Setelah Bian keluar dari kamar mandi, tampilannya begitu berubah. Yang tadinya sangat gagah dengan stelan jas lengkap yang membuat aura kepemimpinannya jelas terpancar. Dan sekarang, setelah memakai baju kaos biasa dengan bawahan celana olahraga, membuat penampilannya terkesan santai, namun ketampanan yang dimiliki Bian tetaplah paripurna dan tidak berkurang sedikitpun.
Bian kembali duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya sepanjang sofa tersebut. Sementara si kecil Ziel, menunggu Mayang yang terlihat masih diam memperhatikan sang Daddy. Dirinya baru tersadar saat suara Bian terdengar.
"Kenapa kamu melihatku sampai segitunya. Tutup mulut kamu, kalau tidak air liurmu itu akan menetes di lantai." dengan senyuman menggoda iman, Bian mengejek Mayang yang tengah melamun memandangnya.
Dengan cepat Mayang menutup mulutnya dan berlari kecil ke kamar mandi. Ia menyelesaikan ritual mandinya secepat kilat, karena akan segan bila meninggalkan tamu berlama-lama. Memakai piyama tidur yang menurutnya paling sopan untuk terlihat. Karena biasanya Mayang bisa saja tidur dengan memakai pakaian sembarangan. Karena ia tidak tahu, kapan tepatnya rasa kantuk melanda matanya. Terbiasa terjaga membuatnya kesusahan untuk terlelap.
Sebelum Mayang menghampiri si kecil Ziel yang tekun menunggunya. Tak lupa Mayang juga berpamit untuk tidur pada Bian. Dengan rambut yang tergurai dan ketika ia sadar telah diperhatikan, Mayang buru-buru mengikat rambutnya secara sembarang.
"Tuan Bian, aku akan tidur lebih dulu. Bila perlu sesuatu panggil saja saya." ucap Mayang pada Bian, lalu dengan cepat kembali ke tempat tidurnya. Sementara Bian hanya menanggapinya dengan kalimat singkat, "Ya, tidurlah." Karena matanya terlalu terpesona dengan kecantikan alami yang terpancar di wajah Mayang.
Tanpa bisa dijelaskan dirinya sendiri, entah kenapa matanya yang memandang kecantikan Mayang, malah bagian tubuh bawahnya yang terangkat. "Sial! Kenapa kau bangkit sekarang?" umpatnya dalam hati lalu membaringkan tubuhnya di sofa, memutuskan untuk tidak melihat Mayang lagi.
***
Mayang berada disamping Ziel yang terus saja memandanginya. Diusap pucuk kepala Ziel dengan lembut dan penuh kasih. Hingga fikirannya kembali teringat pada bayi yang ia kandung dulu.
"Beginikah rasanya menidurkan anak? Kenapa aku begitu sedih? Andai saja kamu masih ada bersamaku, Sayang. Pasti tiap malam, Ibu akan menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu." Sebutnya dalam hati, tanpa terasa olehnya air mata menetes di dahi si kecil Ziel.
Ziel berkedip, mendongakkan wajahnya melihat Mayang yang dengan cepat menghapus lelehan air mata di pipinya.
"Ada apa? Kenapa belum tidur juga, hmm?" tanya Mayang pada Ziel yang sudah pasti tidak menjawab dan tetap menatapnya seakan bertanya.
"Aku tidak menangis, aku hanya bersedih, kenapa aku tidak mempunyai anak sepertimu, yang manis dan tampan," Mayang mengalihkan pembicaraan agar si kecil yang suka ingin tahu ini segera memejamkan matanya.
"Ayolah anak emas, mari kita tidur! Besok pagi, aku punya pekerjaan baru. Untuk itu kamu perlu membangunkanku, karena aku sulit sekali terbangun ketika tidur, okey?" sambung Mayang yang langsung diberi anggukan si kecil yang kemudian memeluknya erat.
Mayang menepuk punggung si kecil berulang dengan lembut, sambil menyanyikan lagu pengantar tidur yang sebelumnya pernah didengar tapi belum pernah ia nyanyikan.
Tidurlah tidur, wahai anakku sayang…
Malam telah tiba, dan gelap pun segera menghantuimu…
Janganlah kau gelisah, wahai dambaan hatiku…
Karena aku kan setia menunggumu di sini…
Menemanimu melewati malam yang sunyi…
Mimpikanlah sejuta kenangan manis, yang pernah kita lewati…
Dan lihatlah kebahagiaan yang pernah kita lalui…
Tidurlah tidur wahai kau cintaku…
Karena sang fajar telah menantimu dan diriku…
Ujung nyanyian Mayang beriringan dengan suara hembusan nafas teratur dari si kecil di pelukannya. Mayang mengecup lembut dahi Ziel dan kembali terharu.
