Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 59 - 58. Sebuah Kertas

Chapter 59 - 58. Sebuah Kertas

Polesan terakhir, dan selesai.

Gina menatap pantulan wajahnya di depan cermin, setelah seharian kemarin ia menyiksa diri dan tidak melakukan perawatan rutin pada si muka, akhirnya malam ini dirinya bisa memberikan skincare pada kulitnya.

Awalnya, ketika mengetahui bahwa ia lupa untuk merawat wajah cantiknya, Gina sejenak merasakan kepalanya pusing. Serangan panik miliknya nyaris muncul ke permukaan. 

Namun, melihat situasi yang menimpa Gina kali ini, membuat gadis itu bisa mengendalikan diri. Karena kasus gangguan mental yang baru menyerangnya beberapa waktu lalu lebih mengerikan dari sekedar memperdulikan wajah agar tetap cantik.

"Orang kaya kok bisa stress, siapa?" Gina menutup kembali beberapa produk skincare yang baru saja ia pakai. Sembari berbicara kepada diri sendiri agar setidaknya rasa sepi yang mencekam tidak menenggelamkannya ke dasar kegelapan.

"Gua," balas Gina kepada dirinya sendiri.

Ia tertawa miris, mungkin banyak orang di luar sana yang mengira bahwa seorang Gina yang terlahir dari keluarga konglomerat sangat tidak bersyukur atas apa yang ia terima di kehidupan ini.

Wajah cantik, uang banyak, kehidupan serba mewah, dan marga yang terhormat. Tapi Gina sendiri yakin jika mereka yang kehidupan perekonomian dan hak istimewanya tidak seberuntung dirinya, akan langsung bunuh diri ketika merasakan apa yang ia rasakan.

Trauma, rasa kehilangan, dan bayang-bayang orang jahat yang selalu menghantui setiap hari.

Meski begitu, Gina tetap bersyukur mempunyai orang-orang yang masih menyayanginya dengan tulus. Terutama memiliki kedua kakak kembar seperti Gian dan Gino merupakan hal yang tidak cukup jika diungkapkan dengan rasa syukur.

Sesaat, senyum tipis tersungging manis di wajah cantiknya. Sebelum kenyataan yang beberapa waktu ini ia alami membuat senyuman itu berubah menyadi senyum yang penuh akan kesedihan.

Satu persatu orang yang ia percaya sekaligus dirinya percaya menghilang, entah itu ditimpa masalah atau atas keinginan mereka masing-masing.

Sebenarnya Gina masih bisa mengendalikan rasa sedihnya jika yang hilang merupakan sang Mama, Dokter Hani, dan Suzy. Tapi jika kedua kakak kembarnya yang hilang, Gina tidak tahu lagi harus berpijak pada siapa.

Mungkin dirinya lebih memilih untuk terjun bebas dan melesat menuju langit bersama sang Papa.

"Oke Gina, nggak perlu dipikirin. Jaga diru lu, jaga kesehatan mental sama fisik lu." Kedua tangannya mengepal di atas meja, Gina melirik lagi ke arah cermin yang biasa ia gunakan untuk memeriksa keadaan wajah cantiknya.

Setelah beberapa lama gadis tersebut menatap kaca, akhirnya Gina memilih untuk keluar rumah sebentar. Mencari udara segar daripada terus berdiam diri di rumah besar yang terasa amat pengap akan masalah.

Setelah siap dengan hoodie lavender dan celana bahan berwarna hitam, Gina memilih menggerai rambutnya untuk menghalau rasa dingin. Ia ingin pergi ke minimarket yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya menggunakan mobil.

Setidaknya memakan makanan manis dapat membuat pikirannya lebih rileks.

Gina meraih kenop pintu kamar miliknya, pandangan matanya menatap lurus ke depan berusaha tidak melihat sisi pintu yang rusak. Dia takut jika spekulasi buruk kembali merasuki hati serta kepalanya mengenai kejadian malam kemarin.

Sejenak, Gina melirik ke arah pintu kamar Gian dan Gino. Binar mata yang sudah redup itu menjadi lebih redup saat menyadari bahwa kedua kakak kembarnya belum pulang. Entah ada urusan apa hingga keduanya terus pulang malam beberapa hari ini.

Tidak ingin kembali terhanyut, Gina segera berjalan menuju garasi. Mengingat kembali tujuan awal bahwa dirinya butuh angin segar. Butuh pelarian dari semua masalah yang terus saja menghantamnya.

Baru saja sebelah tangannya membukaa pintu mobil, fokus Gina teralih saat seseorang baru saja keluar dari mobil yang dikendarai masih dengan baju seragam yang melekat.

