Ceklek ...
Gina reflek menoleh saat mendengar pintu kamarnya terbuka, di sana ia melihat kedua kakaknya tengah tersenyum manis ke arah dirinya. Menjadi sambutan selamat pagi bagi Gina yang sedang tidak baik-baik saja.
Wajah pucat, rambut acak-acakan, kantung mata yang teramat besar di bawah matanya dan seluruh penampilan yang kacau sukses membuat Gina seperti bukan manusia. Semalam ia banyak terbangun dari tidur karena pikiran buruk dan mimpi yang mengerikan.
Ia bermimpi sebentar lagi akan pergi dan menyusul sang Papa. Entah rasa syukur atau perasaan ngeri yang harus ia tampilkan sekarang, karena saat ini sebagian besar dari dirinya sangat menginginkan hal tersebut.
Kematian.
Menemui sang Papa yang sudah tenang di atas sana. Jika saja Gina tidak memikirkan kedua kakak kembarnya serta sang Mama dan Dokter Hani yang memintanya untuk bertahan, mungkin saat ini juga ia sudah berdiri di atas balkon kamarnya dan menjatuhkan diri.
Akan tetapi, yang Gina sendiri yakin kalau dirinya mati dengan cara seperti itu, sang Papa yang berada di atas sana pasti akan sangat marah dan kecewa kepada dirinya.
"Hei," panggilan pelan dari Gian berhasil menariknya ke dunia nyata. Gina menatap sang kakak sendu, seraya berusaha tersenyum kepada satu-satunya pegangan hidup bagi dirinya yang sudah sangat kehilangan arah.
"Kakak sama Gino mau berangkat sekolah, kamu jangan lupa makan yang udah disiapin di situ," tunjuk Gian ke arah nakas. Di mana Gino tengah meracik sebuah teh hangat untuk adiknya minum.
"Kakak mau pada sekolah?" jeda sejenak, Gina menatap bergantian ke arah Gian dan Gino. "Nggak mau nemenin Gina dulu hari ini?" lanjutnya serak. Tenaganya seperti habis karena tangisannya semalam.
Gian dan Gino yang mendengar lontaran kata sarat akan permohonan dan keinginan itu sontak membeku. Bahkan Gino yang sedang mencelupkan teh ke dalam cangkir reflek berhenti dan hal itu tidak luput dari pengelihatan Gina.
Gadis itu mengerut samar, merasa aneh mendapat reaksi seperti tidak biasa dari kedua kakak kembarnya.
"Gina mau kak Gian sama kak Gino nggak sekolah hari ini, boleh?" Gina mempertegas apa yang ia minta. Menatap penuh harap ke arah kedua kakak kembarnya. Berharap besar atas apa yang dimintanya kali ini benar-benar dituruti.
Lagipula Gina bukan meminta sesuatu yang buruk, dan jika seperti itu berarti Gian dan Gino biasanya akan segera menuruti permintaanya. Ia hanya ingin hari ini ditemani, tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga.
Gina takut, karena setiap ia sendiri di dalam rumah dengan mental yang sedang tidak stabil akan membuat pemikiran negatif serta serangan paniknya muncul lagi lalu menyerangnya bertubi-tubi.
"Hari ini kak Gian mau ada seleksi KSN, kalau kakak ada urusan lain yang nggak bisa ditinggal gitu aja di sekolah." Gino menjawab. Remaja itu menghampiri Gina dengan teh hangat yang barusan ia buat.
"Lebih penting daripada Gina?" tanya gadis itu tidak percaya. Ia terkejut mendapati jawaban dari kakak kembarnya. Sebelumnya tidak pernah sekalipun Gian dan Gino atau salah satu dari mereka pergi meninggalkan Gina disaat mentalnya sedang terguncang.
Spontan saja Gian dan Gino menegang, mulut mereka terkatup begitu saja tanpa bisa membalas ucapan Gina sama sekali.
Gina yang menyadari semua, hanya bisa menurunkan bahunya. Bahkan alasan mengapa kemarin kedua kakaknya itu pulang ke rumah terlambat ia tidak diberi tahu.
"Hari ini aja, temenin Gina, ya?" pinta Gina sekali lagi. Pupilnye melebar, memohon agar kedua kakaknya berada di sampingnya kali ini saja, sekali ini lagi.
Biasanya ketika dirinya seperti ini, Gina tidak pernah ditinggal sendirian. Akan selalu ada sang Mama, Dokter Hani, Suzy, dan kedua kakak kembarnya yang terus menjaga Gina dan nyaris tidak ingin meninggalkannya.
