Lima Tahun Kemudian.
Di lantai atas koridor Bar Starnight yang sepi. Terlihat Mayang dengan wajah memerah karena telah minum sepanjang malam untuk menemani beberapa investor yang akan mengikat kerja sama dengan perusahaan milik keluarganya.
Setelah kepulangan Mayang dari luar negeri, Mayang menjadi assisten dari sekertaris Dewina bernama Luna. Seorang gadis tua, yang mengabdikan diri untuk melayani keluarga Reksa menjalankan perusahaan keluarga. Dan kini, ia mendampingi Dewina untuk mengarahkannya menjadi pewaris Reksa Karya.
Reksa Karya adalah perusahaan milik keluarga Reksa yang bergerak di bidang industri pengolahan kayu siap pakai, yang nantinya bisa dijadikan berbagai macam produk berbahan dasar kayu.
Hari ini Mayang yang ditugaskan menemani calon investor agar lebih tertarik untuk bekerja sama dengan Reksa Karya. Di samping Mayang berpenampilan menarik dan juga fasih dalam berbahasa asing, maka dari itu Mayanglah yang diutus Luna sebagai perwakilan.
Sementara Dewina yang tidak begitu tertarik dengan urusan perusahaan tengah sibuk mengejar kariernya sendiri sebagai model dan bintang film. Secara kasarnya, Mayanglah yang menjalankan perusahaan, sementara Dewina tinggal memetik hasil dari keringat dan usaha Mayang.
Kembali ke balkon Bar Starnight. Mayang memegangi kepalanya yang hampir pecah karena minuman yang sudah banyak sekali ia teguk. Mayang ingin sendiri saat ini, mencari udara segar yang bebas di lantai paling atas bangunan berlantai empat ini.
Tak ia sangka, suara ketukan sepatu hak yang terhentak di lantai adalah suara langkah Luna yang mengikutinya. Mayang hanya bisa menghela nafas berat untuk menghadapinya.
"Mayang, apa benar kamu juga ikut audisi untuk pemeran iklan merk sabun yang terkenal itu, besok?" Luna bertanya tanpa basa-basi.
"Ya, lalu kenapa? Mayang menjawab.
"Kamu tidak boleh mengikuti audisi itu." Dengan nada memerintah, Luna melarangnya. Namun Mayang menganggapinya dengan santai seperti sudah terbiasa.
"Bisa beri tahu alasan yang bagus selain Dewina yang hanya akan mengikuti audisi itu?" Tanya Mayang santai, sambil mengangkat satu alisnya pada Luna.
"Kamu ditugaskan perusahaan untuk mengecek stok persediaan bahan mentah yang akan di produksi dalam waktu dekat. Jadi kamu tidak akan kemana-mana dalam dua hari ini." Luna memberi alasan pada Mayang.
"Oh, jadi begitu? Tapi, kalau aku menyelesaikan pekerjaanku sebelum waktu yang ditentukan, maka tidak akan menyusahkan perusahaan, bukan?" Mayang tersenyum simpul memandang Luna yang tidak bisa berkata-kata.
"Dewina yang menyuruh kamu mengatakan ini padaku? Jangan bilang kalau dia takut aku merebut posisinya dalam iklan itu?"
"Apa yang harus seorang Dewina takutkan? Dia artis terkenal yang punya segalanya, dan aku? Aku hanya seorang model kecil yang baru masuk lewat agensi pencarian bakat. Apa yang dia takutkan?"
"Ya, seperti yang kamu katakan, kamu bukanlah ancaman untuk Dewina. Jadi, jangan pernah bermimpi untuk menyainginya." Luna begitu memuja Dewina bak seorang Dewi yang nyata.
"Jadi, apa yang kamu risaukan? Aku bukan ancaman untuknya, kan?"
"Karena kamu dan Dewi adalah tanggung jawabku. Keluargaku berhutang pengabdian pada tetua keluarga Reksa, jadi kalian adalah tanggunganku untuk terus memajukan perusahaan Reksa. Dan aku tidak mau kalau kalian berdua tidak fokus ke perusahaan. Biarlah Dewina berkarier di luar, dan kamu tetap di sini sebagai penyeimbang."
"Karena kamu adalah tanggung jawabku, jadi patuhilah perintahku!" Luna berkata seakan dialah orang tua mereka. Padahal orang tuanya saja tidak perduli dengan keadaan dan nasib Mayang. Mereka hanya butuh tenaga dan keterampilannya saja.
"Wah, kamu memang yang terbaik, Luna! Saat orang tuaku saja tidak peduli dengan keadaanku, dan kamu masih mengakuiku sebagai tanggung jawabmu. Hebat!" Mayang berdecak, sambil memuji Luna dengan senyum menyindir karena aktingnya yang buruk.
