Hujan semakin deras, rintiknya sangat lebat. Langit menangis mendukung perasaan sedihnya. 'Kekasihku kau menyuruhku pulang. Tapi kau tetap ada di dalam sana. Gelap sempit. Semoga nikmat kubur engkau dapatkan.' Adiba bangkit perlahan dia berjalan di tengah hujan yang mengguyurnya.
"Basahi saja aku ... ini langit. Air hujan ini hanya membasahi tapi hatiku, ragaku semakin sakit. Rasa tersayat ini masih membekas begitu menyiksa. Kekasihku telah tiada hidup hanya sendiri dengan cintanya tanpa memilikinya. Rinduku kupaksa melepas dari diriku dan tidak bisa memiliki oleh siapapun. Dulu saat aku belum mencintainya ya dia memberiku payung disaat rintikan hujan seperti ini. Hujan, tetesnya ini adalah rasaku kepadanya yang tidak bisa terhitung. Mereka tidak tahu gila nya aku. Mereka tidak merasakan. Mereka tidak tahu apa yang aku rasakan, andai ... seluruh dunia tahu. Kata mereka aku sangat keterlaluan dalam bercinta. Terlalu berlebihan dalam perasaan cinta. Lihatlah aku yang tidak diperdaya oleh dunia. Dia bersemayam di dalam bumi sana. Cintaku terkubur bersamanya masih ada dan akan tetap hidup bersamaku selamanya. Cintaku, tidak bisakah kau menjelma diantara rintikan hujan, lalu tersenyum kepadaku, dukunglah aku aku hidup tanpamu. Kenapa kau tinggalkan racun dengan anak panah cinta telah tertancap seperti kehidupan di dalam dunia khayal. Asmara semakin mendekat cinta pun terlepas."
Adiba terjatuh tak kuasa untuk berdiri tubuhnya telah lemas hujan semakin deras ia berusaha berdiri namun tidak sanggup. Tiba-tiba ada mobil berhenti di depannya. Klakson mobil terus dibunyikan oleh pemiliknya. Pemilik mobil itu kemudian turun. Melihat keadaan Adiba yang sudah tidak sadarkan diri dia segera menggendong Adiba. Seorang anak laki-laki membukakan pintu untuk wanita yang tidak berdaya akan cinta itu.
"Ya Allah ... hik hiks est ... Adiba kenapa sampai seperti ini sini Mas." wanita di dalam mobil itu menyiapkan pangkuannya untuk Adiba. Wajah Adiba yang semakin pucat.
"Mas ... wajahnya pucat. Ayo kita bawa ke rumah sakit, badannya juga sangat panas."
"Cinta Adiba bisa sekuat ini gara-gara cinta bisa sampai seperti ini." laki-laki itu terlihat sangat kesal dengan perilaku Adiba yang seperti kekanak-kanakan.
"Jangan emosi seperti itu Mas. Mas kan tahu sendiri bagaimana perjuangan dan banyaknya pengorbanan keduanya. Wajar saja lah, menurutku. Adiba wajar dalam keadaan seperti ini memang butuh proses untuk menyembuhkan luka hatinya. Jika aku kehilangan Mas juga mungkin seperti ini." Wanita itu terlihat sangat membela Adiba.
"Rafi segera telepon Oma. Bilang begini ya sayang, kita akan bawa Tante ke rumah sakit," jelas wanita itu yang ternyata memang kakaknya Adiba.
"Baik Bunda," jawab putranya. Sang suami melajukan mobilnya sambil melihat keadaan Adiba yang semakin parah.
'Bagaimana caraku bernapas. Jika rasanya kamu adalah seluruh napasku. Melihat kepergianmu di depan mataku aku meratap menangis sedih tak bisa aku tahan lagi. Terbayang saat bersama melewati masa-masa sulit dan terindah kau tidak berani memelukku dan menuturkan kata cinta. Kau adalah seluruh cintaku kau yang bisa mendamaikan dan menentramkan perasaanku. Selama ini walaupun kau tidak disampingku aku merasa kamu selalu ada disisiku selamanya. Tapi saat kau benar-benar pergi dari dunia. Seakan nafasku telah direnggut oleh tubuhku dan aku tidak sanggup menghidupkan diriku sendiri. Tak sanggup lagi aku memikirkannya habis separuh nyawaku menangisi kepergianmu.'
