Sementara Angie terbuai dengan mimpi nya yang indah, Aaron berjalan linglung menuju mobilnya yang diparkir sejauh satu blok dari rumah Angie.
"Anda baik-baik saja?"tanya galak seseorang, sambil menyorotkan senter ke arah wajahnya. Aaron mengangkat tangannya melindungi mata dari sinar yang menyilaukan. "Anda mabuk ya?"
"Tidak pak." Aaron berusaha melihat siapa yang ada dibalik sinar itu.
"Ini mobil anda?"tanyanya sambil mematikan senternya. Aaron tidak menyadari jika dirinya sudah berada di dekat mobilnya. Aaron mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan pak satpam.
"Ya pak. Kenapa?"
"Mobil ini sudah terparkir disini lebih dari tiga jam. Dan tidak ada yang tahu ini mobil milik siapa. Saya tidak mau ada penyusup di kompleks sini,"omel pak satpam yang mempunyai kumis hitam tebal itu. Aaron mengangguk malas.
"Anda bertamu di rumah siapa?"
"Rumah Angie, pak."
"Angie siapa?"
"Angie di blok sebelah."
"Sebelah mana?"
"Sebelah sana,"jawab Aaron yang mulai kesal, sambil menunjukkan arah dengan tangannya.
"Sana mana?"
"Ya disana, pak. Sudahlah pak, saya mau pulang."
"Baik. Lain kali jangan lama-lama kalau bertamu ke rumah orang, apalagi sampai tengah malam. Cepat pergi,"usir pak satpam itu sambil sekali lagi menyorotkan lampu senternya lagi ke arah wajah Aaron.
"Ya pak." Aaron menggerutu sambil melindungi matanya dari lampu senter itu.
Seperti robot, Aaron membuka pintu mobil, memasukkan kunci dan menghidupkan mobil. Dengan otomatis, tangannya memegang kemudi dan melajukan mobilnya.
Ingatan nya kembali ke kejadian tadi. Hatinya panas saat melihat Angie turun dari mobil pria bule itu dan tersenyum bahagia. Aaron melampiaskan hasratnya, ciuman amarah dan cemburunya pada Angie. Ada perasaan memiliki yang sangat besar terhadap Angie.
Nada dering ponsel.
Aaron mengambil dan memasang ear phone. "Halo.. Lisa."
"Ada dimana sayang?" Suara lembut dari seberang, mengalun manja.
"Di jalan."Aaron menjawab ketus.
"Mau mampir?"
Aaron melirik jam tangannya. Pukul sebelas malam lebih. "Hari ini aku capek. Aku mau pulang."
"Begitu." Suara kecewa Lisa tidak mempengaruhi Aaron.
"Besok saja kita ketemuan, bisa? Ada yang ingin aku bicarakan,"kata Aaron dengan dingin.
"Baiklah. Di rumahku?"tawar Lisa manja.
Aaron terdiam sejenak. "Baiklah."
Telpon putus.
Aaron mengambil ponsel di dasbor mobil dan menekan sebuah nomor. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan.."
Aaron melepas ear phone dan membantingnya. "Sial."
Angie benar-benar membuatnya frustasi. Besok dia akan memutuskan hubungannya dengan Lisa supaya dirinya bisa fokus mengejar dan mendapatkan Angie.
Aaron menekan gas mobil kuat-kuat. Mobilnya melesat dengan cepat. Bahkan melanggar lampu merah di lalu lintas. Aaron tidak peduli. Kecepatannya seratus dua puluh km per jam.
Tiba-tiba.... Ckiiiiit...
Aaron mengerem penuh hingga ban nya mengeluarkan asap. Aaron tidak melihat ada sebuah mobil yang terparkir di bahu jalan. Hampir saja dia menabrak bagian belakang mobil itu yang ternyata adalah mobil patroli polisi yang sedang terparkir. Hanya tinggal lima senti lagi jaraknya dari mobil patroli itu.
Tabrakan yang hampir terjadi itu membuat Aaron terengah-engah dan jantung berdebar sangat kencang. Badannya menjadi lemas. Kepalanya disandarkan pada kemudi mobil.
Tok..tok..tok..
Aaron mendongak dan menoleh ke arah jendela. Seorang polisi mengetuk kaca jendela mobilnya. Aaron menurunkan kaca itu. "Ya pak?"
"Bisa lihat surat-suratnya?"tanya polisi itu. Aaron segera membuka laci di dasbor mobil dan mengambil surat-surat mobilnya.
"Ini pak,"jawabnya sambil menyerahkan surat-surat itu. Aaron menyisir rambutnya dengan kesal, sementara polisi itu memeriksa surat-surat nya.
