Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 51 - 50. Kabar Tidak Terduga

Chapter 51 - 50. Kabar Tidak Terduga

Denting jam terus berdetak mengiringi waktu yang bergulir setiap detiknya. Langit gelap sudah menunjukan kepada semua orang bahwa angka sudah bergulir ke arah jam setengah delapan malam. 

Saat ini bintang seolah tengah bersorak-sorai, berkumpul merayakan sesuatu yang membuat siapapun bahagia. Menghiasi kegelapan malam oleh aksesoris yang tidak ternilai harganya. 

Bulan pun tak ingin kalah, menunjukan pesonanya kepada dunia bahwa seberapa mempesona dirinya.

Langit yang indah seperti mengajak seluruh makhluk hidup untuk berbahagia.

Akan tetapi, semua itu tidak berpengaruh untuk seorang gadis yang kini tengah menatap jendela kamar yang sangat besar dengan pandangan kosong. Ia terduduk bersandar di kursi empuk yang nyaman, merenungi apa yang sudah terjadi hari ini.

"Sebenarnya, apa sih makna kehidupan itu?" lirih, nyaris berbisik Gina seolah bertanya kepada semesta. 

Gadis itu terus saja melamun, seperti raga tanpa jiwa. Kamar miliknya pun terlihat amat gelap, sang empu yang menghuninya, bahkan tidak merasa terganggu akan kegelapan yang mencekam. 

"Oke, mungkin kayak gini." Lagi, Gina bermonolog.

"Berusaha untuk bertahan, dengan kebahagiaan dan kesedihan yang selalu mengiringi. Setiap manusia punya takaran kebahagiaan dan kesedihannya masing-masing. Selama hidup, rasa sakit, rasa senang akan mendapat waktunya sendiri secara adil."

Suara tawa menggelegar terdengar menggema di seluruh penjuru ruangan. "Bullshit."

"Orang-orang juga pasti ngeliat gua kayak gini. Bahagia dengan kekayaan, sifat kasar, dan kesombongan." Pandangan Gina teralih, ia menatap ke atas, ke arah plafon kamar yang sangat tinggi.

"Tapi mereka nggak tau kalau sebenernya gua itu lagi berusaha bahagia dengan semuanya. Nahan diri, berpura-pura kuat, menghindari semua orang. Tanpa mereka tau semenyedihkan apa kehidupan seorang Gina." 

Satu tetes, dan yang lain terus merembes. Tangisan Gina terasa amat menyakitkan, ia merasa hambar, hatinya seperti mati rasa. Bingung akan semua yang terjadi kepada kehidupannya.

Tapi tidak lama, Gina menghapus kasar air matanya. Iris hitamnya bergetar, kehidupan di dalam binar mata redup itu kembali terlihat. 

"Sadar Gina, sadar! Lu nambah jadi kayak orang gila." Beberapa kali Gina menampar pipinya hingga memerah. Berusaha menyadarkan bahwa yang tadi itu sungguh berbahaya bagi kesehatan mentalnya.

"Inget kata Dokter Hani, harus bertahan. Jangan juga bikin Mama sedih sama keadaan gua yang kayak gini." Gina berdiri dari duduknya, ia menutup wajahnya menggunakan tangan yang bergetar.

Setelah suasana hatinya sedikit terkendali, Gina mendongak melihat ke arah jam dalam kegelapan.

"Udah hampir jam delapan malem, kak Gian sama kak Gino kemana." Gadis itu berjalan ke arah pintu, membukanya lalu keluar. Ia berniat memeriksa kamar kedua kakak kembarnya. Melihat apakah kedua remaja itu sudah pulang atau belum.

Kamar Gian sudah, kamar Gino pun sudah, dan hasilnya kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. 

Ah, padahal Gina ingin sekali berkumpul dengan kakak kembarnya. Memberikan sedikit suntikan kebahagiaan dengan tindakan kecil dan kejahilan dari Gian dan Gino yang membuat suasana di sekitarnya terasa hangat. 

Hari ini, mereka bertiga bahkan belum sempat untuk bertemu. Gina merogoh handphonenya memeriksa apakah ada notifikasi pesan yang diberikan kedua kakak kembarnya agar setidaknya memberikan kabar.

Gadis itu sedikit khawatir, walau Gian dan Gino bukan lagi anak kecil yang harus diawasi tetapi tidak biasanya mereka berdua mengabaikan seberapa pentingnya memberitahu ada dimana dan sedang apa jika terlambat pulang ke rumah.

Karena khawatir dan tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi dengan kakak-kakaknya, Gina segera bergegas menuju kamar Dokter Hani. Ia ingin menanyakan apakah ada izin pulang telat terlebih dahulu dari Gian maupun Gino kepada psikiater tersebut.

