Chereads / Cinta Kamu, Titik. / Chapter 13 - Tanggung Jawab Akmal.

Chapter 13 - Tanggung Jawab Akmal.

Musim bahagia kini menjadi musim sedih. Ketika itu pula Allah Subhanahu Wa Ta'ala sering membolak-balikkan hati pada manusia. Napas panjang dari Adiba yang sampai mengangkat sebagian tubuhnya, membuat kakak ipar dan kakaknya panik.

Aisyah terus membisikan kalimat tauhid di telinga kanan Adiba sambil terus menggenggam erat tangannya. Air mata terus berlinang dengan mudahnya. Sementara Fahim lari menemui mencari dokter. Dokter pun segera masuk ke ruangan Adiba.

Aisyah dan Fahim keluar, Aisyah terus menangis di pelukan suaminya. Sementara dokter di dalam melihat grafis monitor bekerja. Dokter memeriksa detak jantung, oksigen, serta tekanan darah. Monitor berbunyi.

Tittt!

Suara yang menggema dari dalam ruangan Adiba membuat semua lemas dan pasrah. Suara monitor berhenti dan datang kembali harapan keluarga Adiba. Umi terus mendekap lengan Abi dengan mata yang basah.

"Terus berdzikir Umi," ujar sang suami.

Keadaan semakin mencemaskan defibrilator diperlukan untuk memulihkan detak jantung normal Adiba. Karena detak jantungnya sempat berhenti. Alat kejut jantung ini mengirimkan kejutan listrik agar jantung bisa bekerja lagi.

Sementara di luar sana, semua keluarga terlihat khawatir dengan kondisi Adiba, namun juga terlihat ikhlas. Wanita paruh baya itu tidak henti memutar tasbihnya air matanya terus bercucuran dengan derasnya.

Dari sana terlihat seorang pemuda sedang berjalan cepat menuju keluarga yang tengah menangis pilu. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Suara bersama dan pecah. Akmal mencium punggung tangan orang tua Adiba.

"Lama tidak bertemu kamu ganteng juga," ujar Fahim.

"Mas fahim sempet-sempetnya, ya ... adiknya kritis," sahut Aisyah.

"Jadi Adiba kritis?" tanya Akmal dengan sangat terkejut.

"Coba tolong lihat keadaannya, aku bingung sekali," keluh Fahim yang menarik lengan Akmal menuju ruangan Adiba.

"Tapi ini bukan tempat Rumah Sakit ku bekerja, Mas. Lagian sudah ada tim medis, aku hanya spikiater. Keadaannya juga sudah sangat kritis. Allah Yang Maha menyembuhkan. Kita berdoa saja saat ini." Akmal menepuk bahu Fahim.

"Jika dia masih diberi umur. Apa kamu bisa merawatnya untuk kami?" tanya Fahim sangat tegas dengan menatap tajam Akmal.

"Insya Allah aku akan menjaganya sebagaimana keluarga kalian menjaga kami. Kita tunggu hasilnya nanti, sama berdoa kepada Allah subhanahuwata'ala minta yang terbaik." Akmal kembali menegaskan seperti itu kepada Fahim.

Akmal datang menemui wanita paruh baya. "Umi harus bersabar, tenang saja ... jika nanti Adiba masih diberikan umur. Dan sebisa mungkin kita berusaha. Aku akan berusaha."

"Heh ...." wanita itu menatap melas kepada Akmal. Terlihat dari pandangannya memiliki harapan besar kepada pemuda itu. "Umi tidak bisa lagi berkata apa-apa. Umi pasrahkan kehidupan Putri Umi kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala." berusaha tegar namun air matanya tetap berlinang.

"Abi kemarin sudah menghubungiku, Abi memintaku untuk menikahi siri Adiba. Walaupun keadaan kritis seperti ini, Abi menginginkan Adiba sebagai pengantin. Aku siap lahir batin, aku berjanji kepada Umi dan Abi. Jika Adiba masih diberi nyawa, Allah masih memberi kehidupan. Aku akan menjaganya dan tidak akan macam-macam sampai Abi dan Umi pulang dari ibadah haji."

"Heh ... huft ... lalu bagaimana dengan calon istrimu?" tanya Umi terlihat mencemaskan hubungan Akmal setelah menikah dengan Adiba nantinya.

"Aku merahasiakannya Umi. Ibadah haji hanya 40 hari, sementara pernikahanku masih kurang beberapa bulan, lima bulan atau 6 bulan. Aku akan menjaga Adiba seperti adikku sendiri, walaupun status Kami nanti akan menjadi suami istri." Akmal melepas tangan wanita keriput itu.

