"Wah ini anak asal ngejeplak aja mulutnya. Duh gusti... Kok bisa aku kenal sama makhluk yang begini."
Lubis dan Ardy ketawa ngakak melihat Angela yang cemberut digoda Al.
Mereka berdua pun kemudian pamit dan meninggalkan Angela yang sendirian menjaga Lubis.
"Dy, gua punya rencana. Ceritanya ini mulai besok kan gua di skors nih, biar gua aja yang akan menjaga Lubis sehari-hari selama dua minggu ke depan."
"Kenapa dua minggu?"
"Tadi gua tanya sama perawat itu, kapan Lubis boleh pulang? Dia jawab perkiraan dua minggu lagi. Perawat itu juga bilang kalau Lubis harus selalu dibuat bahagia dan kaga boleh mikir berat karena bisa berefek ke otaknya. Nah, daripada gua gak ada kegiatan, kan bisa nih gua pake menjaga Lubis."
Ardy tersenyum melihat ketulusan pertemanan yang ditunjukkan sohibnya tersebut. Dalam pikirannya, dia juga ada rencana lain jika demo yang mereka lakukan tidak mendapatkan hasil.
"Lu emang sahabat terbaik Bro. Gua belajar banyak tentang arti kesetia kawanan dari Lu. Gua janji, sampai kapan pun Lu akan jadi sahabat gua."
Ardy mendekati Al tapi langsung ditepis.
"kalau Lu mau ngerangkul gua lagi, gua banting Lu."
"Ups, sorry bapak kepala suku. Gua kelepasan lagi, saking terharunya,"
ucap Ardy lalu tertawa lepas
Keesokan paginya, terlihat 17 siswa berkerumun di depan kantor sekolah. Meskipun sudah masuk jam pelajaran, mereka tetap diam dan tidak beranjak sedikitpun dari tempat mereka berdiri.
Salah seorang guru wanita yang mengetahui hal tersebut kemudian menghampiri mereka.
"Anak-anak, apa yang kalian lakukan di sini? Bukankah sekarang sudah waktunya jam pelajaran?"
"Mohon maaf Bu, kami ingin bertemu Bapak kepala sekolah. Kami tidak akan masuk kelas jika kami tidak bisa ketemu beliau!" Ardy mewakili teman-temannya berbicara.
"Memangnya ada apa Anak-anak?"
"Bu Lusi, kami mau protes atas sanksi yang diberikan kepada Al. Tidak sepantasnya Al dihukum seperti itu, Bu."
Guru wanita yang tidak mengetahui perihal kejadian tersebut mencoba mendinginkan suasana.
"Begini anak-anak, hal ini bisa dibicarakan dengan baik-baik. Jangan seperti ini caranya. Sekarang kalian masuk dulu ke kelas ya."
"Kami tidak akan masuk kelas sebelum bertemu bapak kepala sekolah," jawab Ardy dan teman-temannya serempak.
Guru wanita tersebut pun akhirnya mengalah dan memberitahu kepala sekolah tentang demo yang dilakukan beberapa siswa SMA tersebut.
"Mohon maaf pak mengganggu waktunya sebentar."
"Iya Bu Lusi, ada apa?"
"Begini Pak, di depan ada beberapa siswa yang memaksa ingin bertemu Bapak. Mereka tidak akan masuk kelas jika belum bertemu Bapak."
"Ada-ada saja ini. Baiklah ayo kita kesana Bu!"
Balas kepala sekolah tersebut lalu beranjak dari kursinya dan berjalan menuju depan kantor sekolah.
"Ada apa ini anak-anak? Kalau ada permasalahan tidak usah seperti ini! Sekarang katakan apa yang hendak kalian bicarakan dengan Bapak!"
Ardy kemudian berbicara mewakili teman-temannya, "Begini pak, kami mau protes atas sanksi skors dua minggu yang diterima teman kami, Al."
"Oooh... tentang itu. Sekarang kamu Ardy dan Ando ikut ke ruang bapak. kita bicarakan di sana. "
"Kalian tunggu di sini. Jangan masuk kelas dulu sebelum saya keluar dan membawa hasilnya," ucap Ardy kepada 15 temannya.
Mereka berempat pun kemudian berjalan menuju ruang kepala sekolah.
"Terus alasan kalian apa protes tentang skors yang diberikan kepada Al?"