Namun, setelah sampai di depan kamar Dokter Hani, Gina mengernyit ketika telinganya mendengar suara berisik dari benda jatuh dan suara langkah kaki yang beredebum. 

"Dokter Ha--" Panggilan Gina terputus. Sesudah membuka pintu, Gina melihat keadaan kacau dari kamar yang disediakan untuk Dokter Hani. 

Psikiater itu dengan tergesa dan benda pipih yang berada di telinganya sedang memindahkan beberapa baju dari dalam lemari ke dalam koper. Melihat itu, Gina segera berlari mendekati Dokter Hani.

Matanya terbelalak saat melihat seberapa kacaunya keadaan seseorang di hadapannya. Air mata yang terus mengalir deras, rambut yang acak-acakan dan isak tangis yang cukup keras membuat siapapun tahu seberapa memprihatinkan kondisi psikiater itu.

"Dokter Hani, ada ap--" Gina melangkah mengikuti Dokter Hani yang seperti kehilangan kendali atas tubuhnya, berjalan mondar mandir dan sesekali memasukan barang-barang penting masuk ke dalam koper tanpa ditata terlebih dahulu.

"Dokter Hani berhenti dulu," titah Gina panik. Beberapa kali gadis itu memegang tangan dan bahu Dokter Hani agar berhenti, tetapi dengan kasarnya perempuan itu menangkisnya. Menolak apapun yang Gina ingin lakukan saat ini.

"Dokter Hani ada apa?! Tenang dulu sebentar, kenapa Dokter Hani bisa kacau kayak gini, ada apa?" Setengah berteriak, akhirnya Dokter Hani bisa berhenti. Ia menatap sosok di hadapannya dengan pandangan kabur karena air mata.

Nafas psikiater itu terasa sangat cepat, dengan detak jantung yang juga sama cepatnya. Isak tangis terus saja keluar diiringi air mata yang membuat wajahnya merah membengkak saking hebatnya tangisan yang dikeluarkan.

"Gi-gina, Gina ... Gina ... " Suara Dokter Hani bergetar, terlihat amat terguncang hanya untuk berbicara. Psikiater itu terlihat amat terguncang dan hanya bisa mengeluarkan kata-kata seadanya.

Dan itu membuat hati Gina hancur. Selama tujuh tahun mereka dipertemukan, dengan Dokter Hani yang sangat pintar menyembunyikan ekspresinya, baru kali ini Gina melihat seberapa hancurnya wanita tersebut.

Isak tangis kecil keluar begitu saja dari mulut Gina. Gadis itu memeluk erat Dokter Hani membuat handphone sang empu terjatuh begitu saja. Gina menggeleng, tidak tahan melihat keadaan Dokter yang amat ia sayangi serapuh ini.

"Rey, Gina. Rey ... " Dengan susah payah, Dokter Hani berujar. Berusaha memberitahu Gina apa yang terjadi sehingga membuatnya seperti ini.

Tanpa sadar, kedua tangan Gina yang ada di balik punggung psikiater itu mencengkram erat baju Dokter Hani. Berusaha meredam rasa sakit serta tangisan agar bisa menjadi sandaran yang baik bagi psikiater pribadinya.

"Ada apa sama Om Rey?" sahut Gina. Ia mengeratkan pelukannya saat Dokter Hani semakin meraung-raung. 

Rey merupakan kekasih Dokter Hani, atau bisa disebut mereka berdua sudah bertunangan. Tinggal menunggu kapan pernikahaan akan dilaksanakan setelah Gina sembuh dari gangguan mentalnya. 

Membuat sepasang kekasih itu rela menunggu sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

"R-rey kecelakaan." Bak tersambar petir, tubuh Gina langsung menengang. Ia meregangkan pelukannya dengan Dokter Hani, menatap tak percaya psikiater yang sedang menangis hebat. 

Beberapa menit kemudian, Gina memeluk lebih erat Dokter Hani. Memberikan kekuatan setelah tahu apa yang terjadi dengan pasangan dari wanita itu. Hatinya serasa ditikam ribuan pedang mendapat kabar sekaligus menyaksikan seberapa hancurnya keadaan Dokter Hani.

Gina tidak percaya ini semua. Tunangan Dokter Hani berada di luar kota, bahkan di seberang pulau. Itu berarti, Dokter Hani akan meninggalkannya sementara sama seperti sang Mama yang pergi untuk mengurus urusan pekerjaan.

Dan jika sudah seperti ini, siapa yang akan mengasuh dirinya juga Gian dan Gino nanti?