Gina masih tidak percaya ini.
Kedua kakak kembarnya berbohong.
Dan untuk pertama kalinya, Gian dan Gino mengingkari janji mereka kepada dirinya.
Gina melirik dari ujung mata dimana sarapan pagi yang Gian-Gino siapkan untuk dirinya teronggok begitu saja di atas nakas dengan secangkir teh hangat yang tercecer menimbulkan kepingan kaca tersebar pada lantai di dekat nakas.
Waktu telah menunjukkan bahwa sudah jam enam sore. Biasanya kedua kakaknya itu akan langsung pulang setelah sekolah dibubarkan, yaitu pukul tiga sore. Gina terkekeh, lihatlah sekarang apa yang terjadi di depan mata dan menimpanya saat ini.
Kesendirian dalam kegelapan, berusaha untuk mencerna apa yang terjadi dengan hidupnya kali ini. Kebingungan atas segalanya membuat gadis itu frustasi. Lagi, Gina mempunyai firasat buruk atas beberapa kejadian mengerikan yang terus berdatangan.
Tuk.
Suara botol kecil yang terbuka menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam kamar Gina yang gelap. Diambilnya satu buah benda kecil yang bisa membuat ia dengan mudah mengendalikan diri.
Ya, obat penenang.
Obat yang seharusnya diberikan oleh Dokter Hani dan tidak boleh dipegang langsung oleh sang pasien. Akan tetapi, sepertinya karena kepanikan Dokter Hani kemarin, membuat psikiater hebat seperti dirinya melupakan hal terpenting yang harus dia lakukan.
Alhasil Gina yang mendapati obat penenang itu terdampar atas meja biasa Dokter Hani menyimpan benda penting, dengan mudahnya bisa Gina ambil semua tanpa memperdulikan dosis obat yang seharusnya diperhatikan.
Entahlah, di tengah situasi yang terus memburuk setiap harinya membuat Gina tidak memperdulikan apapun selain bagaimana cara gadis itu mengendalikan diri atas gangguan mental sialan yang terus mengganggu hidupnya.
"Papa, kak Gian sama kak Gino ngingkarin janjinya hari ini." Lirihan pertama dari gadis itu setelah beberapa jam sesudah kedua kakak kembarnya berangkat sekolah, hanya kesunyian yang mengisi ruang kamar Gina.
Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyum lemah. "Jangan marah sama mereka ya Pa, cuma sekali ini aja kok kak Gian sama kak Gino nggak nepatin janji. Mungkin aja kan lagi ada hal mendesak sampe mereka nggak sempat buat ngabarin."
"Papa jangan marah ya, kakak cuma lagi sibuk aja," lanjut Gina sembari menutup mata.
Rasa pusing mulai menyerangnya, efek obat penenang selalu berakhir seperti ini. Gina juga tidak peduli akan kondisi tubuh kedepannya karena sudah mengonsumsi obat penenang terlalu banyak. Bahkan tanpa resep dokter.
"Pa, Gina kangen Mama. Mama susah banget buat dihubungi, itu juga jangan bikin Papa marah, ya?" Gadis malang tersebut bangkit dari atas kasur, berusaha menggapai handphone yang berada di atas meja rias miliknya.
"Mama cuma lagi sibuk buat kebaikan anak-anaknya, sampe nggak ada waktu buat nelfon tiap hari."
Dengan kedua kaki yang bergetar, Gina melangkah menuju meja rias yang jaraknya cukup jauh dari tempat tidur untuk mengambil benda pipih yang biasa digunakan agar bisa menghubungi orang-orang terkasihnya.
Hingga sedikit lagi dirinya sampai, gadis itu terjatuh. Menimbulkan debuman yang cukup keras, bahkan keningnya terbentur oleh kaki meja riasnya sendiri.
Tapi anehnya, Gina tidak meringis sedikitpun. Semua seakan mati rasa baginya, apalagi dari pagi belum ada setetes air maupun sesuap nasi yang masuk ke dalam mulutnya.
Dan sudah tidak terhitung lagi sudah berapa kali Bi Mora beserta anak buahnya mengetuk menyuruhnya untuk keluar agar Gina makan dan minum.
Gina meraba-raba meja rias, mencari handphone miliknya.
Ia merindukan sang Mama, merindukan suara lembut itu mengalun indah di telinganya. Merindukan seluruh perhatian dari Mamanya, ia merindukan semua. Setelah tangannya menemukan apa yang sang empu cari, Gina segera menurunkan benda tersebut.
Membiarkan tubuhnya tetap berbaring mengenaskan di atas lantai yang dingin. Yang saat ini Gina inginkan hanya menelfon sang Mama, menanyakan kabar dan sedikit mengobrol.
