuat Gina tahu kepala kakak kembarnya pasti terasa sangat sakit.
Berbeda dengan reaksi Gian yang khawatir setelah membuat kepala Gina terantuk, gadis cantik yang satu ini justru berusaha menahan tawanya. Perutnya tergelitik melihat sang kakak mengelus kepala dengan raut wajah menunjukkan rasa jengkel dan kesal. Bukannya takut, tawa Gina malah semakin menjadi seakan tidak ada yang Ia tahan lagi. Semuanya Ia lepas begitu saja melihat reaksi jengkel Gian kepadanya.
Daripada berdiam diri melihat Gina menertawakannya, Gian kembali berniat untuk keluar dari dalam mobil, akan tetapi sebelum niatnya terlaksanakan, Gina kembali mencegahnya.
"Kak Gian tunggu dulu, jangan keluar."
"Ya terus kakak harus duduk ngeliatin kamu ketawa gitu?" Nada suara Gian kian meninggi, kesabarannya mulai habis dengan apa yang Gina lakukan kepadanya.
"Bukan."
"Terus maunya apa, Gina Adhitama."
"Gina mau nanya." Kali ini Gina tidak bercanda. Sorot matanya berubah, penuh dengan keseriusan dan tatapan yang teramat dalam. Gian tentu tahu jika, Gina sudah seperti ini berarti ada sesuatu yang ingin dibicarakan secara serius dengannya. Selama beberapa detik suasana di dalam mobil seketika berubah menjadi hening. Sampai Gina perlahan membuka mulutnya dan berkata,
"Kak Gian pernah jatuh cinta?" Pada akhirnya sesuatu yang membuat Gina melamun selama perjalanan mereka pulang Ia ungkapkan pada Gian. Berharap besar jika Ia bertanya demikian dapat membuat pertanyaan tentang cinta kedua kakak kembarnya terjawab.
Gian terdiam.
Kedua matanya mengerjap tidak percaya dengan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa Gina akan menanyakan hal seperti ini. Tangannya yang sedari tadi mengelus kepala yang terantuk berhenti. Dengan perlahan dan tanpa Ia sadari kedua tangannya jatuh ke bawah begitu saja.
Setelah beberapa detik otaknya memproses apa maksud dari pertanyaan Gina, senyum miring perlahan terbit di wajah tampannya. Merasa puas dengan kinerja otaknya yang mampu dengan cepat menangkap maksud dari perkataan Gina.
"Oh jadi dari tadi kamu ngelamun kayak mayat hidup cuman gara-gara lagi kesem-sem sama cowok?" Gian terkikik geli. Tidak menyangka bahwa adik kembarnya yang satu ini sudah menemukan pujaan hatinya sendiri. Gina, gadis kecil yang manja kepada kedua kakak kembarnya perlahan akan hilang digantikan seorang gadis dewasa yang sedang jatuh cinta.
Gina yang mendapat respon tidak terduga dari Gian terkesiap. Ia terkejut dengan kesimpulan sang kakak yang mengiranya sedang kasmaran dengan seorang lelaki. Gina dengan cepat menggeleng, menampik kesimpulan melenceng dari pertanyaan yang Ia maksud.
"Nggak Kak, Gina gak lagi kesem-sem sama cowok. Gina seriusan nanya. Maksud Gina, Kakak pernah jatuh cinta apa nggak, gitu." jelas Gina cepat. Ia melambaikan kedua tangannya di depan dada. Menandakan bahwa dirinya menampik kesimpulan Gian yang melenceng jauh dari pertanyaannya.
Sedikit demi sedikit Gian menjauh, mendekatkan diri ke arah pintu mobil yang terbuka bersiap-siap untuk keluar. Raut wajah menggoda akan pertanyaan yang Gian kira penyataan itu Ia tunjukkan kepada Gina. Senyum dan tatapan penuh kejahilan Ia berikan kepada Gina yang panik atas kesimpulan melencengnya.
"Ah masaaaa ... Bilang Mama ah ..." Dengan gerakan secepat kilat, Gian keluar dari dalam mobil dan berlari.
Keadaan kembali berbalik arah kepada Gina. Jika tadi sang kakak kembar yang Dia buat kesal kini dirinya sendiri balik dibuat kesal oleh Gian. Gina segera keluar dari mobil, menyusul Gian dengan kakinya yang panjang juga langkahnya yang lebar. Berusaha menyusul langkah sang kakak kembar yang juga memiliki tubuh sebelas dua belas dengan dirinya. Bahkan jelas sekali bahwa Gian memiliki tinggi badan lebih tinggi daripada dirinya.
Membuat Gina cukup kesulitan untuk mengejar.
Gian yang tahu sang adik sedang mengejarnya menoleh ke belakang. Tertawa keras melihat raut wajah penuh luapan emosi kemarahan dari wajah seorang gadis penggila fashion juga skincare tersebut.
"Kak! Gina gak lagi kesem-sem sama cowok!" teriak Gina menggelegar di seluruh penjuru garasi.
"Hah apa?! Gina lagi jatuh cinta sama cowok?! Oh gitu, Mama! Si Gina punya pacar tuh. Mau langsung nikah aja katanya. Udah cinta sampe mati." Gian balas berteriak. Gelak tawanya semakin keras meskipun dirinya sedang berlari.
"Kak Gian!"