Mayang terlelap sekejap dan tak lama ia terbangun dengan kakinya yang keram. Ia mencoba bergerak namun tertahan oleh sesuatu yang seakan mengikatnya. Mayang membuka matanya, dan terlihat si anak kecil keras kepala tadi sedang meringkuk memeluk erat kaki Mayang.
Mayang hampir tidak bisa menahan tawa. Sekeras apapun wataknya, anak itu tetaplah seorang anak kecil yang memerlukan perlindungan. Bila diibaratkan bagai seekor anak kucing terlantar, yang akan waspada bila didekati. Dan bila sedikit saja ia menerima kebaikan, maka si anak kucing langsung mengikuti si orang baik seperti mencari perlindungan.
Mayang tidak bisa untuk tidak menyentuh si kecil yang lucu dan menggemaskan ini. Tangannya perlahan ia daratkan menyentuh dahi si kecil. Mayang agak tersentak, merasakan dahi anak itu yang terasa panas.
Langsung saja ia memeriksa bagian tubuh yang lain. Tangan, kaki, bahkan tubuh si kecil ia cek keadaannya. Dahi dan seluruh tubuhnya panas, namun telapak tangan dan kakinya terasa dingin.
"Kamu sedang demam?"
"Ini gawat! Kalau kamu tetap di sini dengan keadaan seperti ini, kamu bisa bahaya, Nak! Si perawan tua itu pasti tidak akan membiarkan pemiliknya membuka bar ini sampai besok." Ucapnya. Lalu Mayang memikirkan solusi cepat untuk menolong anak itu.
Perlahan Mayang melepaskan dekapan anak kecil tersebut yang memeluk erat tubuhnya. Membuka blazer abu-abu sebawah pinggang yang masih melekat di tubuhnya. Menyelimuti tubuh bagian bawah si kecil yang kedinginan.
Mayang membasahi sapu tangan yang ia keluarkan dari saku blazernya tadi dan menempelkan di dahi si kecil. Setelah usaha pertolongan pertama untuknya, Mayang kembali memposisikan tubuhnya di samping si kecil.
Menggenggam tangan mungil itu, menempelkannya di pipi Mayang, agar telapak tangan yang dingin itu menjadi hangat. Menepuk lembut lengan si kecil agar tidurnya lebih nyaman.
Mata yang memang sudah sangat mengantuk itu, tertutup rapat. Setengah memeluk tubuh mungil di sampingnya.
***
Tusukan lembut di pipi Mayang menggugah tidurnya. Mata Mayang mengerlip perlahan. Berat rasa matanya hendak terbuka. Kepala Mayang serasa berputar ketika matanya terbuka sempurna.
Si kecil terlihat terduduk di samping Mayang. Entah apa maksudnya, ia mengelap keringat dingin yang ada di dahi Mayang.
"Oh, ada apa? Kamu sudah tidak demam?" Pertanyaan pertama Mayang ketika ia terbangun, menghawatirkan keadaan si kecil. Namun si kecil menjawab pertanyaan Mayang dengan gelengan di kepalanya.
"Kenapa lagi? Kamu masih sakit? Hatchi!" Sambil mencoba bangkit dan duduk, Mayang kembali menanyakan kabar anak itu, namun ia terlihat bersin-bersin.
"Sepertinya aku yang sakit sekarang. Iya, kan?" Ucapnya sendiri dan anak itu mengangguk cepat.
"Kamu menghawatirkan aku bocah kecil? Aduh, kamu sungguh manis. Tapi tenang saja, tubuhku tidak selemah yang kamu kira." Ucapnya lagi, sambil mengangkat satu lengannya ke atas dan memamerkan otot kecilnya yang terlihat padat.
Setelah kembali sadar, walau ia harus menahan sakitnya tubuh dan kepalanya saat ini. Mayang menoleh ke luar meja bartender tersebut. Ia melangkah melihat sekeliling bar, kemudian melirik jam tangannya, yang sudah menunjukkan waktu sudah hampir tengah malam.
"Kasihan sekali anak ini kalau tetap harus di sini. Kalau aku bisa saja tidur di mana-mana, tapi dia masih kecil." Gerutunya sendiri sambil terus memperhatikan sekitar.
Ia mendogakkan kepalanya. Matanya tertuju pada celah atap yang sedikit terbuka. Karena penerangan di bar ini sangat minim, yang menembuskan cahaya dari luar ke dalam. Mayang yakin kalau itu adalah sinar lampu jalan yang menerangi area sekitar.
