Kata-kata itu seketika membuat suasana menjadi hening.
Sudah lama sekali Chu Weixu tidak mendengar suara wanita itu, jadi begitu ia mendengarnya sekarang, kepingan-kepingan ingatan mengenai bagaimana ia dan wanita itu pernah melakukan perdebatan hebat sekitar lima tahun lalu pun kembali terangkum seperti rajutan acak. Itu membuat hati Chu Weixu menjadi tidak karuan saat ini.
Chu Weixu menggertakkan gigi, mencoba menahan perasaan yang hendak meledak di dalam dirinya. Ia terdiam sebentar, bersusah payah untuk bersikap setenang mungkin agar tidak mengatakan kata-kata yang bisa menyakiti hati orang lain. Namun, walau demikian, hawa dingin masih tetap terpendar pada nada suaranya saat ia berkata, "Ini aku, Weixu."
Ia mengenal suara wanita itu dengan sangat baik. Pemiliknya adalah orang yang membuatnya memiliki perasaan yang ia tanggung saat ini, yaitu marah dan benci. Bukan karena kemarahan dan kebencian itu ditujukan kepada wanita itu, hanya saja kepada dirinya sendiri.
Chu Weixu juga tidak mengerti mengapa ia memiliki perasaan-perasaan itu di dalam dirinya. Ia hanya bisa merasakan bahwa semakin ia dipedulikan oleh orang lain walau sekalipun itu adalah keluarganya sendiri, ia merasa semakin marah dan benci kepada dirinya sendiri.
Sementara di seberang telepon, Chu Xinian yang mendengar nama itu seketika membeku. Bahkan ekspresi wajah tersenyumnya perlahan-lahan menjadi datar seperti patung bernyawa yang tidak menggambarkan apa-apa di wajahnya selain keindahan yang hampa.
Mereka berdua terdiam, menunggu untuk salah satu dari mereka bersuara namun yang berlangsung hanyalah keheningan yang lama. Tidak ada sedikitpun suara di telepon, hanya kebisuan yang mengisi celah di antara mereka.
Chu Xinian ingin meyakinkan dirinya bahwa orang yang menyebut nama adiknya itu adalah seorang pembohong namun ia sama sekali tidak bisa nengelak, jelas-jelas suara akrab yang baru saja ia dengar membuktikan bahwa itu adalah Chu Weixu yang sedang berbicara.
Namun, berbeda dengan Chu Weixu, apa yang Chu Xinian rasakan ketika ia mendengar suara adiknya bukanlah kemarahan ataupun kebencian melainkan sensasi kegembiraan yang nyaris membuatnya menangis. Ia hanya terkejut ketika Chu Weixu tiba-tiba menghubunginya menggunakan nomor Ai Zhiyi, jadi ia tidak bisa berkata-kata.
Setelah hampir dua tahun tidak pernah mendengar suara adiknya, akhirnya sekarang ia bisa mendengarnya walau suara itu terdengar tidak ramah. Namun, itu hal biasa yang membuat Chu Xinian akhirnya terbiasa. Mereka berdua memang sudah seperti dua musuh di mana salah satu dari mereka enggan bersatu.
Walau demikian, tetap saja, Chu Xinian tidak bisa membohongi dirinya sendiri untuk tidak merasa senang sampai ia tidak bisa menahan senyum. Seberapa pembangkangnya Chu Weixu, Chu Xinian tidak bisa membencinya selain menyayanginya layaknya seorang kakak yang menanamkan kasih sayangnya untuk seorang adik.
Walaupun Chu Xinian tahu bahwa tujuan Chu Weixu menelponnya bukan karena seorang adik yang ingin mendengar kabar dari kakaknya, Chu Xinian hanya terlalu senang sehingga ia tidak bisa memikirkan hal buruk di kepalanya.
Hingga pada akhirnya, Chu Xinian membuka mulut, hendak menanyakan kabar Chu Weixu. Selama ini ia hanya terus mendengarnya dari Ai Zhiyi, jadi ia berinisiatif untuk mendengarnya secara langsung dari Chu Weixu sekaligus berniat untuk melakukan perbincangan kecil. Namun, begitu lidahnya bergerak untuk merangkai sepenggal kalimat, Chu Weixu segera berbicara seolah-olah ia tidak ingin mendengarkan sepatah kata pun dari orang lain.
"Berhentilah memberiku obat. Kami bisa membelinya. Jadi, aku harap ini adalah yang terakhir kalinya kau melakukan ini," Chu Weixu berkata dengan nada dingin, tidak peduli dengan siapa dia berbicara saat ini.
