Masih senantiasa menanti, dengan berharap anak gadisnya terbangun. Ketidaksanggupan menyerang wanita yang mulai keriput. Tidak sanggup melihat Adiba terbujur dan tidak berdaya, sementara air matanya terus berlinang.
Merasa ada gerakan dari jari putrinya, wanita itu segera melihat Adiba. Seperti akan membuka mata. Wanita itu benar-benar tidak sabar menanti putrinya.
"Eh ...."
Hanya napas yang dihembuskan, tasbihnya terlepas dari jari-jari. "Adiba, Umi berada di sampingmu. Apa yang ingin kau katakan Nak ... katakan sayang ...."
Jari-jemari wanita yang melahirkannya basah karena terus menghapus air mata Adiba. Air mata Adiba sama sekali tidak berhenti selalu membasahi wajahnya.
"Melihat kamu yang seperti ini. Tidak bisakah kamu berbagi dukamu bersama Umi. Tidak bisakah Umi ikut merasakan sakit mu sayang ... andaikan Umi bisa menggantikan perasaanmu hingga kamu bahagia. Umi akan melakukannya. Ya Allah ... Allah ... ya Allah. Serasa saat ini hamba ikhlas. Jika dengan keadaan seperti ini mencegahnya maksiat, maka hamba ikhlas. Namun, dengan tersadar nya dia. Dan semakin menguatkan iman Islamnya. Maka kembalikanlah amanahMu. Kami akan menjaganya. Hingga tidak bermaksiat kepadaMu. Sesungguhnya Engkau maha tahu yang terbaik bagi setiap hambaMu. Hamba hanya ingin berhusnudzon (berprasangka baik) kepadaMu."
Dengan menahan sesak di dalam dada, sang Umi mengusap wajah putrinya perlahan.
"Hati perih melihat wajah letihmu Nak ... matamu juga terlihat sayup dan lelah. Maafkan Umi yang tidak merasakan sakit mu dan dukamu. Kecantikanmu memudar, kau ingat. Jika kamu ingin setiap pagi dipanggil cantik. Umi berjanji jika kau bangun dengan wajah gembira maka Umi akan selalu memanggilmu cantik. Jangan kau siksa Umi ... Adiba. Hati Umi begitu perih."
Kembali berlinang air mata seorang ibu. "Hanya kepada Engkau, kami kembali. Engkau Tuhan yang Esa. Hanya kepadaMu hamba meminta tunjukkanlah kebesaranMu, Ya Allah. Hentikanlah larangannya, matikanlah rasa sakitnya, hidupkanlah gairahnya, Ya Allah, Ya Rohman, Ya Rohim, Engkau Dzat yang maha segala-galanya."
Umi mencium keningnya. "Rinduku melayang terbang ... bagai lepas mimpi indah, kini hanya goresan yang menjelma, kesedihan yang melara, aku tidak sanggup, Umi aku ingin menjemputnya."
Umi bangkit lalu melihat keadaan Adiba. "Apa tadi tadi bermimpi ... ya Allah ... Ya Allah ...." Napasnya semakin memburu, air matanya tidak berhenti berlinang wanita paruh baya itu segera mengambil air wudhu dan mengaji di samping putrinya.
"Ya Allah ... Ya Allah heh ... hik hik hek est ... Allah ... hek hek. Heh ...." Walau sudah memeluk Alquran. Wanita yang melahirkan Adiba tidak kuasa lagi nahan rasa sesaknya. Dia semakin terisak.
"Ya Allah ... jika dengan menjemputnya dia bahagia di sana. Hamba ikhlas ya Allah. Jika Engkau mengambil nyawanya, dan dia akan bahagia di alam sana. Maka hamba benar-benar ikhlas. Di mana pun dia berada, asal dia bahagia. Engkau tidak menyiksanya. Hamba ikhlas ya Allah. Jika Engkau masih memberi umur dan kehidupan, semoga nantinya dia akan menjadi seseorang yang berguna dan mengenalkan cinta Engkau yang teramat besar. Aamiin. Aamiin Ya Allah."
Hijab syar'i yang dikenakanya basah karena air mata. Tangan kirinya terus menggenggam erat tangan Adiba. Lantunan ayat suci Alquran menemani malam hampa putrinya.
*****
Suara adzan subuh berkumandang, Umi pergi untuk salat subuh berjamaah di masjid depan rumah sakit. Setelah selesai, Umi dan Abi berjalan bersama dan sampai ke kamar Adiba. Umi menutup pintu.