'Aku memantapkan hati menikahinya, niatku ... agar menyentuhnya saat memeriksa tidak terjadi dosa. Jika datang syahwat, aku berjanji tidak akan pernah macam-macam,' ujar Akmal dalam hati.

*****

Dokter keluar dengan raut wajah letih. Semua keluarga berdiri dan segera menghampiri dokter itu.

"Keadaannya masih sama. Tadi jantungnya sempat saja berhenti berdetak. Dan kini sudah normal kembali. Kami tidak bisa memastikan, kapan dia akan bangun."

"Dok, apa saya bisa bicara dengan pihak kepala rumah sakit ini?" tanya Abi.

"Oh ... itu beliau," tunjuk Dokter wanita itu.

"Terima kasih Dok. Akmal ayo ikut," ajak Abi dan Akmal berjalan cepat.

*****

Tok!

Tok!

Tok!

"Silahkan masuk," jawab dari dalam ruangan. Abi dan Akmal tersenyum lalu masuk. Kepala Dokter mempersilahkan untuk duduk.

"Siang Pak."

"Siang ... Apa ada yang bisa kami bantu?"

"Begini Pak. Apa bisa kami merawat putri kami yang koma di rumah? Kami akan membayar semua pelaratan yang dibutuhkan. Bahkan ruangan akan kami kondisikan seperti ruang ICU," ujar seorang Abi yang menginginkan kenyamanan untuk putrinya.

"Anda yakin akan mengkondisikan kamar tersebut seperti kamar di ruang ICU rumah sakit? Dan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit disertai tenaga perawat yang tekatan dan telaten," jelas kepala rumah sakit itu.

"Saya akan mengurus segalanya Dokter. Saya ingin putri kami nyaman. Dia juga seorang dokter." Abi sangat percaya dengan kemampuan Akmal, karena memegang bahu Akmal.

"Dia memang dokter spikiater tapi dia faham betul bagaimana merawat anak kami nanti. Siapa tau karena mental yang seperti itu, anak saya ini bisa segera bangun jika didampingi orang-orang sekitarnya. Dia juga akan dibantu perawatnya. Tidak masalah kan Dok, tidak mengambil perawat dari rumah sakit ini? Saya tidak ingin merugikan. Saya akan membayar berapapun asal putri kami bisa dirawat di rumah," jelas pria beruban itu.

"Tidak papa, semoga pasien segera sadar kembali," ujar kepala rumah sakit. "Karena pasien akan dipindah tangankan saya harus yakin jika dokter yang menangani harus faham betul. Apa yang dibutuhkan pasien saat koma?" tanya pria berkaca mata itu kepada Akmal.

"Pasien koma artinya pasien dengan tingkat kesadaran terendah dan tergantung kepada alat-alat penunjang alat vital. Jadi pasien dalam posisi tertidur tanpa adanya respon sedikitpun. Pasien terpasang monitor untuk tanda vitalnya. Dalam keadaan koma, pasien tidak mampu bernafas adekuat, walaupun ada usaha nafas pasien itu sendiri. Oleh karenanya membutuhkan alat bantu nafas ventilator. Ventilator ini harus tersambung dengan listrik 24 jam dan tabung oksigen, artinya selain tabung oksigen utama juga tersedia tabung oksigen cadangan. Dibutuhkan juga alat suction atau penghisap lendir yang digunakan pada jalan nafas.

Pemberian cairan melewati infus yang masuk ke dalam pembuluh darah, nutrisi melalui selang makan sampai ke lambung pasien. Ya semuanya ini tentunya tidak luput dari risiko terkena infeksi, terutama infeksi paru-paru. Kita pihak keluarga akan bawa Adiba ke rumah sakit jika suhu badan tinggi, disertai percepatan laju napas dan banyaknya produksi lendir pada saluran napas."

"Kami percaya kepadamu. Dokter muda, kami akan mempersiapkan untuk pindahnya pasien. Kami akan lepas dari tanggung jawab dan akan memberikan tanggung jawab penuh kepada dokter muda ini."

"Terima kasih." Akmal dan Abi pergi dari ruangan. Setelah itu suster memberikan lembaran kertas hasil pemeriksaan Adiba kepada Akmal. Akmal membuka satu persatu dan membacanya dengan seksama.

'Semua terlihat normal. Hatinya saja yang rapuh karena kehilangan Ridwan. Ya Allah ... dia hidup namun tidak semangat hidup. Beri kami jalan terbaik.' Harapan Akmal dari dalam hati.

Bersambung.