Langkah demi langkah kaki Gina gerakkan menuju kamar sang Mama dengan berat. Baru saja ia memejamkan mata benar-benar menuju tidur yang nyenyak, kakak kembar pertamanya sudah berteriak menyuruh Gina untuk bangun.
Gina kembali mendecak sebal saat tahu bahwa yang membangunkannya bukanlah Gino. Setidaknya seorang Gino akan membangunkannya sedikit lebih lembut.
Langkahnya baru berhenti ketika sampai di depan pintu kamar sang Mama, namun bukan hal itu yang menyebabkan Gina menghentikan langkahnya. Ia melihat sang Mama juga Gian berdiri di depan pintu kamar yang terbuka.
Keningnya reflek berkerut bingung melihat tingkah kedua manusia itu. Karena penasaran Gina ikut melihat apa yang membuat sang Mama dan Gian hanya berdiri di depan pintu tanpa ada niatan untuk masuk.
"Ma, kenapa gak masuk?" Selain sang Mama, Gian juga sontak menoleh mendengar sebuah pertanyaan terlontar di bibir Gina.
Setelah melirik Gina beberapa detik, tidak lama kemudian Mamanya kembali melihat ke arah depan. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Sembari tersenyum wanita awet muda tersebut berujar,
"Liat tuh Kakak kamu."
Dengan bodohnya Gina menoleh ke arah Gian yang berada tepat di sampingnya. Sedangkan seseorang yang ditatap oleh Gina tersebut mendecak kesal melihat tingkah laku kembaran perempuannya ini.
"Bukan Kakak, liat tuh kembaran kamu yang satu lagi." Gian menjepit kedua pipi Gina dengan telunjuk juga ibu jarinya. Ia menoleh paksa kepala Gina agar sang empu pemilik pipi melihat ke arah yang benar.
Di sana Gina melihat punggung seorang laki-laki yang tak lain adalah Gino, sedang menempelkan benda kotak pipih di salah satu telinganya.
Pada awalnya Gina tidak mengerti apa yang dimaksud oleh sang Mama juga Gian, namun beberapa saat kemudia ia mendengar Gino berbicara disanalah Gina tahu mengapa kedua manusia di samping kanan dan kirinya ini enggan untuk masuk.
"Kalau sakit jangan maksain buat ngelakuin aktifitas, sayang. Udah malem juga, lanjut aja besok ya," ujar Gino yang dirinya tujukan kepada seseorang di seberang telepon.
"Mau dibeliin makan? Atau mau dibeliin obat? Masih sakit banget ya?"
"Sekarang baringin badan kamu di atas kasur, tarik selimutnya, terus tidur. Nanti kalau Ibu kamu nyuruh buat beresin rumah pas kamu lagi sakit haid, langsung telepon aku aja ya. Nanti aku yang ngomong sama Ibu kamu."
Gino berjalan-jalan pelan di sekeliling kamar sang Mama tanpa dengan mata menatap ke langit-langit kamar. Senyum dan tatapan khawatir tidak pernah luntur dari wajah Gino. Jangan lupa jantungnya yang terasa hangat ketika mendengar suara lembut dari gadis di seberang telepon saat ini.
Tanpa menyadari bahwa ada tiga orang dengan ekspresi berbeda melihat apa yang sedari tadi Gino lakukan.
Lengkungan manis di bibir sang Mama terpatri indah di wajah cantiknya. Tatapannya menghangat, merasa bangga membesarkan anak seperti Gino. Lebih menghargai seorang wanita, perhatian, dan penyayang. Persis seperti almarhum suaminya dulu.
Berbeda dengan ekspresi kedua anaknya yang tepat berada di samping sang Mama, mereka saling melemparkan pertanyaan tentang kembaran siapakah yang berada di hadapan mereka itu. Seseorang yang sedang dimabuk cinta sedemikian rupa. Gina maupun Gian enggan mengakui bahwa Gino saudara kembarnya.
"Kembaran kak Gian tuh."
"Kakaknya kamu juga," balas Gian tak mau kalah. Sikutnya dengan sikut Gina saling menyenggol, berniat memberi tahu bahwa yang berada di hadapan mereka kembaran salah satu dari Gian dan Gina yang sedang dimabuk cinta level lanjut.
"Maaf, seorang Gina Adhitama merupakan anak tunggal. Mustahil punya kakak apalagi kembaran."
"Enak aja ngaku-ngaku anak tunggal. Yang anak tunggal Kakak doang. Kalian anak pungut."
Di tengah perdebatan Gian dan Gina. Gino yang sedari tadi berjalan-jalan sembari menelpon pacarnya akhirnya tersadar. Sambungan telepon dirinya dengan sang pacar sudah berakhir beberapa menit yang lalu. Matanya tepat mengarah di mana sang Mama juga kedua saudara kembarnya berdiri.
Seakan tahu bahwa keluarganya itu mendengar apa yang ia bicarakan dengan sang kekasih, telinga Gino perlahan mulai memerah. Seluruh tubuhnya dialiri perasaan malu yang amat kentara.
"Ma, kenapa gak masuk?" Gino berniat menghampiri sang Mama juga kedua saudara kembarnya, namun dengan cepat sang Mama mencegah.
