Chapter 13 - PERUBAHAN PART 1

"Terima kasih atas semua bantuannya, kami akan melanjutkan perjalanan kami," ucapku, berpamitan.

"Berhati-hatilah, jangan sungkan untuk mampir lagi ke rumah ini."

Hanya Sebuah senyuman yang bisa aku berikan untuk Bi Rika. Dia tidak lain merupakan ibu paruh baya yang berbaik hati mengizinkanku dan Zero beristirahat di teras rumahnya serta bersedia mengantarku dan Zero ke penginapan ketika aku belum menyadari keanehan dari desa ini.

Desa yang diselimuti oleh kutukan sehingga semua penduduknya berperilaku aneh, mereka diam di dalam rumah selama siang hari dan keluar melakukan aktivitas pada malam hari. Pada awalnya aku mengira itu merupakan kebiasaan penduduk di desa ini. Namun setelah aku melihat sebuah bayangan hitam yang menyerupai manusia memakai jubah sedang menghisap sesuatu dari tubuh mereka, aku pun menyadari bahwa keanehan ini bukanlah kebiasaan penduduk desa ini, melainkan akibat pengaruh dari ilmu sihir.

Dengan memberanikan diri tetap bertahan di desa untuk menyelidiki semua keanehan yang terjadi, akhirnya kebenaran pun terbongkar. Ternyata seorang penyihir jahat memang telah mengirimkan kutukan untuk seluruh penduduk desa ini. Bayangan hitam itu rupanya selalu menghisap hawa kehidupan semua penduduk. Berkat bantuan Zero, penyihir jahat itu akhirnya bisa dikalahkan. Kini aku merasa tenang karena desa ini tampak normal seperti desa yang lain. Penyihir jahat itu pun tidak akan mengganggu penduduk desa ini lagi karena Zero telah menghabisi nyawanya untuk selamanya.

Setelah menghabiskan waktu selama dua hari di desa ini untuk beristirahat, aku dan Zero berniat untuk melanjutkan perjalanan. Selama menetap di desa ini, aku dan Zero menginap di rumah Bibi paruh baya yang aku temui bersama putranya saat itu. Bi Rika, itulah nama ibu parah baya tersebut. Dia wanita yang sangat ramah dan baik hati. Kami bahkan diizinkan untuk menginap gratis di rumahnya.

Aku merasa rasa lelah setelah terlibat pertarungan dengan si kakek yang ternyata penyihir jahat pemberi kutukan pada penduduk desa, kini telah hilang sepenuhnya. Karena itu aku dan Zero segera melangkah untuk meninggalkan desa karena petualangan kami akan kembali dimulai.

Aku menoleh ke arah samping di mana Zero sedang melangkah. Sebuah ingatan pun terbersit di pikiranku, Zero sama sekali tidak memberikan jawaban apa pun ketika aku memintanya untuk menjadi pengawalku. Masih kuingat dengan jelas hingga saat ini, tatapan Zero padaku waktu itu sesaat setelah aku mengutarakan permintaanku padanya. Dia menatapku dengan tajam seakan-akan dia sedang membayangkan sesuatu atau melihat sesuatu dari diriku yang membuatnya terkejut. Entahlah, aku tak bisa menerka dengan pasti makna dari tatapannya saat itu. Sempat beberapa kali aku berniat menanyakan jawabannya tentang dia yang bersedia atau tidak menerima permintaanku untuk menjadikan dia sebagai pengawalku, tapi melihat dia selalu berada di sampingku, tampaknya aku sudah mengetahui jawabannya bahkan sebelum aku bertanya padanya. Kusimpulkan dia bersedia menjadi pengawalku karena jika dia tak mau pasti dia sudah pergi meninggalkanku seperti waktu itu.

"Kita istirahat sebentar, aku akan mencari makanan."

"Hmmm ..."

Aku menuruti perkataan Zero, aku duduk di bawah pohon selama Zero mencari makanan untuk kami.

Saat aku menengadahkan wajah ke atas, langit di atas sana terlihat mulai menghitam, tampaknya sesaat lagi matahari yang masih bersinar redup itu akan segera tenggelam dan digantikan oleh sinar rembulan yang indah.

Istana ...

