Deg ... Deg ... Deg ...
Dalam ruangan yang sunyi ini, aku bisa dengan jelas mendengar suara detak jantungku. Aku bahkan berharap di dalam hati, semoga seseorang yang berada tidak jauh dari tempatku berada saat ini, tidak akan mendengarnya.
Aku dan Zero memutuskan untuk mencari penginapan dan di sinilah kami berada sekarang. Kami sedang berada di sebuah kamar yang kami sewa di sebuah penginapan. Yang menjadi permasalahannya, di penginapan ini hampir semua kamar telah terisi sehingga menyisakan satu kamar saja yang masih kosong, akibatnya aku dan Zero harus tidur dalam satu ruangan seperti ini. Jujur saja keadaan ini sangat menggangguku. Meskipun tampaknya berbeda dengan Zero, seperti halnya tadi, saat ini pun dia sudah tertidur dengan lelap. Tampaknya dia tidak merasakan gugup atau panik sedikit pun meskipun dia berada dalam satu ruangan dengan seorang wanita.
Selain itu, yang membuatku terjaga hingga saat ini adalah keramaian yang masih aku dengar di luar. Aku menatap pada sebuah jam yang terpajang di dinding kamar ini, waktu tengah menunjukkan pukul 3 pagi. Jika mereka manusia normal, seharusnya saat ini mereka sudah tertidur, tetapi yang terjadi sungguh di luar nalarku. Suasana di luar terdengar sangat ramai, menandakan bahwa semua orang masih terjaga dan masih melakukan aktivitas seakan-akan saat ini siang hari.
Aku memang merasa heran dengan tingkahlaku penduduk desa, tetapi rasa lelah yang aku rasakan, akhirnya mampu mengalahkan pemikiranku ini dan juga rasa panik yang tengah aku rasakan. Bahkan rasa ngantuk ini telah membuatku lupa bahwa seorang pria yang baru beberapa hari aku kenal tengah tidur di ruangan yang sama denganku. Secara perlahan kedua mataku terpejam, pikiranku kosong dan aku pun tertidur dengan lelap.
Sinar matahari yang masuk ke celah jendela kamar, membuat kedua mataku akhirnya terbuka. Walaupun enggan tapi aku beranjak bangun dari tempat tidur. Aku menggulirkan mata untuk menatap sekeliling hingga akhirnya aku menyadari seseorang yang seharusnya sedang terbaring tidak jauh dari tempat tidurku, kini orang itu tidak terlihat. Tempat tidurnya sudah kosong. Mungkinkah dia pergi? Sekali lagi dia begitu tega meninggalkanku sendirian.
Kekesalan yang aku rasakan tidak terbendung lagi. Aku segera pergi dari kamar dan mencoba mencari Zero. Akan tetapi, sebuah keanehan kembali terjadi. Aku tidak melihat seorang pun berada di penginapan ini. Orang-orang yang berlalu lalang semalam, kini tidak ada seorang pun yang terlihat. Suasana di sini sangat sepi, membuatku mulai merasa takut.
"Zero! Apa kau ada di sini? Zero, jawab aku!!"
Percuma saja, tidak ada seorang pun yang menyahuti teriakanku. Tampaknya Zero memang telah meninggalkanku sendirian di penginapan ini.
Entah ke mana aku harus pergi sekarang? Di desa ini bahkan tidak ada seorang pun yang aku kenal? Aku tertegun memikirkan langkah yang harus aku ambil, ketika akhirnya aku mengingat sesuatu.
Aku mengingat ibu dan putranya yang aku temui semalam. Ya, ibu itu orang yang sangat ramah, aku yakin dia akan memberikan bantuan padaku. Setidaknya aku bisa bertanya padanya tentang keanehan di desa ini. Itulah satu-satunya hal yang terpikirkan olehku saat ini. Tanpa keraguan aku pun meninggalkan penginapan dan berjalan menuju rumah ibu paruh baya itu.
Bukan bermaksud untuk pamer, tetapi aku memiliki ingatan yang cukup tajam sehingga tidak sulit bagiku untuk menemukan rumah ibu paruh baya itu. Keterkejutan yang kudapatkan begitu tiba di depan rumah ibu itu. Tentu saja aku terkejut, tepat di depan rumah ibu itu, aku melihat seseorang sedang berdiri mematung. Orang itu adalah orang yang selalu sukses membuatku sangat kesal. Tanpa mengurangi rasa kesal yang aku rasakan, aku berjalan menghampiri orang itu yang tidak lain adalah Zero.
"Sedang apa kau di sini? Apa kau tahu, sejak tadi aku mencarimu?" tanyaku dengan sengaja bertolak pinggang di depannya agar dia sadar betapa kesalnya aku saat ini.
"Ternyata desa ini memang aneh," katanya, menyahutiku.
"Hm, tentang kebiasaan penduduk desa ini ya? Aku juga merasa mereka memang aneh."
