Semua Asisten Rumah Tangga yang ada di dalam rumah keluarga Adhitama saat ini tengah menyaksikan sosok seorang gadis yang tengah memeluk lututnya sendiri di anak tangga menuju ke arah kamar.
Mereka tak kuasa mendengar isak tangis memilukan dari Gina. Sesaat setelah mereka mendengar kegaduhan di ruang atas dan kabar mengejutkan tentang Dokter Hani yang akan pergi, Bi Mora dan seluruh anak buahnya langsung keluar dari kamar.
Seluruh pembantu terutama Bi Mora, ingin sekali mendekat ke arah Gina. Memberikan pelukan menenangkan kepada gadis malang yang kini tengah menangis hebat.
Akan tetapi, tidak bisa. Gina tidak menganggap bahwa pembantu di dalam rumahnya sebagai orang-orang yang dapat ia percaya. Jika mereka nekad untuk menenangkan Gina, kemungkinan besar isak tangis gadis itu bukannya berhenti, malah semakin parah.
Bi Mora beberapa kali memencet nomor yang tertera dan melakukan panggilan. Karena hingga malam menunjukan pukul sembilan, tidak biasanya Gian dan Gino belum pulang. Dirinya juga ingin sekali Gina direngkuh dan ditenangkan oleh kedua kakak kembarnya.
Karena hanya mereka yang saat ini bisa menenangkan seorang Gina Adhitama, gadis malang yang memiliki gangguan mental dan trauma masa lalu yang sangat parah.
Baru saja jempolnya ingin memencet tombol untuk memanggil, nama Gian tertera di layar. Dengan segera Bi Mora mengangkat panggilan yang sedari tadi ia tunggu.
"Bi Mora! Gimana kondisi Gina?" Terdengar di seberang sana suara yang begitu menunjukan kepanikan.
Entah karena tangisan Gina yang terus melantun nyaring, atau kelegaan yang luar biasa karena salah satu kakak kembar Gina menelfon, Bi Mora menangis.
"Nggak baik, dia nangis terus dari beberapa menit yang lalu di tangga ke arah kamar. Kamu cepet pulang, walau bibi nggak paham sama ilmu psikologis tapi kayaknya yang kali ini beneran bakal bikin gangguan mental Gina kambuh lagi." Dan saluran telepon terputus.
Bi Mora menurunkan benda pipih yang tadi berada di telinganya, ia bersender di tembok yang menjadi titik buta lokasi Gina.
"Hei, kalian balik lagi aja ke kamar. Jangan sampe gara-gara kalian kayak gini terus ketauan sama Gina, majikan kita jadi kenapa-napa," titah Bi Mora tegas yang langsung dilaksanakan oleh seluruh anak buahnya kecuali dirinya sendiri.
Wanita paruh baya yang menjadi kepala pembantu di rumah itu menatap Gina prihatin, ia mengerti semua kesakitan gadis itu selama belasan tahun ia bekerja. Tidak heran Gina menjadi seseorang serapuh kaca yang mudah retak.
Yang dapat hancur dengan sentuhan kecil.
Bi Mora menghela nafas gusar, sudah lebih dari setengah jam ia memperhatikan Gina yang menangis, namun tanda-tanda kehadiran dari saudara kembar gadis itu masih saja belum terlihat. Kalau begini, ia tidak kuat lagi untuk tidak menghampiri Gina.
Pada akhirnya Bi Mora melangkah secara perlahan tapi pasti mendekati Gina. berniat untuk merengkuh gadis malang nan rapuh yang ia sayangi.
Walaupun perlakuan Gina terkadang kasar dan sangat dingin, siapapun yang mengetahui masa lalu gadis cantik itu pasti tidak akan menyimpan rasa kesal sedikitpun. Karena sejatinya Gina adalah anak yang sangat baik sebelum kejadian buruk menimpanya.
"Gina," panggil Bi Mora seraya menepuk pelan pundak Gina. Sontak saja gadis yang dipanggilnya itu tersentak kemudian menoleh. Mendapati Bi Mora yang tengah menatapnya penuh kelembutan.
Berusaha memberikan sebuah ketenangan.
Tetapi, yang dilihat Gina tidak seperti itu. Di matanya ia melihat orang-orang yang sedang berancang-ancang untuk menyakiti dirinya, mengejeknya dan menghinanya habis-habisan.
Dan lebih parahnya lagi Gina melihat sosok imajinasi yang akan menghancurkan hidup kedua kakak kembarnya.
Spontan Gina menepis tangan Bi Mora yang berada di bahunya kasar, meringsut mundur berusaha untuk menjauhi seseorang yang kali ini berada di depannya.