Akan tetapi, kali ini mengapa Gian dan Gino seakan tidak ingin menemaninya? Sepenting apapun ambisi Gian tentang sekolah dan sedarurat apapun kepentingan Gino, keduanya akan selalu menjadikan Gina nomor satu dan tidak pernah dikesampingkan.
Tapi apa ini? Mengapa jadi seperti ini?
"Maaf, bukannya kakak sama kak Gian mau--"
"Pasti gara-gara Viona, kan?" Gina memotong apa yang baru saja ingin Gino ucapkan. Gadis itu menatap kedua wajah yang amat mirip dengannya itu dengan lekat.
"Kak Gian juga nggak mungkin cuma gara-gara seleksi nggak mau nemenin Gina. Sekarang masalah apa lagi yang kak Gian sembunyiin dari Gina? Apa semua yang Gina omongin kemaren belom cukup buat kakak paham?"
Gian menghela nafas kasar, ia duduk di samping kasur Gina kemudian ikut menatap adiknya lekat.
"Gin--"
"Temenin Gina, kak. Gina takut." Dengan lirih Gina memegang tangan sang kakak erat, saat ini ia butuh seseorang untuk menjadi sandarannya. Ia ingin kedua kakak kembarnya menemaninya dan mendengar seluruh keluh kesah miliknya.
Gian menggeleng, tidak bisa. Kali ini saja, ketika dirinya dan Gino juga terpukul akan keadaan, mereka berdua tidak ingin menjadi sandaran.
Karena mereka juga ingin bersandar, menenangkan diri dan tidak hanya berusaha menenangkan orang lain.
Hati keduanya tidak kuasa jika terus melihat situasi yang kacau di dalam rumah seperti ini. Mereka juga ingin lari, beristirahat sejenak dan berusaha menghilangkan beban sebentar saja dari semua masalah yang terus berdatangan.
Entahlah, mereka pun tidak tahu apakah ini benar atau salah.
"Maaf." Satu kata itu saja yang bisa Gian lontarkan untuk menjawab ucapan adiknya. Ia melirik ke arah Gino yang juga tengah menatap sendu ke arah Gina.
"Kak ... " lirih Gina tidak percaya. Ia menatap kaget kedua kakaknya. Bagaimana bisa?
"Bentar aja kak, temenin Gina. Satu hari ini aja Gina mohon ... "
Tidak berhasil, Gian dan juga Gino hanya terdia menatapnya dengan sorot penuh permintaan maaf dan sedikit rasa bersalah. Nafas Gina tercekat, ia kesulitan bernafas sekarang.
Dan hal itu sontak saja membuat Gian dan juga Gino panik, mereka tidak menyangka bahwa Gina akan terserang serangan panik lagi hanya karena permintaannya ditolak.
Seperti biasa, keduanya mendekat ke arah Gina. Memeluk adik mereka kuat agar Gina bisa mengendalikan kontrol tubuhnya.
Setelah beberapa menit terlewat, tubuh Gina akhirnya tenang. Gadis itu sudah mendapatkan lagi kendali atas diinya membuat Gian dan Gino melepaskan pelukan mereka.
Ketiga anak kembar keluarga Adhitama tersebut saling menatap satu sama lain.
"Gina paham, maafin Gina terlalu egois sama permintaan yang tadi." Bibir Gina terangkat membentuk senyuman, meski sebenarnya di pangkal tenggorokan merasa ada yang mengganjal dan berusaha ingin keluar dengan keras.
Gian dan Gino yang mendengar itu menghembuskan nafas lega, tanpa curiga sedikitpun dengan makna tersirat dari lengkungan bibir adik kembar mereka.
"Tapi jangan pulang telat lagi kayak kemaren, ya?" Dan anggukan antusias menjadi respon dari satu permintaan Gina.
"Kakak sama Gino pasti bakal pulang cepet, kamu juga jangan lupa makan sama minum obatnya, ya? Kalau ada apa-apa langsung kabarin kakak atau teriak aja biar orang-orang di rumah pada ngedenger."
Mendapat amanat seperti biasa lagi dari Gian berhasil membentuk lengkungan tulus di kedua sisi bibirnya. Setidaknya dari situ ia bisa berusaha yakin bahwa Gian dan Gino benar-benar ada urusan penting dan bukannya menghindar dan tidak ingin mengurus dirinya.