Tiba-tiba pikiranku teringat pada istana. Bagaimana keadaan orangtuaku setelah aku melarikan diri atau mungkinkah terjadi kekacauan di istana? Entahlah, aku sama sekali tidak mengetahui jawabannya. Hanya saja satu hal yang aku harapkan di dalam hati, aku selalu berharap semoga istana itu selalu damai. Semoga tidak terjadi hal yang buruk di istana, dan yang paling penting aku selalu berharap semoga raja dan ratu selalu sehat. Aku merasa hidup di istana bagaikan hidup di dalam sangkar emas, namun tidak dapat kupungkiri betapa rindunya aku pada orangtuaku. Aku pun merasakan rindu pada kemewahan yang aku dapatkan ketika tinggal di istana.

Aku segera menggelengkan kepala untuk menepis pemikiran itu, aku menyadari tidak seharusnya memikirkan hal ini. Ketika aku memutuskan untuk meninggalkan istana, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk melupakan semua hal tentang istana termasuk kehidupan serba mewah yang kudapatkan saat menetap di sana. Aku bahkan telah bersumpah di dalam hati, begitu aku melangkahkan kaki meninggalkan istana, itu artinya aku tidak akan pernah melangkahkan kaki untuk kembali memasuki istana lagi.

"Maaf membuatmu menunggu lama. Hanya ini yang aku dapatkan."

Suara Zero yang tiba-tiba muncul membuatku tersentak sekaligus mengembalikan kesadaranku dari lamunan panjang. Zero sedang berjalan menghampiriku sambil membawa seekor kelinci yang telah dia bersihkan.

Tanpa meminta persetujuanku, Zero duduk di sampingku dan mulai menyalakan api untuk memanggang kelinci itu. Kedua mataku hanya menatap lurus ke arah daging kelinci yang sedang dipanggang oleh Zero. Suasana sangat hening di sini tanpa ada satu pun dari kami yang memulai pembicaraan.

"Giania ..."

Untuk pertama kalinya aku mendengar Zero memulai pembicaraan denganku semenjak peristiwa di desa itu, membuatku tertegun untuk sejenak.

"I-Iya kenapa?"

"Apa alasanmu meninggalkan istana? Benarkah hanya karena kau ingin bebas dari peraturan istana?"

Aku mengerjap-erjapkan mata, terkejut tentu saja karena dia tiba-tiba bertanya demikian. Sedetik kemudian, aku menganggukan kepala, "Ya, begitulah. Aku ingin bebas. Aku sudah bosan hidup dengan dipenuhi oleh berbagai aturan. Tinggal di istana sama seperti di penjara bagiku."

"Hm, begitu."

Hanya seperti itu respon Zero sebelum kembali mengatupkan bibir sehingga suasana kembali hening. Sebenarnya bukan hanya itu saja alasanku meninggalkan istana. Masih ada beberapa alasan lain, tapi aku ragu, haruskah aku menceritakannya pada Zero?

"Ini, makanlah."

Zero memberikan daging kelinci yang sudah selesai dia panggang. Sejujurnya aku merasa sangat lapar saat ini, karena itu aku segera menerimanya dan memakannya dengan lahap.

Berbeda dengan Zero, dia sama sekali tidak memakan makanannya, dia hanya melihat ke arahku membuatku merasa gugup dan tak nyaman.

"K-Kenapa kau melihat ke arahku terus?" tanyaku sambil memicingkan mata, penuh curiga.

"Aku hanya merasa heran denganmu. Padahal tubuhmu kurus tapi makanmu banyak sekali."

Seketika aku membulatkan mata, tersinggung sekaligus malu luar biasa mendengar ucapannya yang tak sopan itu. "Enak saja, tidak juga. Wajar saja jika aku lapar. Seharian ini aku belum makan apa-apa. Menurutku, kaulah yang aneh. Kau jarang sekali makan."

Yang kukatakan ini merupakan suatu kebenaran karena sejak melakukan perjalanan nyaris aku tidak pernah melihat Zero makan. Atau mungkin dia selalu makan diam-diam tanpa sepengetahuanku karena terkadang dia selalu pergi tanpa mengatakan apa pun dan kembali secara tiba-tiba. Seperti itulah yang kusadari saat kami menumpang sementara untuk beristirahat di rumah Bi Rika. Saat aku bertanya kemana dia pergi, dia selalu memberikan jawaban yang sama yaitu dia hanya berjalan-jalan untuk mencari udara segar.

"Aku tidak lapar," jawabnya.