"Bukan hanya itu."
Satu alisku terangkat naik karena tak mengerti ucapannya. "Apa maksudmu?"
"Coba saja kau ketuk pintu rumah ini, kau akan tahu setelah melihatnya sendiri."
Meskipun aku masih tidak mengerti dengan perkataan Zero, tapi aku mengikuti perkataannya. Aku mengetuk pintu rumah ibu paruh baya itu, namun tidak ada yang membukakan pintu.
"Mungkin mereka tidak ada di rumah."
"Kau ketuk saja terus, jangan berhenti sampai ada yang membukakan pintunya."
"Haah?"
"Sudah. Lakukan saja seperti yang aku katakan!"
Aku semakin merasa bahwa Zero memang sangat menyebalkan dan egois. Namun sekali lagi aku tidak memiliki pilihan selain menuruti perintahnya. Aku pun kembali mengetuk pintu itu. Aku terus mengetuk pintu dan tidak berhenti mengetuk meskipun masih tidak ada orang yang membukakan pintu.
Kriiiiiet!
Akhirnya terdengar sebuah suara yang menandakan pintu itu tengah dibuka seseorang dari dalam rumah. Betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah orang yang membukakan pintu itu. Wajahnya sangat pucat seakan-akan orang itu tengah mengidap sebuah penyakit. Kedua matanya terlihat sayu dan terdapat lingkaran hitam di bawah kelopak matanya. Wajahnya pun terlihat kurus, hingga lekukan tulang pada wajahnya terlihat dengan jelas. Akan tetapi, bukan itu semua yang membuatku amat terkejut seperti ini, melainkan aku yakin orang yang membukakan pintu ini adalah orang yang sama dengan orang yang aku temui semalam. Orang ini adalah ibu paruh baya yang aku temui semalam. Seingatku penampilannya tidak seperti ini.
"Hai, ibu. Apa anda baik-baik saja?"
Ibu itu sama sekali tidak menanggapi perkataanku. Dia terus menatapku dengan tatapan matanya yang layu.
"Anda mengingatku, kan? Semalam kita bertemu di sini dan anda mengantar kami ke rumah makan."
"Per ... gi dari si ... ni!"
Suaranya terdengar sangat pelan dan lemah. Dia menutup pintunya tanpa menghiraukan keberadaanku dan Zero. Sikapnya ini sama persis dengan sikap penduduk desa ini yang kemarin aku temui. Aku dan Zero saling berpandangan karena melihat tingkahlaku ibu itu yang sangat jauh berbeda dengan semalam.
"Aku yakin terjadi sesuatu di desa ini," ucap Zero, dan ya, aku sependapat dengannya.
Aku mengangguk, mengiyakan. "Benar. Aku juga merasa begitu. Penampilan ibu itu sangat berbeda dengan semalam."
"Lebih tepatnya penampilan penduduk desa ini pada siang hari, semuanya hampir sama. Mereka terlihat menyedihkan dan tidak terawat."
Aku sangat menyetujui perkataan Zero, memang semuanya seperti yang dia katakan. Tapi kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?
"Ayo, pergi !!"
Tanpa bertanya pendapatku apalagi mendengar persetujuanku, Zero melangkahkan kakinya bermaksud meninggalkan rumah ini.
"Tidak. Kita harus menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di desa ini."
Zero menghentikan langkah dan kembali menoleh padaku. "Untuk apa?" tanyanya.
Aku mendengus, "Untuk apa kau bilang? Tentu saja karena ini sangat aneh. Sepertinya sudah terjadi sesuatu yang buruk di desa ini. Kita harus menolong mereka."
"Ini bukan urusan kita. Kita tidak perlu ikut campur."
Aku terbelalak mendengar jawaban Zero, tak kusangka dia dengan mudah berpikir akan meninggalkan desa tanpa mempedulikan penduduk desa ini yang terlihat jelas sama sekali tidak normal. Pasti telah terjadi sesuatu pada mereka. Mana mungkin aku bisa pergi begitu saja seperti yang dilakukan Zero.
"Aku tetap akan menyelidiki hal ini. Zero, malam ini kita akan menginap di penginapan tadi," ajakku, setelah kuputuskan untuk menyelidiki semua keanehan di desa ini.
"Kau saja, aku tidak tertarik."
"Aku mohon, Zero, bantulah aku untuk menyelidiki keanehan ini. Aku mohon." Kupikir akan lebih mudah jika aku menyelidikinya berdua bersama Zero. Lagi pula, aku bisa merasakan firasat buruk. Aku yakin sesuatu yang buruk telah terjadi di desa ini.
Zero terdiam, dia menatap tajam ke arahku. Entah apa yang dia pikirkan tapi aku berharap dia bersedia untuk mengabulkan keinginanku ini. Aku harap Zero mengurungkan niat untuk pergi dan bersedia membantuku menyelidiki semua keanehan di desa yang kami datangi ini.