Lin Xiao Yi memang sengaja berlama-lama berada di kamar mandi. Ia bahkan sengaja berendam di dalam bathtub agar tidak cepat keluar. Berharap ketika keluar, pasangan ayah dan anak itu sudah pergi dari rumahnya.
"Kenapa mereka selalu saja muncul? Apalagi melihat pria itu, ingin sekali aku menampar pipinya jika mengingat bagaimana dia meremehkanku," gerutu Xiao Yi sembari memainkan busa sabun di tangannya.
Xiao Yi sengaja menutup telinganya dengan earphone untuk mendengarkan musik agar lebih betah. Setelah seharian berjalan kesana kemari tubuhnya asupan agar lebih rileks. Ternyata berendam di dalam air hangat sangat membuat tubuhnya nyaman.
Setengah jam sudah berlalu. Di lantai bawah Li Zheng Yu sudah mulai bosan karena hanya bersandar di sofa seperti orang pengangguran. Padahal di rumah pekerjaannya sangat menumpuk.
"Mei-Yin, sebaiknya kita pulang saja. Sudah hampir 3 jam kita menunggu tapi bibi Xiao Yi sepertinya tidak akan keluar," ujar Li Zheng Yu yang sudah menegakkan tubuhnya dalam posisi duduk.
"Nanti, Ayah. Namun jika Ayah ingin pulang, pergilah," usir Mei-Yin dengan polos. Ia asyik bermain naik turun anak tangga seperti tidak lelah sama sekali.
"Mei-Yin, bersikaplah lebih sopan lagi karena ini bukanlah rumahmu. Kau tidak bisa bermain sesuka hatimu di rumah orang lain," ujar Li Zheng Yu. Sejak tadi ia hanya diam ketika melihat putrinya berlari kesana kemari.
"Baiklah," ucap Mei-Yin dengan bibir cemberut. Lalu ia duduk di salah satu anak tangga paling bawah.
"Sebenarnya apa yang dia lakukan sehingga lama sekali di atas? Jangan-jangan dia sudah tertidur." Li Zheng Yu terus berdecak kesal.
"Mei-Yin, bukankah kau pernah menginap di rumah ini? Coba kau lihat apa yang tengah bibi Xiao Yi lakukan. Jangan sampai ia justru sudah tertidur di kamarnya," ujar Li Zheng Yu yang sudah tidak sabar sekaligus curiga. Mereka menunggu gadis biasa tapi seperti sedang menunggu seorang ratu.
"Ayah sudah tidak memiliki waktu lagi. Jika dia tertidur maka kita akan pulang sekarang juga," lanjut Li Zheng Yu dengan tegas.
Jika bukan karena Mei-Yin, ia tidak akan membuang-buang waktu begitu saja dengan percuma.
"Iya, Ayah," sahut Mei-Yin lalu menaiki anak tangga dengan langkah setengah berlari.
Setelah sampai di kamar, Mei-Yin memandang sekeliling untuk mencari keberadaan Xiao Yi.
"Bibi Xiao Yi, dimana kau berada?" teriak Mei-Yin sembari terus melangkah ke arah kamar mandi.
Tok… tok… tok….
"Bibi, apa kau berada di dalam?" ujar Mei-Yin sembari menempelkan telinganya di daun pintu. Namun tidak ada jawaban atau suara apapun dari dalam. Bahkan air mengalir juga tidak terdengar.
Mei-Yin terus menggedor pintu tapi tetap saja tidak ada suara apapun.
Dengan cepat Mei-Yin segera menuruni anak tangga kembali untuk menemui ayahnya.
"Ayah, cepat kemari," seru Mei-Yin sembari melambaikan tangannya pada Li Zheng Yu yang masih duduk di sofa.
"Ada apa?" ujar Li Zheng Yu dengan rasa malas dan tidak bersemangat.
"Bibi Xiao Yi sepertinya pingsan di dalam kamar mandi," ujar Mei-Yin.
"Mana mungkin, dia tadi terlihat baik-baik saja. Lagi pula dia tidak terlihat seperti gadis yang lemah," ujar Li Zheng Yu sembari mencubit di antara ruang alisnya.
Akhirnya Mei-Yin turun kemudian menarik pergelangan tangan Li Zheng Yu.
"Ayah, cepat ikut aku ke atas," ujarnya.
Li Zheng Yu mendengus kesal tapi pada akhirnya mengikuti putri kesayangan itu. Dengan rasa malas terpaksalah akhirnya menaiki tangga menuju lantai dua.
Pria itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, tidak ada siapa-siapa di sana.
"Dimana gadis itu?" gumam Li Zheng Yu sembari mengikuti Mei-Yin yang sudah berada di depan pintu kamar mandi.
"Ayah, cepat buka pintunya," ujar Mei-Yin dengan kedua bola mata yang terus mengerjap.
Tok tok tok
Li Zheng Yu memilih menggedor pintu dengan cukup keras sebelum membuka pintu secara paksa.
"Xiao Yi, apakah kau pingsan di dalam sehingga sejak tadi tidak keluar juga?" ujar Li Zheng Yu sembari berdecak.
Tidak ada suara apapun dari dalam kamar mandi. Pria itu mulai khawatir apa yang dikatakan oleh putrinya benar jika gadis itu pingsan.
Li Zheng Yu memutar knop pintu secara paksa tapi pintu tak juga berhasil dibuka.
"Mei-Yin, menyingkirlah agar kau tidak tertabrak," perintah Li Zheng Yu yang sudah siap untuk mengambil ancang-ancang mendobrak pintu.
Mei-Yin menuruti ayahnya untuk menggeser tubuhnya ke tepi lebih jauh lagi.
Dengan setengah berlari beberapa langkah kakinya yang lebar, Li Zheng Yu mendorong dengan sangat kuat pintu itu dengan kakinya.