Mendengar perkataan itu, tenggorokan Chu Xinian seakan tercekat oleh kata-katanya sendiri yang belum sempat ia utarakan. Ia seketika terdiam seiring kegembiraan yang ia rasakan berangsur-angsur menjadi kekecewaan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Namun, seolah tidak peduli dengan perasaan saudara perempuannya, Chu Weixu kembali berkata dengan nada memperingati, "Jika kau memberikan obat-obatan lagi kepada Xiaoyi, aku bisa menjamin mereka akan berakhir di tempat sampah."
Akhirnya, setelah dibungkam dengan kata-kata Chu Weixu, Chu Xinian berteriak marah di telepon, "Weixu! Beraninya kau mengatakan itu! Setidaknya kau harus bersyukur karena aku masih peduli padamu! Idiot!"
Chu Weixu membalas dengan acuh tak acuh, "Tidak perlu. Simpan belas kasihanmu."
Kata-kata itu benar-benar telah memukul hati wanita itu dengan keras hingga ia kehilangan kata-kata di bibirnya yang sedikit terbuka. Ia pada awalnya hendak mengatakan sesuatu, namun kata-kata Chu Weixu lebih dulu membungkam bibirnya, menyisakan senyum ironis di wajahnya.
Sementara Chu Weixu, setelah mengatakan kata-katanya, ia segera menutup telepon, menganggap bahwa peringatan itu sudah cukup jelas, jadi tidak perlu mengulang perkataan yang sama. Kemudian, ia berjalan keluar dari kamar menuju ke kedai teh yang berada di lantai bawah untuk membantu Ai Zhiyi. Ia tersenyum, menyapa Ai Zhiyi seperti biasa, bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Di sisi lain, di sebuah gedung perkantoran megah di mana Chu Xinian berada, Chu Xinian menatap kehampaan di ujung pandangannya begitu Chu Weixu menutup telepon. Dengan perasaan kecewa, ia dengan perlahan menurunkan tangannya sambil menggenggam ponselnya erat-erat. Sementara ada seorang pria tinggi, tampan dan penuh wibawa yang sedari tadi memerhatikannya saat ia berbicara dengan Chu Weixu di telepon.
Pria itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya, menunjukkan sikap pemimpin yang arogan dan apatis. Ia menghisap rokok yang terselip di antara sela dua jarinya yang panjang dan ramping dengan malas, dan begitu ia membuka suara, terungkap bahwa aura dingin yang menyelimuti suara berat pria itu menggambarkan ketidaksenangan, "Weixu? Apa dia sering membuatmu seperti ini? Aku rasa anak itu butuh dididik sekali lagi. Sekian lama hidup di jalanan, sifatnya menjadi jauh lebih buruk dari yang aku duga sebelumnya."
Mendengar perkataan itu, Chu Xinian memutar kepalanya ke arah pria dingin yang bersandar di kusen, sementara pria itu mengarahkan pandangannya ke luar jendela, tampak acuh tak acuh dengan apa yang ia katakan baru saja.
Chu Xinian mengerutkan kening, menatap pria itu dengan tajam. Matanya menujukkan ancaman, lalu ia menyampaikan ketidaksetujuannya dengan nada kesal, "Jangan menyalahkannya. Dia tidak akan seperti ini jika saja keluarga kita tidak pernah menyudutkannya."
Ada senyum misterius yang tiba-tiba terukir di wajah pria itu seolah lengkungan di sudut bibirnya adalah ejekan dan penghinaan untuk Chu Xinian. Ia berkata dengan datar, "Oh, rupanya kau masih berpihak pada mereka berdua. Pola pikirmu ternyata masih belum berubah."
Begitu ia menyelesaikan kata-katanya, pria itu berjalan layaknya seorang pemimpin yang disegani. Ada rasa bangga di setiap kakinya melangkah, memancarkan aura keberadaan yang kuat, bahkan gema yang dihasilkan setiap nada ketukan sepatunya adalah rasa hormat yang dibanggakan oleh banyak orang, membuat nyali musuh-musuhnya menciut seperti seorang pengecut.
Namun, itu tidak berlaku untuk Chu Xinian. Wanita itu bahkan mengancam sebelum pria itu keluar dari kantornya, "Jangan temui Weixu jika kau hanya berniat memprovokasinya atau aku akan melaporkanmu pada ibu."
Wajah tenang pria itu tersenyum penuh makna. Ia seketika berhenti melangkah setelah mendengar Chu Xinian berbicara, dan tanpa menoleh ia berkata dengan suara rendah yang terkesan dingin sebelum ia keluar dari tempat ini.
"Aku hanya ingin menyapanya sebentar."