Chereads / The Miracle of Death / Chapter 21 - Moonlight

Chapter 21 - Moonlight

Perasaan apa ini, dia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sejak dulu. Tapi kenapa, kenapa perasaan ini muncul begitu saja di saat dirinya sudah menyerah akan perasaan ini. Sebenarnya kenapa??

Kenapa dia harus merasakannya sekarang, kenapa tidak sejak dulu. Sejak dia masih mengharapkannya perasaan ini memenuhi dirinya. Kenapa baru sekarang di saat dia ingin mencapai semua keinginannya. Rasanya sangat sesak dan seperti sebuah hal yang tidak berguna untuk dia rasakan.

Tapi jika bisa memilih, dia ingin merasakannya sejak dulu. Mungkin saja dia tidak akan melakukan semuanya ini, melakukan tindakan seorang antagonis yang jahat pada kedua saudaranya. Padahal mereka lahir dalam rahim yang sama, tapi perasaan cemburu yang memenuhi rongga hatinya membuatnya seperti ini.

Seperti seorang penjahat yang menginginkan sebuah kematian lawannya. Padahal dia hanyalah seorang anak yang menginginkan kasih sayang. Tapi semua itu sirna akan sebuah dendam dan cemburu. Andai saja dia bisa menekan semua perasaan itu, apakah dia masih bisa merasakan kebahagiaan.

Kebahagiaan setelah tau ayahnya Sang Kaisar memberikan sebuah perhatian padanya. Dia tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari sebuah perhatian dan sebuah ejekan. Tidak tau itu, dan kali ini yang dia dengar adalah sebuah perhatian yang lebih besar dengan suara lembut.

"Akh.."

Dia berteriak dengan menyentuh dada kirinya yang terasa begitu sesak. Apakah ini adalah karma yang datang padanya karena berbuat jahat. Memikirkan hal itu saja sudah membuat dirinya muak apalagi merakan sebuah karma itu sendiri. Dia pasti akan terlihat seperti orang bodoh yang tidak tau apa-apa selain kesalahannya.

Sebuah cahaya hijau muncul menunjukkan sebuah hewan suci dengan wujud burung elang. Burung itu terlihat cantik dan besar tapi orang di sana hanya melirik sekilas sebelum menatap ke arah lantai lagi.

"Salam pada Tuanku" ucap burung itu seakan dirinya lebih rendah dari manusia di hadapannya itu

"Apa yang kau lakukan!! Aku tidak memanggilmu sekarang!!"

Dia kembali berteriak seakan hal itu adalah kebiasaan baginya. Tapi burung berwarna hijau seperti sebuah kumpulan cahaya itu terlihat biasa saja. Tidak ada perasaan sakit hati karena di anggap tidak penting. Karena dia tau dirinya hanyalah sebuah kumpulan kekuatan bagi pria di hadapannya.

"Baik Tuanku" ucapnya pelan dengan kepala kecil yang menunduk

Kumpulan cahaya itu menghilang begitu saja meninggalkan pria di sana sendirian. Pria itu terlihat tidak baik-baik saja dengan wajah yang pucat, tapi dia seakan tidak peduli dan hanya duduk di atas lantai dengan pandangan yang kosong.

Suara ketukan dari pintu kamarnya membuat pria itu menoleh, raut wajah seakan kehilangan semangat hidup itu terus dia tunjukkan. Dengan kedua kakinya dia berdiri dan langsung melepaskan jubahnya dan sepatunya. Dia terlihat tidak peduli akan suara ketukan yang masih saja terdengar di pintunya.

Tubuh pucatnya terbaring di atas ranjang miliknya. Manik hijaunya menatap ke atas langit-langit kamarnya seperti sebuah hal yang sangat penting dari pada ketukan di pintu kamarnya. Dia merasakan suara yang terlihat khawatir di sana, tapi dia tidak peduli dan menutupi tubuhnya dengan sebuah selimut.

Maniknya terpejam dengan tubuh meringkuk di balik selimut, air matanya jatuh dengan dada kirinya yang terus dia tekan. Dia seperti seorang penjahat sekarang, penjahat yang tidak bisa merasakan sebuah kekhawatiran. Kali ini dia ingin melupakan semuanya, semua yang sudah dia lakukan selama ini.