"Skors kepada Al itu tidak adil, pak!"
"Tidak adil bagaimana? Bukankah sudah jelas kalau Al bersalah melakukan tawuran dengan siswa STM. Terus juga saya mendapat laporan dari Pak Beni kalau Al berani melawan dan bahkan menantang Pak Beni berkelahi."
"Saya akan menjawab satu persat, Pak. Pertama, yang tawuran tidak hanya Al. saya berdua dan mereka yang di luar juga ikut tawuran. Kenapa hanya Al yang di skors? Berikutnya tentang Pak Beni. Waktu itu Pak Beni mau menampar Al, tapi Al bisa menangkap tangan Pak Beni sebelum mengenai pipinya."
Ardy mengambil napas perlahan lalu melanjutkan ucapannya, "Al saat itu mengatakan jangan dengan kekerasan cara mendidik siswa." Lanjutnya.
"Bagaimana kamu bisa tahu dengan detil seperti itu?"
"Karena saya mencuri dengar saat itu, Pak."
"Begini Ardy, kalian ini aneh. Sudah bagus yang di skors cuma Al, kenapa kalian protes?"
"Kami tidak aneh, Pak! Yang aneh itu Bapak dan jajaran guru di sini. Kami tawuran itu menjaga harkat dan martabat anak-anak SMA kita. Apa bapak tahu kalau anak-anak SMA ini sering menjadi target pemalakan dari siswa STM? Apa bapak tahu kalau Lubis dihajar siswa STM sampai gegar otak ringan dan opname di rumah sakit? Terus apa bapak dan jajaran guru sekolah ini ada yang menjenguk Lubis di rumah sakit? Tidak pak, tidak ada sama sekali. Saya merasa, tidak ada satu pun guru di sekolah ini yang punya rasa empati!" Berapi-api Ardy membeberkan unek-unek di dalam hatinya.
"Apalagi si perjaka bapuk itu selalu menggunakan kekerasan ketika mendidik siswa yang melakukan kesalahan," tambahnya
Kepala sekolah hanya menunduk mendapat 'tamparan' dari siswanya.
Dia juga tersenyum geli dengan julukan yang diberikan Ardy kepada Pak Beni, guru BP.
"Untuk pemalakan yang dilakukan siswa STM itu, terus terang kami tidak tahu. Sedangkan mengenai Lubis, saya pribadi mohon maaf belum bisa menjenguknya sampai sekarang. Saya berjanji pihak sekolah akan segera menjenguk Lubis di rumah sakit."
"Terus tuntutan apa lagi yang akan kalian sampaikan?"
"Kami mau skors yang diberikan kepada Al dicabut, Pak! Apa Bapak lupa kalau UNAS tinggal dua bulan lagi. Kalau sampai di skors dua minggu, Al bisa jauh tertinggal mata pelajaran."
"Tuntutan kalian tidak bisa langsung saya putuskan sekarang. Setelah ini saya akan menemui Pak Beni untuk membahas hal ini. Sekarang kalian masuk kelas dulu dan ikuti pelajaran."
"Baik Pak, tapi kami tidak mau masuk kelas dulu sebelum ada keputusan dari Bapak. Kami akan menunggu di luar saja. Terima kasih Bapak mau mendengarkan keluhan kami, dan kami harap Bapak memutuskannya dengan bijaksana."
Setelah pamitan, Ardy dan Ando pun keluar dari ruang kepala sekolah menuju ke tempat teman-temannya menunggu.
"Bu Lusi, tolong panggilkan Pak Beni sebentar."
"Baik Pak," Jawab Bu Lusi.
Bu Lusi kemudian keluar dari ruangan kepala sekolah.
Lima menit kemudian Pak Beni sudah berada di ruang kepala sekolah.
"Pak Beni, di depan ada belasan siswa yang berdemo terkait skors yang Pak Beni berikan kepada Al. Setelah saya mendengar alasan mereka, saya merasa mereka ada benarnya juga, Pak."
Pak Beni yang terkenal temperamental dan harga dirinya tinggi pun langsung menyahut ucapan kepala sekolah.
"Ada benarnya bagaimana Pak!? Sudah jelas siswa badung itu bersalah telah tawuran dan berani menantang saya berkelahi, kenapa bapak bilang ada benarnya!?"