"Beginikah rasanya bila aku masih memilikinya, Tuhan?" sebutnya dalam hati, lalu kembali pada nalarnya tentang Ibu Ziel.
Setiap orang tahu, kalau Biantara Heldana yang berstatus lajang dengan seorang anak bersamanya. Siapa Ibu Ziel yang sebenarnya? Kenapa anak sekecil ini hanya tumbuh bersama Ayahnya saja. Itulah yang sedang berputar di benak Mayang. Lalu kagum dengan Bian yang bisa mengurus anaknya sendiri tanpa bantuan wanita di sampingnya.
Namun, dengan epat Mayang menepis pikiran tersebut, dan lebih memilih tidak mau tahu tentang masalah mereka, terlebih masalah Bian si Ceo besar tempatnya bekerja.
Saat akan terlelap, benaknya tiba-tiba teringat para anak buahnya yang ada di luar. Terkekeh sendiri ia membayangkan sedang apa mereka semua di luar sana. Tergerak hati untuk menghubungi mereka dengan alat pemanggil miliknya yang ada di laci meja nakasnya, jadi Mayang bangkit dan duduk di pinggir ranjang. Namun, dengan cepat ia sadar, kalau di rumahnya saat ini, ada orang dewasa lain selain dirinya.
"Dasar ceroboh, hampir saja aku melupakan orang itu. Hah!" keluhnya dalam hati. Lalu Mayang bangkit ke arah dapur untuk mengambil air minum. Sudah tidak lama bernyanyi, membuat tenggorokkannya terasa kering. Saat melintasi Bian yang terbaring di sofa, Mayang berhenti sebentar di sana untuk melihat wajah Bian saat tidur.
Matanya terlalu terpancing untuk terus menatap dan mengagumi wajah ciptaan Tuhan yang terukir tampan ini. Hingga tak sadar tubuhnya sampai membungkuk memperhatikan ketampanan sempurna Bian.
"Sudah puas memandangku?" suara Bian keluar bersamaan dengan matanya yang terbuka. Mayang kaget, refleks ia menegakkan tubuhnya dan mundur selangkah, tapi sayang kakinya tersangkut dan tubuhnya oleng ke belakang. Beruntung Bian langsung menarik pinggang Mayang dengan cepat, hingga tubuh Mayang bertabrakan dan menindih Bian di bawahnya.
Kini wajah mereka hanya berjarak lima sentimeter saja. Kedua mata saling bertatap. Deruan nafas keduanya terhembus tak beraturan. Dan detak jantung mereka dapat terdengar jelas, berdetak kencang seakan menabuh genderang perang.
Mayang yang berusaha bangkit dari pelukan Bian, tidak bisa melawan rengkuhan tangan kekarnya, sampai tidak sengaja wajah Mayang jatuh dan menempelkan bibirnya dengan bibir milik Bian.
Cup!
Kecupan lembut yang terjadi tiba-tiba dan berselang lama antara Mayang dan Bian terjadi. Mayang semakin melebarkan matanya, melihat sorot mata Bian yang sendu. Mayang langsung tersentak dan bangkit secara kasar dari tubuh Bian saat pahanya merasakan sentuhan benda keras menonjol di sana.
"Kau!" Mayang berseru pada Bian sambil menutup bibirnya. Ia tahu, kalau tadi yang menyentuh pahanya adalah benda sensitif milik Bian yang tergugah.
"Ada apa Nona? Kenapa kamu yang kaget? Bukankah harusnya aku yang kaget dan rugi, karena kamu sudah mencuri ciuman dariku. Ish!" Bima berdesis menunjukkan wajah berpura-pura telah kehilangan sesuatu yang berharga dari hidupnya.
"Apa dia bilang? Aku yang mencuri ciumannya? Hey, di sini aku yang rugi, itu ciuman pertamaku! Orang ini benar-benar gila!" umpatnya dalam hati.
"Eheem… maaf Tuan, apa anda tidak salah? Siapa yang mencuri ciuman siapa? Bukannya anda yang menahanku dan tubuhku terjatuh lagi hingga ciuman itu terjadi. Harusnya aku yang mengeluh kerugian. Itu ciuman pertamaku, dan karena satu kecerobohan aku menghilangkannya. Haishhh!" Mayang menepuk dahinya sendiri.
"Ya sudah, mari kita ulangi dengan benar. Aku tidak keberatan kalau harus mengulanginya dengan sungguh-sungguh. Ayo, kita mulai!" dengan wajah tampan berseringai licik, Bian tersenyum pada Mayang.
"Apa?!"