Dengan tidur mungkin dia bisa melupakan semuanya, iya dia pasti bisa. Maniknya semakin tertutup rapat dengan bibir yang berusaha menahan suara pilu yang terdengar pelan. Biarkan dia tidur kali ini saja dengan melupakan semuanya.

Pintu terbuka memperlihatkan seorang wanita dengan gaun tidur yang tertutup sebuah scraf. Rambut coklat blonde yang tergerai dengan manik berwarna abu gelap. Maniknya menatap sebuah selimut yang menutupi seseorang di sana. Langkah wanita itu pelan namun dia terlihat mendekat dengan tatapan nanar.

Walau tidak mengetahui semuanya, tapi dia yakin bahwa putra kesayangannya ini baru saja bertengkar dengan Kaisar. Dia yakin akan hal itu, rasanya dia hanya bisa menonton tanpa bertindak apa pun saat tau Kaisar mulai menyayangi si kembar. Jika saja dia punya wewenang untuk menyingkirkan si kembar dari tahta pasti dia akan melakukan hal itu.

Tapi dia hanya penonton yang hanya bisa memberi sebuah semangat pada anak pertamanya. Katakan bahwa dia buruk hanya karena menyayangi putra pertamanya. Tapi pasti ada alasan dari setiap alasan yang dia lakukan sejak dulu dan sekarang. Sebagai seorang Ratu dan Ibu dia hanya bisa mengelus puncak kepala Putra Mahkota.

Dengan ucapan dan harapan yang mengatakan sebuah kemakmuran dan kebahagiaan abadi. Hanya itu, manik abu gelapnya tertutup dengan wajah menunduk. Dia kembali berharap, berharap Putra Mahkota anak yang dia sayangi supaya bisa memenangkan tahta.

'Ibu akan selalu mendukungmu'

Maniknya kembali terbuka dan mulai melangkah pelan menuju pintu kamar yang terbuka sedikit. Dia kembali menoleh menatap gumpalan selimut itu sebelum menutup pintu kamar.

Selimut terbuka memperlihatkan Putra Mahkota yang terlihat tidak baik-baik saja. Maniknya memerah sehabis menahan tangis. Perasaannya menjadi lebih baik setelah ibunya atau sang Ratu datang berkunjung. Walau dia tidak tau apa yang ingin Ratu katakan tapi Putra Mahkota tau bagaimana Ratu yang selalu mendukungnya.

Untuk sekarang itu semua sudah cukup dan dia langsung menuju ke meja kerjanya. Walau masih pucat tapi dia tidak bisa menunda pekerjaannya, bagaimanapun dia adalah seorang Putra Mahkota yang akan menjadi Raja di Kekaisaran ini.

Ruangan kerja yang saling terhubung dengan kamar menjadi lebih mudah baginya untuk bolak-balik. Tubuhnya terlihat santai di atas kursi kerjanya, maniknya tertutup seakan menikmati kegelapan di ruangan itu. Maniknya terbuka memperlihatkan sebuah mata yang terlihat cantik dan mempesona.

Kursi itu dia putar menatap jendela yang terbuka lebar. Jendela yang terbuka dengan sinar bulan yang mengintip masuk melalui kaca tembus pandang itu membuat Putra Mahkota menyeringai. Kali ini dia tidak akan memikirkan ucapan Kaisar lagi, bagaimanapun semuanya memang tidak akan pernah bisa berubah.

Ini adalah takdir yang digariskan untuk keluarga Kekaisaran. Tidak akan ada cahaya yang menerangi Kekaisaran, bahkan dirinya sudah melihat hal itu sejak masih berumur lima tahun. Umur yang masih muda untuk mengetahui kekejaman dunia, tapi itulah yang dia lihat.

"Aku tidak akan berhenti! Sejak awal ini adalah salahnya!, buat apa aku berpikir untuk menghentikan semuanya. Inilah jalan yang aku pilih, walau harus menjadi penjahat yang sesungguhnya"

Putra Mahkota mengatakan itu dengan raut wajah yang terlihat serius, bahkan manik hijaunya terlihat bersinar di bawah sinar bulan.