"Bapak silakan ikut kami ke kantor polisi,"perintah nya pada Aaron. Polisi itu menyita surat-surat nya.
"Kenapa?"tanya Aaron heran. Dia merasa tidak melakukan kesalahan. Oke, dia memang salah karena mengebut, tapi kan tidak sampai menabrak mobil patroli itu. Cukup diberikan surat tilang saja, kenapa harus ke kantor polisi?
"Silakan masuk ke mobil patroli. Nanti kami jelaskan di kantor polisi. Mobil bapak ditinggal saja, nanti ada orang yang akan membawanya ke kantor polisi."
"Heeehhh!!??"
----------
Ethan baru saja selesai mengintrogasi tersangka pembunuhan tetangga yang terlibat perebutan televisi. Ethan berjalan melintas sel penjara dan tertegun menatap seorang pria yang familiar. Dia berhenti dan memperhatikan pria yang terlihat frustasi itu. Tanpa sadar, kakinya melangkah mendekati sel penjara itu.
"Mirip sekali. Benarkah?"batin Ethan ragu. Ethan terkejut melihat seorang pria yang sangat mirip dengan kedua keponakan kembarnya. "Tidak mungkin."
Kemudian dilangkahkan kakinya menuju meja petugas yang berjaga. "Siapa dia?"tanya Ethan sambil mengedikkan bahunya ke arah pria yang memiliki wajah serupa dengan keponakan nya.
"Dia? Orang gila yang hampir menabrak bemper belakang mobil patroli. Juga melaju di kecepatan seratus dua puluh kilometer per jam. Baru saja masuk sel."
"Nama?"
"Namanya.. sebentar kulihat dulu,"jawab polisi jaga itu sambil melihat setumpuk berkas di mejanya. "Aaron Wibisono, seorang pengacara."
"Begitu,"gumam Ethan sambil terus memperhatikan pria yang mondar mandir sambil menelpon.
"Kenapa?"tanya petugas jaga penasaran. "Apa ada masalah?"
Ethan hanya mengangkat bahu. "Tidak. Tidak pa-pa." Ethan berjalan dan menghampiri sel penjara itu lalu mengulurkan tangan melewati jeruji penjara. "Berikan ponselnya. Sudah habis waktu menelpon."
Melihat ada tangan yang terulur, membuat Aaron berhenti bergerak dan menatap bengong pria yang berdiri diluar sel penjara nya. "Secepat itu? Aku belum bisa menghubungi siapa pun,"keluh Aaron sambil membanting ponsel di telapak tangan Ethan.
"Maaf. Itu adalah peraturan kami. Sebaiknya kamu tidur saja. Toh besok kamu juga akan dibebaskan,"balas Ethan dingin membuat Aaron meradang.
"Sembarangan. Aku tidak mau tidur disini,"teriak Aaron marah dan langsung menarik kerah jaket Ethan sehingga Ethan meringis saat badannya menubruk jeruji penjara dengan cukup keras.
"Lepaskan tanganmu,"perintah Ethan geram. Aaron bergeming. Keduanya saling bertatapan tajam. "Atau kamu mau dituntut pasal tambahan karena menyerang petugas polisi?"
Aaron segera melepaskan Ethan dan mendorongnya menjauh. "Kurang ajar. Sebaiknya bebaskan aku segera."
Ethan mengamati Aaron yang terus menerus berjalan berputar-putar di ruang sel yang sempit itu. "Mirip. Bisa dibilang dia adalah papa si kembar,"batin Ethan yakin.
Aaron membalas tatapan Ethan yang terus mengamatinya seperti diteliti dibawah mikroskop. Perasaannya tidak tenang diperhatikan polisi berjaket kulit itu. Pandangan nya tajam dan menyelidik. "Kenapa menatapku seperti itu?"
Ethan menggeleng dan tersenyum misterius, membuat Aaron bergidik. "Kamu bukan gay kan?" tanya Aaron yang curiga dengan pandangan pria berjaket kulit itu melihatnya intens dari atas sampai ke bawah.
"Bukan urusanmu."
"Cepat keluarkan aku,"geram Aaron.
"Kamu kan pengacara. Harusnya tahu kalau kamu membutuhkan penjamin untuk bisa segera bebas dari penjara,"jawab Ethan ketus. Dia bertambah kesal karena selain badannya yang sakit terbentur jeruji penjara, juga karena dirinya disangka gay.
"Pinjam ponsel lagi. Aku akan menghubungi satu orang lagi."
"Maaf waktu habis."
Bersambung...