Satu kali, tidak diangkat.
Dua kali, masih tidak ada respon.
Dan entah sudah yang keberapa kali Gina mencoba untuk menelfon, masih saja tidak diangkat.
"Oke Gina, jangan nyerah. Jangan mikir yang enggak-enggak dulu, coba sekali lagi. Mama mungkin bener-bener lagi sibuk." Pandangan Gina terasa kabur, dadanya sudah sesak dengan tenggorokan yang mengganjal.
Siap menumpahkan tangisnya.
Namun, gadis itu tidak menyerah, ia butuh sebuah sandaran sekarang. Dirinya tidak bisa membagi beban pikirannya kepada Suzy ataupun Dokter Hani, mereka berdua sedang dilanda masalah dan Gina tidak ingin menambahnya lagi.
Ia sudah gagal membantu kedua orang yang ia sayangi mencegah dan mengatasi masalah mereka, jangan sampai dirinya menambah beban masalah lagi kepada keduanya.
Gian dan Gino, kedua kakak kembarnya sekalipun sepertinya sudah muak dengan keadaan adik mereka saat ini. Bagaimana bisa Gina meminta mereka memberikan dirinya sandaran?
Gina tidak tahu, Gian dan Gino beberapa hari ini seperti,
Berubah.
"Angkat telfonnya Ma, Gina mohon ... " Akhirnya, isakan Gina keluar. Ia butuh sandaran saat ini, dunia terlalu kejam untuknya. Lagi-lagi gadis malang tersebut mendapatkan pukulan yang tidak diduga-duga.
Tangis Gina pecah saat mendapati panggilan telfon darinya ditolak oleh sang Mama. Dan untuk kesekian kalinya, Gina tidak percaya ini.
Mengapa orang-orang yang ia sayangi satu-persatu menghilang? Suzy dan Dokter Hani yang sedang jatuh, mana mungkin mereka dapat memikirkan Gina disaat diri mereka sendiri sedang dihadapkan dengan masalah?
Sang Mama yang pergi untuk 'sementara' meninggalkan ketiga anaknya dengan sifat gila kerjanya.
Dan yang terakhir, Gian dan Gino hanya mereka harapan terakhir Gina dan yang menjadi pusat hidup dirinya. Akan tetapi, semakin kesini terlihat sekali perubahan signifikan dari perlakuan sampai tatapan mereka kepada dirinya.
Juga kekhawatiran Gina yang menyebabkan gadis itu terus dibayang-bayang oleh hancurnya mental Gino. Firasat buruk yang tidak berhenti menghantuinya, juga sifat Gian yang sangat mengganggu pikirannya.
Gian adalah seseorang yang tidak pintar menyembunyikan masalah, tetapi terus berusaha menyembunyikannya. Kakak kembarnya yang satu itu akan mengeluarkan aura mengerikan yang dibawa kedalam rumah jika mendapat masalah dari luar.
"Pa, kenapa gini lagi, Gina ngerasain ini buat yang kedua kalinya." Di tengah tangisnya Gina tertawa, berbicara seolah sang Papa berada di hadapannya dan sedang mendengarkan semua ocehan dari Gina.
"Kenapa kehidupan Gina segini hancurnya setelah Papa meninggal?" Seketika itu juga setelah Gina mengucapkan hal itu, tatapannya berubah kosong. Air mata terlihat sudah tidak mengalir keluar dari kedua netra hitamnya.
"Apa ini pertanda kalau sebenernya Gina nggak perlu hidup lagi setelah Papa pergi?" Gadis itu tertawa hampa.
"Pa ... "
"Gina pengen ikut pergi sama Papa. Boleh, ya?" Sudut bibir Gina terangkat, matanya terpejam saat bayang-bayang dirinya hidup berdua menemani Papanya yang sudah duluan pergi, meninggalkan keluarga untuk selama-lamanya.
Akan tetapi, Gina tersentak tatkala suara-suara anak kecil masuk ke dalam pendengarannya.
"Jangan sakit, jangan sakit lagi, Gina. Adeknya kakak nggak boleh kayak gini."
"Kita bertiga udah kehilangan Papa, jangan sampe kakak sama kak Gian kehilangan kamu juga."
"Kita masih bisa bertahan walau Papa udah pergi, tapi kalau kamu yang pergi, Gino sama kakak bahkan udah nggak tau lagi harus apa."
"Kan kamu yang bilang kalau kita tuh satu orang yang dibagi jadi tiga. Kalau salah satu dari tiga itu hilang, kesatuan itu nggak bakal utuh lagi dan bakal jadi cacat selamanya."
Ah, kepingan masa lalu.