"Udah teleponanya?"
Ucapan dari wanita awet muda tersebut membuat Gian dan Gina berhenti berdebat. Mereka langsung melirik ke arah dimana Gino masih berdiri di sana. Membeku dengan wajah mirip sekali dengan tomat rebus.
Sang Mama melangkah masuk, mendudukkan dirinya di atas tempat tidur. Senyumnya perlahan terbit, membayangkan apa yang akan terjadi dengan Gino selanjutnya, melihat ekspresi Gian dan Gina yang jelas sedang menggoda saudara kembarnya itu.
"Sendal mana sendal? Sendal Mama mana Ma?" Tubuh Gina membungkuk, merangkak hingga memasukkan diri ke lemari sang Mama, mencari sepasang benda untuk menggoda Gino.
Sedangkan Gian berdiri di hadapan Gino yang masih membeku. Tangannya terangkat untuk menepuk pundak saudara kembarnya tersebut.
"Jadi, kapan mau nelepon ibunya pacar kamu?" Gian mengulum bibirnya yang mulai bergetar, menahan diri agar tidak menghamburkan tawa.
"Ketemu!" seru Gina heboh. Ia menggenggam sepasang sendal rumah yang biasa dipakai sang Mama. Satu sendal ia lempar ke arah Gino dan Gian. Sendal tersebut melayang, mendarat tepat di atas kepala Gian.
Gina terpingkal.
Ia tidak bermaksud untuk mengarahkannya ke kepala laki-laki itu, namun sebuah keberuntungan bisa membuat seorang Gian balik menatapnya kesal. Di hadapan Gian, Gino ikut tertawa. Ia tentu tahu beberapa menit yang lalu Gian berniat mentertawakannya, akan tetapi keadaan sekarang berbalik.
Di atas kasur, sang Mama sudah tergelak hebat. Interaksi ketiga anak kembarnya benar-benar membuat rasa penat sehabis bekerja hilang begitu saja, namun sepersekian detik tawa itu hilang begitu saja mengingat apa yang harus dirinya bicarakan dengan anak-anaknya.
Tawa Gina baru bisa berhenti saat kepalanya mengingat apa tujuan ia mencari sendal Mamanya. Dengan segera Gina melangkah menuju ke arah Gino dan sampailah Gina di samping Gian.
"Minggir." Usir Gina santai. Ia menyenggol pinggul Gian dengan bokongnya, berniat menyingkirkan manusia yang jelas menghalangi posisinya untuk menghadap langsung ke arah Gino.
Gian tidak bergerak dari tempatnya. Ia menatap tajam ke arah Gina, masih merasa kesal dengan kepalanya yang terlempar sendal sedangkan dalang dari hal itu sedang berdiri di sampingnya tanpa rasa bersalah.
Gina sendiri tidak mengindahkan tatapan Gian kepadanya. Ia memilih menatap lekat Gino yang balas menatapnya bingung. Tawanya sudah berhenti sedari Gina berdiri tepat di hadapannya.
"Hehe." Senyuman jahil terpatri di wajah Gina.
Merasa hawa-hawa yang tidak enak, Gino sedikit memundurkan dirinya agar tidak dekat-dekat dengan Gina. Ia tahu ekspresi itu. Ekspresi wajah yang sama ketika Gina ingin membuat kakak-kakanya ternistakan.
Perlahan, netra hitamnya mengarah ke atas. Sandal yang ia genggam di sebelah tangannya Gina tempelkan di telinganya. Kakinya ia langkahkan acak menuju ke arah sekeliling kamar.
"Mau di beliin makan? Atau mau dibeliin obat? Masih sakit banget ya?" Gina mengulang apa yang di ucapkan Gino beberapa waktu lalu. Gelenyar rasa geli setelah mengucapkan hal tersebut tersebar di seluruh tubuhnya, membuat bulu kuduknya reflek berdiri.
Telinga Gino kembali memerah dan perlahan menyebar ke seluruh wajahnya. Ia tahu hal ini akan terjadi, kedua saudara kembarnya tidak akan pernah diam ketika dirinya menjalin sebuah hubungan dengan seorang perempuan.
Gian yang melihat tingkah laku Gina tergelak, ia sekarang mengerti mengapa Gina melemparkan sandal ke arah dirinya. Jiwa-jiwa gotong royong Gina dengan Gian mulai bangkit.
Sandal sang Mama ia tempelkan di sebelah telinganya. Bersiap-siap menatap ke arah atas setelah itu berjalan, akan tetapi sebelum Gian mengikuti apa yang Gina lakukan ia melirik ke arah Gino. Menatap adiknya itu dengan sorot mata menggoda.
"Nanti aku yang ngomong sama ibu kamu." Dan semuanya dimulai, Gian dan Gina yang asik menggoda Gino. Satu diantara tiga yang sudah memiliki seorang kekasih.
"Kalian ngapain si?" Gino mencoba menghentikan aktifitas kedua kembarannya tersebut, dari mulai merebut sandal hingga menutup mulut mereka berdua.
Sedangkan sang Mama tidak berhenti tertawa, ketiga anak kembarnya ini memang tidak pernah berubah. Interaksi mereka, tidak pernah lenyap.