"Kakak ... " gumam Gina spontan. Gadis itu segera bergegas menghampiri salah satu kakak kembarnya yang baru saja pulang ke rumah. 

"Kak Gian." Gina memanggil dengan intonasi pelan, tidak butuh waktu lama untuk gadis itu menyadari bahwa sang kakak sedang dalam mood yang buruk. 

Gian menoleh, menatap Gina dengan kening berkerut tajam dan sorot mata yang cukup menusuk. Membuat Gina menghentikan langkah sebelum berada tepat di depan kakak kembarnya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gian mendelik ke arah adiknya. Kedua tangan laki-laki itu mengepal, menahan amarah yang sedari tadi terus saja membakar hatinya.

Meski dirinya merasakan rasa takut melihat Gian yang seperti itu, Gina mengikuti kemana kakaknya tersebut melangkah. Entahlah, ia hanya merasa sangat merindukan kedua kakak kembarnya.

"Sialan!" Gina tersentak saat umpatan kasar keluar begitu saja dari mulut Gian yang terdengar seperti geraman kental akan kemarahan. 

Arah pandangnya mengikuti langkah sang kakak yang membuang selembar kertas di tempat sampah yang selalu ada di setiap sudut rumah keluarga Adhitama. 

Berasumsi bahwa kertas itu yang membuat mood Gian menjadi buruk, Gina segera menghampiri tempat sampah dimana kertas itu dibuang.

Sebelum mengambil kertas yang ada di tempat sampah, Gina melirik lagi ke arah tempat Gian berjalan.

Kosong, waktu yang tepat untuk Gina mengambil kertas lecek tersebut.

Tanpa ada rasa jijik, Gina mengambil kertas yang sudah kusut dari dalam tempat sampah. Dengan terampil kedua tangannya membuka apa yang ada di dalam kertas itu. 

Gina mengernyit, kertas ini sudah sangat terkoyak dengan beberapa noda tanah yang menutupi tulisan di atas benda putih itu. Seperti kertas yang baru saja ditulis oleh sang empu, namun beberapa saat kemudian dirobek dan diinjak.

Gina masih berdiam kaku di depan tempat sampah, dirinya semakin menyipitkan mata saat berniat untuk membaca tulisan yang ada di atas kertas. Gadis tersebut terlihat semakin serius saat tahu bahwa gaya tulisan yang ada di atas kertas merupakan tulisan khas milik sang kakak.

"Se ... semoga." Gina mulai mengeja tulisan itu, Terlihat sekali bahwa gadis yang menjadi anak bungsu keluarga Adhitama tersebut bersungguh-sungguh ingin mengetahui apa yang tertera di atas kertas.

"Su-ka." Otak Gina berputar saat dua kata yang baru saja ia baca terangkai di dalam kepalanya. Netra hitam miliknya bergerak kesana kemari untuk mencari maksud dari dua kata yang terbaca.

"Semoga suka? Memangnya kak Gian ngasih apa, terus buat siapa?" Monolog Gina sekali lagi. 

Miris sekali memang, melihat seseorang yang memiliki gangguan mental sepertinya sangat sering untuk berbicara sendiri. Gina sendiri sadar semakin lama ia melakukan hal tersebut, semakin pula dirinya nyaris seperti orang gila.

Walau sebenarnya, beberapa orang yang tidak mengerti apapun tentang keadaannya sudah menganggap lebih dari itu.

Tangan Gina membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di atas kertas, dirinya semakin gencar untuk mencari tahu apa yang Gian tulis disana. Sebab tidak biasanya Gian memberikan hal seperti ini kepada orang lain.

Sikap sang kakak yang jahil kepada adik-adiknya, bukan berarti laki-laki tersebut memperlakukan sama orang lain. Jika di luar Gian yang disebut-sebut sangat rajin itu lebih memilih membuka buku dan memasang earphone untuk menghindari keramaian.

"Un ... un ... k? Ah, untuk." Gina tertertegun sejenak. Jikalau seperti ini, ia seratus persen yakin Gian ingin memberikan kertas berisi pesan tersebut kepada orang yang cukup berharga di kehidupan sang kakak.

"A ... Ai-ryn." Kedua bola mata gadis itu melebar saat menemukan nama seorang perempuan yang tertera sangat jelas di ujung bawah kertas. 

"Semoga suka." Gina mengulang, merangkai kata yang baru saja ia baca dan berhasil menyimpulkan sesuatu dari apa yang ditulis oleh Gian di sebuah kertas itu.

"Untuk Airyn," sambung Gina seraya mengerjapkan mata tidak percaya.

Apa kakaknya yang satu ini juga, sedang jatuh cinta?