"Jangan bertengkar denganku, May! Aku bisa saja membuatmu menyesali karena telah melanggar perintahku. Aku memiliki izin penuh untuk mengaturmu." Selasai bicara, Luna beranjak dari sana dan meninggalkan Mayang seorang diri.
"Hah! Dasar penjilat menjijikkan!" Mayang mencibir Luna yang sudah berjalan menjauhinya.
***
Rasa sakit kepala yang ia rasakan sudah banyak berkurang. Mayang turun dari balkon sampai ke lantai Bar paling bawah. Ia cukup kaget, saat dilihatnya tidak ada seorangpun dalam Bar itu. Mayang berjalan ke pintu utama, dan yah! Pintunya tertutup dan terkunci rapat.
"Kalian mencurangiku lagi, huh? Ini trik paling murahan yang pernah aku lihat." Mayang tahu kalau ini siasat Luna agar ia tidak mengikuti audisi besok. Apa yang tidak bisa dilakukan dengan kekuatan uang?
"Sudahlah! Silahkan kalian nikmati dengan bersenang-senang di atas penderitaanku. Aku malah menikmati trik-trik kecil kalian!" Ia merebahkan tubuhnya di meja Bar yang cukup bersih untuk ditiduri. Mengalaskan kepalanya dengan kedua tangan. Memandang langit-langit bar yang gelap.
"Kenapa kalian tidak berubah sedikitpun? Ini sudah lima tahun berlalu, aku bahkan sudah berubah. Aku bukan lagi Mayang yang bisa kalian remas dan hancurkan seperti dulu." Mayang berucap pelan sambil memejamkan matanya. Mengingat perlakuan mereka yang belum juga berubah padanya.
Di tengah lamunan dangkalnya, telinganya terlalu awas untuk mendengar suara kecil tertahan dari arah meja bartender. Mayang membuka matanya, lalu dengan langkah santai mendekat ke balik meja besar yang pinggirannya berjajar berbagai macam minuman keras.
Ia sedikit tercengang, saat matanya menangkap bayangan anak kecil yang meringkuk gemetar di bawah sudut meja itu.
"Hai manis, kenapa kamu ada di situ?" Tanya Mayang pada anak laki-laki yang sepertinya berusia tujuh tahun. Anak yang tampan dengan kulit yang bersih, juga dengan pakaian yang bagus. Sekali lihat, ia langsung tahu kalau anak ini dari keluarga kaya.
"Orang gila mana yang membawa anak sekecil ini ke sini? Dasar kurang kerjaan! Ayo manis, keluar dari sana!" Mayang menggerutu pada orang tua anak ini, kemudian mengulurkan tangan untuk meraih anak tersebut.
Namun si anak tidak bergerak sedikitpun, Mayang menyerah dan mundur untuk membiarkannya melakukan apa yang anak itu mau.
Hanya sesaat ketika Mayang kembali menghampirinya lagi. Kali ini Mayang juga ikut berjongkok di bawah meja Bartender, namun ia berada di sisi ujung lainnya. Mayang mencoba berkomunikasi dan terus bertanya pada anak itu, dan hasilnya tetap sama. Si kecil tidak mau menjawab.
Dengan suhu ruangan yang dingin dan sinar yang redup, membuat Mayang semakin mengantuk. Namun kantuknya sirna saat telinganya mendengar gemeretak yang beraturan. Dan suara itu berasal dari si anak kecil di hadapannya.
"Kamu takut gelap? Atau kamu kedinginan? Gemeretak gigimu membuatku ingin tertawa! Ayo ke sini, mendekatlah!" Mayang kembali mencoba merayu si kecil, dan tetap saja sia-sia.
Sangat jelas terlihat, pertahanan diri anak kecil itu yang menolak tawaran orang asing, "Bagus, tetaplah seperti itu! Aku tahu kamu takut padaku karena aku asing bagimu. Tapi seperti kataku tadi, mendekatlah kalau kamu takut atau kedinginan. Aku serius ingin menolong!"
Seselai bicara, Mayang menutup matanya untuk tidur. Sebelum terlelap, ia masih sempat menghela nafas mengingat kejadian malam ini.
Luna sudah mengatur dirinya untuk menemani investor yang kuat minum. Ditambah lagi ia dikurung karena tidak boleh mengikuti audisi iklan besok. Dan kini, ia harus tidur di kolong meja Bartender bersama anak kecil keras kepala di sampingnya.
"Hah! Indahnya hidupku malam ini Tuhan, hehe!" Masih sempat ia bersyukur dan tertawa, sebelum benar-benar lelap dalam tidurnya.
Bersambung…