Gina, Gino, dan Gian sekarang sudah duduk di atas tempat tidur Mama mereka dengan posisi Gian dan Gina yang berdempetan, sedangkan Gino berada jauh di ujung kasur.
Bahkan Gino harus mencengkram seprai dengan erat agar tidak terjatuh. Bukan karena Gino tidak ingin bergeser ke arah tengah, bukan juga karena ia tidak ingin dekat dengan kedua saudara kembarnya, akan tetapi semua itu disebabkan oleh kaki Gina yang bertengger manis di pinggangnya.
Menjadi pembatas antara Gino dengan kedua saudara kembarnya. Mencegah agar lelaki itu tidak berdekatan.
"Gina, ini kakak hampir jatoh. Kakinya awasin," titah Gino lembut. Walau merasa sebal, sedikitpun ia tidak akan pernah ingin menaikkan nada bicaranya kepada Gina.
Gina menggeleng. "Maaf, phobia orang bucin."
"Ya tapi ini kak--"
"Udah malem, kalau gini ceritanya kapan mau nyeritain pacarnya Gino?" Sang Mama menyela. Ia melirik ke arah jam, sudah satu jam lebih mereka berempat berada di dalam kamar, tapi satupun informasi tentang gadis yang kemungkinan akan menjadi calon menantunya belum ia dapatkan.
"Kamu pindah aja samping Mama sini." Sang Mama menepuk kasur sebelahnya agar Gino pindah di samping dirinya. Dengan patuh Gino berpindah posisi seperti apa yang diperintahkan sang Mama.
Ia menjulurkan lidah ke arah Gina yang tepat berada di hadapan dirinya. Hatinya sedikit berbunga saat tahu tidak akan ada lagi perdebatan melelahkan, akan tetapi bukan Gina namanya saat ia diam saja melihat Gino seperti dengan santainya Gina membalas juluran lidah Gino tanda tidak peduli.
"Jadi, tadi siapa?" Tanya sang Mama memulai obrolan yang seharusnya sudah di tanyakan satu jam lalu.
"Pacar Gino."
"Iya Mama tau, maksudnya namanya siapa?" Sebelum Gino menjawab, ia mengedarkan pandangannya ke arah Gian dan Gina yang juga menatapnya penasaran seperti sang Mama menatap dirinya.
Jantungnya kembali berdetak tidak karuan. Rasa gugup menyerang Gino begitu saja. Takut kejadian seperti tadi terulang lagi, dimana Gian dan Gina menggoda dirinya habis-habisan. Kelopak matanya perlahan terpejam, sembari menghembuskan nafas berusaha menghalau rasa gugup.
Seakan tidak ingin membuat keluarganya menunggu, Gino dengan cepat kembali membuka mata. Ia menatap sang Mama dengan binar mata penuh keyakinan. Dan pada saat itu juga bayangan wajah sang kekasih memenuhi kepala Gino. Membuat netra hitamnya memancarkan cinta dan kebahagiaan yang amat kentara.
Euforia Gino membuat kedua manusia di hadapannya tanpa sadar tersenyum. Melihat kebahagian Gino, membuat mereka merasakan sesuatu yang sama.
"Namanya Octaviona." Seakan ada gelenyar aneh di tubuhnya, Gino semakin melebarkan senyum yang terukir di bibirnya. Baru kali ini dirinya menyebutkan nama seseorang dengan hati yang teramat bahagia.
Sang Mama, Gian, juga Gina spontan tersentak kaget. Telinga mereka merasa tidak asing mendengar nama itu. Gina yang sedari tadi duduk bersandar di bahu Gian, sekarang duduk dengan tegak.
"Octaviona?" Sang Mama menutup mulutnya yang terbuka lebar, tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya lagi.
Gina segera merangkak ke arah sang Mama. Ia berusaha menarik apa yang berada di belakang punggung Mamanya tersebut. Setelah menemukan apa yang ia cari Gina menarik benda itu dengan kuat, membebaskannya dari tindihan punggung sang Mama.
"Calon kakak ipar?" cetus Gina mendramatisir. Matanya membulat ke arah benda yang berada di genggamannya. Dengan cepat Gina memeluk 'calon kakak iparnya' penuh rasa terkejut.
"Bukan yang itu." Gino terkekeh. Ia tahu hal ini pasti akan terjadi. Benda itu dan kekasihnya benar-benar sebuah kebetulan yang hebat.