Mayang mendekati celah atap dengan bertumpu pada beberapa kursi yang ditumpuk hingga sampai ia raih, "Hmm, sepertinya ini bisa dibuka. Biar aku coba." Ucapnya yakin, dan kemudian ia memeriksanya.
"Bruuaagh!" Dengan satu pukulan dari kepalan tangannya, atap yang terbuat dari genteng tersebut terbuka. Kembali ia mencoba ke genteng sebelahnya, namun tangannya terlalu lemah saat ini. Hanya satu genteng saja yang bisa terbuka dan itu hanya seukuran tubuh si anak kecil.
"Hai, anak manis, kemarilah! Aku bisa membantu kamu keluar dari sini!" Mayang memanggil anak itu, namun hanya gelengan kepala yang diterima Mayang.
"Ayolah, tolong bicara! Kalau kamu hanya diam saja, bagaimana aku bisa tahu apa yang kamu fikirkan? Sudah cepat ke sini! Kamu akan baik-baik saja!" Tanggapan anak itu masih sama, hanya terdiam menggeleng dan menatap tajam pada Mayang.
"Kamu tidak ingin keluar dari sini?" Anak itu menunduk terlihat murung.
"Kamu ingin bersamaku di sini?" Dia mengangguk singkat.
"Kamu anak yang baik! Kamu ingin menemaniku di sini padahal kamu sendiri ketakutan."
"Terima kasih anak manis, aku terharu. Tapi, di sini berlama-lama tidak baik untuk tubuh kamu. Dan lagi, aku dengar bar ini baru akan dibuka setelah dua hari."
"Dan aku tidak ingin kamu terus menunggu di sini. Jadi, kita harus keluar. Ayo, naiklah sekarang, aku akan memegangi kursinya. Dan kalau sampai di luar, tolong cari bantuan untuk membuka pintu bar ini. Aku akan menunggu kamu, okay?"
Mayang mencoba bernegosiasi pada anak itu. Si kecil nampak berfikir, Mayang yang sudah tidak sabar langsung mengangkat tubuh anak kecil tersebut hingga sampai menaiki puncak susunan kursi tadi.
Si kecil menoleh ke arah Mayang yang ada di bawahnya. Mayang dapat merasakan kalau anak kecil itu peduli padanya.
"Naik dan keluarlah! Cari keluargamu dan pulang. Jangan hiraukan aku, aku aman di sini." Sambil tersenyum, Mayang menuruhnya pergi. Namun, si kecil kembali menurunkan kakinya dan hendak turun, dengang cepat Mayang mendorongnya ke atas lagi.
"Apa yang kamu lakukan? Okay, aku tidak nyaman di sini, jadi kalau kamu sudah menemukan orang yang kamu kenal, tolong bukakan pintu bar ini untukku! Begitu? Kamu sudah puas? Itukah yang kamu mau?" Mayang sudah habis akal melihat tingkah bocah satu ini.
Anak kecil tersebut tersenyum dan mengangguk pada Mayang dari atas atap tempatnya duduk.
"Yah, pergilah anak manis! Cari bantuan, ya! Semangat!" Mayang membalas senyumnya sambil melambaikan tangan memberi salam perpisahan, lalu mengepal tangannya untuk menyemangati si kecil.
Mayang berhasil mengirim anak keccil itu keluar dari Bar dengan banyak kesusahan. Kepalanya semakin berat dan berputar. Tubuhnya kehilangan kendali. Refleks tangannya bertumpu ke susunan kursi tadi.
Namun sayang, karena tubuhnya yang sudah sangat lemas, bukannya bertumpu pada kursi, malah Mayang menarik tumpukan kursi tersebut dan jatuh menimpanya setelah tubuhnya lebih dulu tergeletak di lantai, "Bruuagh!"
Mayang bergerak perlahan, dengan menahan sakit di tubuhnya, ia menyingkirkan satu persatu kursi yang menimpanya. Mayang dengan banyak luka di tubuhnya masih bisa tersenyum miris.
"Hai Tuhan, apa aku akan mati di sini? Aku bahkan belum membalas perlakuan mereka semua padaku? Tapi setidaknya aku berterima kasih, hidupku berguna. Sebelum mati aku masih bisa menyelamatkan anak itu."
"Kalau anakku masih hidup, mungkin sekitar dua tahun di bawah anak manis tadi, bukan? Kalau kamu ingin aku mati, bisakah aku bertemu dengan anakku di sana?" Ucapnya pelan sambil menahan kantuk dan sakit yang teramat. Mayang terpejam dengan lelehan air dari sudut matanya.
Bersambungā¦