Aku mengangkat kedua bahu, memutuskan untuk tak ambil pusing memikirkan kebiasaan aneh Zero. Aku pun kembali melahap makananku hingga akhirnya semua makanan itu telah berpindah tempat ke dalam perutku.

"Haah, kenyangnya." Aku memekik girang sembari kuusap-usap perutnya yang sudah kekenyangan.

"Kau mau memakan bagianku?" tanyanya tiba-tiba sambil mengulurkan daging kelinci bagiannya padaku.

Aku melongo tentu saja sebelum kugelengkan kepala berulang kali untuk menolaknya. "Tidak, tidak. Aku kenyang sekali. Ngomong-ngomong dagingnya enak sekali."

"Hm, baguslah kalau begitu," jawabannya kembali sesingkat itu.

"Kau juga makanlah, Zero."

Di luar dugaan, Zero langsung memakannya. Akhir-akhir ini aku merasa Zero berubah menjadi seseorang yang begitu penurut, sangat jauh berbeda dengan Zero yang pertama kali aku temui. Entah apa yang menyebabkan dia berubah, tapi sejujurnya aku merasa sangat senang dengan perubahannya ini.

"Ke mana kau akan pergi setelah ini?"

Untuk kedua kalinya Zero memulai pembicaraan. Tampaknya aku memang harus menceritakan alasan lain yang membuatku memutuskan untuk meninggalkan istana.

"Sebenarnya, Zero ... aku meninggalkan istana karena memiliki alasan lain."

Kening Zero mengernyit dalam, "Apa itu?" tanyanya.

"Aku ingin memahami apa itu sihir sebenarnya, jadi mempelajari ilmu sihir adalah alasan lain itu. Di istana aku tidak bisa mempelajari ilmu sihir dengan leluasa karena penyihir sangat ditakuti di istana dan penggunaan ilmu sihir sangat dilarang. Orang yang memiliki ilmu sihir selalu dianggap sebagai orang jahat. Padahal aku sama sekali tidak setuju. Tidak semua penyihir itu jahat, aku selalu percaya itu."

"Kenapa kau bisa begitu percaya pada pemikiranmu itu?"

"Sebenarnya ada seorang penyihir pada garis keturunan keluargaku. Bahkan untuk menyembunyikan semua hal tentangnya, telah dibangun sebuah ruangan bawah tanah di istana. Di ruangan bawah tanah itu tersimpan semua benda-benda sihir. Dulu ketika aku kecil, tanpa sengaja aku pernah memasuki ruangan itu. Aku merasa benda-benda yang berada di ruangan itu sangat menakjubkan. Bahkan ada sebuah batu yang selalu bersinar di tengah-tengah ruangan. Aku selalu merasa terpesona setiap melihatnya. Semenjak menemukan ruangan itu, secara diam-diam aku selalu mendatanginya tanpa sepengetahuan siapa pun. Dan suatu hari aku menemukan sebuah buku di ruangan itu. Setelah aku baca ternyata itu buku yang mengajarkan tentang ayat hina. Aku selalu membaca buku itu dan diam-diam mempelajarinya."

"Hm, jadi karena itu kau mampu menggunakan sihir?"

Aku mengangguk tanpa ragu karena memang itulah awal mula aku mempelajari ilmu sihir. "Ya. Menurutku kekuatan sihir sangat menakjubkan. Aku mempelajarinya karena aku ingin menggunakan ilmu sihir untuk melindungi diriku sendiri dan orang-orang yang ada di sekitarku. Selain itu, aku juga ingin bisa membantu orang lain dengan ilmu sihir itu. Karena itulah aku pergi dari istana, aku ingin terus mempelajari ilmu sihir."

Zero menatap tajam padaku, dia menatapku seakan-akan dia sedang memikirkan sesuatu. Ekspresi wajahnya itu sama persis seperti saat aku mengutarakan permintaan untuk menjadikan dia pengawalku. Entah apa yang dia pikirkan? Aku merasa ragu dia akan memberitahukannya padaku jika aku menanyakan hal itu secara langsung padanya. Sosok Zero memang penuh dengan misteri yang membuatku penasaran ingin lebih mengenalnya. Terlebih jika mengingat kekuatan luar biasa yang dia miliki, aku jadi bertanya-tanya … siapa sebenarnya Zero? Jawaban dari pertanyaanku ini tentunya akan kudapatkan jika aku membantu Zero mengungkap jati dirinya dan membantunya mengembalikan ingatannya yang hilang.