"Umi ... kenapa hati ini gundah, tadi malam aku memimpikan Adiba yang menyerah. Aku benar-benar ikhlas atas kehendak Allah."
"Apa yang dikatakan oleh Adiba Abi?"
"Dia dicekam rasa rindu yang mendalam. Dan, Adiba berderai airmata untuk cinta suci kepada Ridwan."
Wanita itu lemah tiba-tiba, dia menjadi sempoyongan. Dan terus menyebut asma Allah, lalu beristighfar.
"Biarlah mengalir sampai habis air matanya, karena cinta dan rindu sedang mencobanya, sedang menguji betapa besar cintanya atas Ridwan. Jika Allah hendak mengambil. Ambillah mutiaraku, asal jangan Kau sakiti dia ya Allah, karena dia yang marah akan takdirMu. Ampuni dia. jangan kau siksa buah hati hamba ya Allah, ampuni hamba yang banyak meminta, Ya Allah ... hamba memohon, sehingga Engkau satukan abadikan cinta suci keduanya."
Tangan laki-laki itu merangkul bahu istrinya. "Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Jika mengetahui hal ini akan terjadi aku menikahkan keduanya sejak dulu. Ya Allah ... Astagfirullah ... semoga Allah mengampuni kita. Aamiin."
"Aamiin. Jangan berkata seperti tadi. Aku yakin jalan Allah selalu indah walau terlihat menyakitkan. Aku meredam kemarahan ku, ketidakterimaan ini dengan mengingat semua balasan orang sabar adalah surga. Kita hamba yang masih banyak mengeluh, jika kita mau bersabar sebentar saja. Yakin rahmat Allah begitu luas."
"Umi benar. Mari kita bertawakal bersama-sama."
Kedua orang tua Adiba mengaji di samping Adiba.
Sinar mentari sangat terang cahaya menerobos ke dalam ruangan Adiba. Fahim dan istrinya tiba di kamar Adiba tepat jam tujuh pagi.
"Umi, Abi sarapan dulu ya," ujar Fahim. Kedua orang tua Adiba pergi dari kamar Adiba.
Istri Fahim mengambil wadah dan menuangkan air hangat lalu mengambil handuk kecil dengan pelan ia membasuh tangan dan kaki Adiba.
Dengan sangat lembut dan penuh hati-hati. "Adikku ... sayang. Apa kau merasakan. Kami semua di sini merasakan kesedihanmu. Apa pun yang melanda mu, itu juga melanda kami. Apa kamu tidak lelah menangis terus." Suara Ibu satu anak itu menangis tersedu-sedu.
'Ya Allah Sesungguhnya Engkau adalah pemilik bumi dan langit. Kami para hambaMu, hanya meminta, memohon, menyembah, lalu merayu dengan bertawasul. Kami akan datang ke Ka'bah Baitullah. Dosa kami yang begitu teramat banyak, hanya bisa bertawasul lewat perantara kekasih Engkau. Junjungan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, agar doa kami tersampaikan kepadaMu. Selama ini dia tidak terbebani dengan syahwat dan nafsunya maka hidupkanlah satu cahaya putih di hatinya untuk imannya ya Allah. Berikan dia iman ya Allah ... Agar dia tidak berputus asa, karena kehilangan kekasihnya.'
"Jangan menangis Aisyah akan mendengar doa kita Allah pasti mengabulkan. Mungkin ini yang terbaik untuk Adiba. Biar kan berjalan atas kekuasaanNya. Kita pasrahkan hati, jiwa raga kita untuk Allah. Jadi tenang ya," ujar Fahim kepada istrinya.
"Hik hik hiks. Sudah ditahan tetap keluar air asin dari mataku," jawab Aisyah. Fahim memeluknya.
"Sebentar lagi Akmal datang," ujar Fahim.
"Apa Abi sudah membicarakan pernikahan siri?" tanya Aisyah yang lalu membersihkan sisa air matanya.
"Aku kira sudah. Tapi ... pribadi, mungkin nanti Abi akan menegaskan lagi," jawab Fahim pelan.
"Semoga dia akan menjadi imam yang nyata dan sah. Bukan hanya siri. Aamiin."
"Menurutku memang tepat. Semoga dia pria yang akan membuat Adiba jatuh cinta lagi. Walau Akmal miliki calon istri. Semuanya mungkin jika Allah menghendaki keduanya. Biidnillah (dengan izin Allah) Ingsya Allah." Fahim berharap Akmal akan mengisi hati Adiba yang merana karena Ridwan yang meninggal.
Bersambung.