"Adiba ... Adiba ... apakah mendengar suara Mbak?" Wanita itu terus berusaha menyadarkan adiknya.
"Ya aku merasa cintanya itu sangat konyol. Tidak seharusnya dia menyiksa dirinya sendiri. Sampai berlebihan seperti ini." Protes sang suami kepada wanita itu.
"Perjalanan mereka begitu romantis dan menahan nafsu. Cinta mereka karena tidak direstui oleh Abi sampai direstui. Apa Mas ingat? Ketika Ridwan harus pergi bertahun-tahun untuk bukti cintanya kepada Adiba? Mas, bayangkan saja tujuh tahun penantian keduanya. Bayangkan Mas! Bayangkan!"
"Iya. Iya ... aku tahu, romantisan juga cinta kita," jawab suaminya yang santai tidak terlihat cemas dengan keadaan Adiba.
"Mana buktinya, orang kamu disuruh datang ke rumah masih sembunyi di atas pohon. Mas melakukan itu kan saat melamar. Melamar kedua malah kabur. Seperti itu mau dibilang romantis, heh ... sampai saat ini pun jarang peka!" jawab istrinya sangat sinis.
"Yang penting kan kamu jatuh cinta berkali-kali kepadaku. Setiap saat aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku."
"Hu ... sudah ah, males aku bahas itu sekarang badan Adiba semakin panas." Wanita itu sangat mencemaskan Adiba.
"Adikku ....karena kamu sangat mencintai Ridwan, sekarang ada di sini."
Mendengar ucapan jahil dari suaminya wanita itu segera mencubit lengannya. Dan merasa kesal karena suaminya bermain-main. "Jangan begitu ah, Mas, kalau arwahnya gentayangan, bagaimana coba?"
"Hahaha. Berarti dia sangat kangen, sangat rindu sama Adiba."
"Eh. Mas ini, makin horor deh!" Protes istrinya tambah kesal.
"Om Ridwan sudah ada," ujar anaknya membuat wanita itu tambah merinding. Seketika juga ayahnya mengerem. "Iya ... Om Ridwan berada di samping tante Adiba. Dia memegang tangannya tante Adiba." Anak yang berusia 6 tahun itu semakin memperjelas dan bicara dengan kepolosannya.
"Tuh, kan ... Mas sih ... gosipin orang yang baru meninggal. Lalu Raffi dengar kata-kata Om Ridwan tidak?" tanya wanita itu kepada anaknya.
"Om Ridwan hanya diam, sekarang sudah pergi, terbang." Ucapan tanpa dosa. Ayahnya memutar kemudi mereka sebentar lagi akan sampai ke rumah sakit.
"Eh. Yang, apa mungkin almarhum arwahnya pamitan?" Pertanyaan dari sang istri membuat pria itu tertawa. "Mungkin kan Mas ... itu mungkin saja terjadi ... Oh so sweetnya memang dari dulu si Ridwan." Puji sang istri kepada almarhum calon suami adiknya.
"Aku lebih romantis kali. Aku memang tidak pernah terlihat benar di matamu, padahal aku sudah romantis setengah Mati."
"Lupakan cinta kita, ini lho ... Adiba tubuhnya semakin panas badannya juga bergetar."
"Jika kamu menyuruh aku melupakan cinta kita. Berarti aku boleh hidup dengan wanita lain?"
"Awas aja ya ... kalau sampai poligami!" ancam wanita itu suaminya tertawa terbahak-bahak.
"Semoga cintaku hanya selalu ada untukmu. Semoga cintaku tidak terbagi."
"Aamiin. Andaikan setiap hari Mas mengucapkan doa seperti itu, aku akan bilang Mas sangat so sweet."
"Wanita itu ... memang rumit, seharusnya kamu mengerti dengan tindakanku. Apa kurang rasa cinta dan perhatianku?" tanya sang suami. Mobil sudah terparkir. Pria itu segera membopong adiknya.
Wanita itu segera menuntun putranya. 'Ya Allah semoga tidak ada hal buruk kepada Adiba. Ya Allah lindungi dia ya Allah ... ampuni dia yang belum bisa menerima kenyataan. Ya Allah Engkau Maha Pemaaf yang luas. RahmatMu selalu tercurahkan kepada hamba yang khilaf dan kembali kepadaMu. Adiba gadis solihah ya Allah. Tuntun dia mengenalMu. Aamiin.' Doa Kakaknya dalam hati.
Bersambung.