"Gina nggak bisa, maaf. Maafin Gina, ja-jangan dipukul lagi jangan." Gina merancau. Meraung-raung memohon maaf dan meminta agar tidak disakiti lagi.
"Jauhin Kak Gino, jangan bikin kakak gua hancur!!!"
Padahal di depannya hanya ada Bi Mora yang berusaha menenangkannya. Sontak saja niat baik wanita paruh baya itu terpaksa ia kubur dalam-dalam setelah melihat kondisi Gina yang bertambah buruk.
Dengan kaki yang bergetar, Bi Mora menuruni tangga. Berniat untuk bersembunyi lagi dari hadapan Gina. Ia salah, salah telah memilih untuk menghampiri gadis malang tersebut. Seharusnya ia hanya diam dan mengawasi Gina dari jauh sembari menunggu Gian-Gino pulang.
Benar saja, tidak lama kemudian suara langkah kaki sedang berlari mulai terdengar. Bi Mora kira Gian yang terlebih dahulu sampai, tapi nyatanya Gino pulang lebih cepat.
"Gina!" Dengan panik Gino memanggil. Setelah sampai, Gino segera membawa Gina ke dalam dekapan. Nafasnya terengah sebab berlari dari garasi mobil ke dalam membutuhkan waktu dan jarak yang cukup jauh.
Gino sudah tahu semuanya, ia mendapatkan telfon langsung dari Dokter Hani tentang bagaimana situasi dan kabar hari ini.
Setelah penjelasan disertai isak tangis itu Doker Hani berikan, Gino yang tadi sedang dijamu oleh orang tua Viona segera bergegas pulang.
Lagi, meminta maaf karena situasi yang ia terima sangat darurat. Mengingat kondisi Gina yang kembali rapuh beberapa waktu ini dan informasi penyebab serangan panik adiknya kemarin membuat Gino mengorbankan moment penting bersama sang kekasih.
Untuk yang kedua kalinya.
Kali ini remaja laki-laki itu hanya berharap bahwa orang tua Viona tidak memandangnya sebagai pria yang memainkan hati putrinya.
Pelukan Gino semakin erat ketika mendengar Gina yang merancau sembari memeluk dirinya.
"Kakak harus bahagia, jangan sakit jangan terluka. Nggak boleh, Kak Gino sama Kak Gian nggak boleh kenapa-napa." Tangisan Gina semakin kencang, membuat seluruh penjuru ruangan dapat mendengar isak tangis memilukan tersebut.
Hati Gina sedikit lega ketika salah satu pegangannya datang. Membawanya ke dalam rengkuhan penuh perlindungan.
Melihat kondisi Suzy dan Dokter Hani yang tadi sangat menyayat hatinya, cukup membuat Gina merasa bersalah. Ia tidak bisa membantu apapun ketika Dokter Hani dan Suzy selalu menolong saat dia dilanda kesulitan.
Menyaksikan orang-orang yang ia sayangi hancur satu persatu sungguh membuat Gina merasakan luka yang teramat sakit melebihi dirinya saat terluka.
"Udah-udah, Dokter Hani nggak bakal kenapa-napa. Om Rey kan kuat, Dokter Hani nggak mungkin kehilangan tunangannya gitu aja." Gino memejamkan matanya seraya terus mengelus punggung Gina agar tenang.
"Kakak juga nggak bakal kenapa-napa, kan?"
"Memangnya kakak bakal kenapa? Tenang Gina, jangan mikiran hal yang nggak-nggak." Gina menggeleng, menolak ucapan yang keluar dari mulut Gino. Kakaknya itu tidak tahu apapun tentang luka yang akan menggores mentalnya.
Hanya ia, hanya seorang Gina yang tahu.
"T-tapi k-kak, t-tapi ... " Suara Gina tersendat, tak kuasa menahan lagi tangisannya yang terus keluar.
"Shuuutt ... udah, semua bakal baik-baik aja. Ada kakak, kalian jangan khawatir."
Satu lagi dekapan hangat Gina terima. Kali ini suara yang lebih berat berusaha menenangkannya, bahkan yang dipeluk bukan hanya Gina seorang. Tetapi Gino juga ikut masuk ke adalam rengkuhan kokoh milik Gian.
"Kak Gian ... " panggil Gina lirih. Perlahan tubuhnya melemas, menyerahkan seluruh raganya ke dalam pelukan hangat kedua kakak kembarnya. Walau biasannya kata-kata penenang dari mulut keduanya bisa membuat Gina lebih baik, akan tetapi kali ini berbeda.
Perasaan Gina malah bertambah gelisah, seolah seluruh ucapan yang dilontarkan oleh kedua kakak kembarnya hanya angin lalu yang tidak pernah terdengar sama sekali.