"Pantes Gino bucin sampe segitunya, ternyata memang cantik banget ya." Gian mencondongkan tubuhnya, mengelus kepala 'calon kakak iparnya' dengan lembut.
"Iya ya, cantik banget. Gak nyangka bisa bener-bener cantik." Gina mengangkat boneka gurita yang sangat menggemaskan di depan wajahnya. Memasang ekspresi seolah-olah sangat kagum dengan apa yang tersaji di dapan matanya.
Sang Mama kembali terpingkal. Setiap ia dengan anak-anak kembarnya berkumpul, pasti sesuatu yang membuat perutnya tergelitik selalu hadir meramaikan.
"Warna mukanya ungu, kakinya ada delapan, murah senyum terus ... " Ucapan Gian terpotong oleh suara tawanya yang tidak dapat ia tahan lagi. Gian bergabung dengan sang Mama yang tidak bisa berhenti tertawa.
"Botak," cetus Gina seolah melanjutkan perkataan Gian yang tidak dapat terselesaikan.
Ia kembali memeluk boneka gurita milik sang Mama, wajahnya Gina tenggelamkan ke dalam gurita tersebut, berusaha meredam tawa agar tidak terlalu keras seperti Gian juga sang Mama.
"Bukan Octaviona bonekanya Mama bukan, ini beda lagi." Gino mau tidak mau ikut tergelak melihat ketiga manusia di dekatnya tertawa. Merasa tidak digubris, Gino kembali menyuruh mereka untuk diam.
"Berhenti ketawa. Ini kapan selesainya nanti."
"Udah-udah, diem. Gina, Gian, hei diem." Sang Mama menyeka air mata yang ikut keluar ketika ia tertawa.
Gian dan Gina secara kompak menghentikan tawanya. Mereka menatap heran sekaligus geli ke arah Gino, ingin tahu bagaimana sosok Octaviona versi perempuan yang menjadi kekasih saudara kembar mereka.
"Kayaknya seru kalau dijadiin sinetron. Gini, Saudara kembarku ternyata menjalin hubungan gelap dengan boneka gurita mamaku." Gina kembali tergelak, sedangkan Gian menutup mulut adik perempuannya itu agar pembicaraan tentang pacar Gino berlanjut.
"Diem gak, jangan bikin waktu kebuang. Tuh, kasian Mama udah nahan ketawa lagi."
"Eh kok Mama? Udah ah, Gino lanjutin."
Helaan nafas berat berhasil lolos dari mulut Gino. Ia sedikit menggeleng, sepertinya sampai kapanpun dirinya akan terus menjadi bahan untuk dinistakan kedua saudara kembarnya.
Akan tetapi Gino tidak pernah sedikitpun merasa marah atau sedih, karena melihat keluarganya tertawa karena dirinya merupakan kebahagian untuk dirinya sendiri.
"Satu kelas sama Gino di sekolah, pendiem, cantik, lemah lembut. Gak kayak yang lagi meluk Octaviona guritanya Mama." Gino menoleh ke arah Gina, menaikkan sedikit alisnya saat melihat tatapan tidak terima gadis manis tersebut.
"Persis banget kayak Gina ya, lemah lembut." Gina tersenyum mengangguk-anggukan kepala sembari kedua tangan melepaskan pelukan gurita bernama Octaviona tersebut.
"Hih, diliat dari mananya? Dari nilai-nilai mata pelajaran Kak Gian yang jelek?" balas Gino sewot melihat Gina yang begitu percaya diri menyebut dirinya sama seperti sang kekasih.
"Masalahnya semua nilai Kakak itu bagus semua. Jadi, sama aja bohong." Kekehan serta gerakan tangan Gian yang mengusak rambut Gina menjadi jawaban atas pernyataan Gino tadi.
Raut wajah Gina menjadi datar, di dalam hatinya juga dirinya tidak pernah ingin menjadi seseorang yang lemah lembut apalagi kepada orang lain.
Semua orang yang memiliki kepribadian tersebut selalu memiliki nilai yang lemah di mata Gina, namun melihat bagaimana bahagianya Gino ketika mendeskripsikan kekasihnya membuat Gina merasa pengecualian untuk yang satu ini.
Ia tidak akan pernah menyingkirkan atau sekali saja menghina apa yang Gino senangi. Kebahagiaan Gino merupakan kebahagiaan dirinya. Gina akan menyetujui pilihan kedua kakak kembarnya selama itu membuat mereka bahagia.
Gina berjanji akan hal itu.