Chapter 17 - PENGARUH SIHIR PART 2

Aku menunggu dengan resah, menunggu kedatangan Maria dan Louis memberikan kabar. Aku berharap tidak terjadi hal yang buruk pada anak laki-laki itu.

Suara teriakanku semalam tampaknya telah membangunkan semua orang. Maria dan Louis datang menghampiriku. Mereka terlihat begitu terkejut ketika melihat anak mereka berlumuran darah. Ya ... Anak laki-laki itu rupanya anak dari Maria dan Louis. Entah kenapa dia membentur-benturkan kepalanya sendiri pada sebuah batu yang ada di depan kamarku. Keningnya terluka cukup parah hingga mengeluarkan darah.

Saat ini Maria dan Louis sedang mengobati luka di kening anak laki-laki itu. Aku sangat panik, aku berharap anak itu baik-baik saja.

"Kenapa kau begitu ketakutan?"

Aku menatap pemilik suara itu yang sedang berdiri sambil bersandar pada dinding. Aku sangat heran dengan sikapnya, dia terlihat tenang seakan-akan tidak terjadi apa pun di rumah ini. Aku tahu Zero orang yang sangat cuek tapi aku tidak menyangka dia pun orang yang tidak peka dan tidak perduli pada penderitaan orang lain.

"Sudah jelas kan, aku mengkhawatirkan anak itu."

"Itu bukan urusan kita."

Sekali lagi aku sangat terkejut dengan sikapnya. Aku tidak menyangka dia akan mengatakan perkataan kejam seperti itu.

"Dia itu anak dari pemilik rumah ini. Aku harap kau tidak lupa kebaikan dari pemilik rumah ini pada kita."

"Ya. Tapi apa yang terjadi pada anak itu bukanlah urusan kita."

Aku mendelik tajam mendengar jawabannya ini, "Kenapa kau bicara seperti itu?"

Zero tiba-tiba menatapku begitu serius membuatku tanpa sadar meneguk ludah. "Aku sarankan padamu, lebih baik kita segera pergi dari rumah ini."

Dan seketika aku hanya bisa tercengang mendengar ucapannya itu. Apa-apaan maksudnya pergi? Aku bukan orang tak tahu terima kasih atau pun balas budi, bagaimana bisa aku pergi dari rumah orang yang sudah berbaik hati mengizinkan kami menumpang saat mereka sedang tertimpa masalah.

"Tapi kenapa?" Kendati demikian, aku tetap menanyakan alasannya mengajakku pergi dari rumah ini sekarang juga.

Zero terdiam, dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Selalu seperti ini ... Dia berbicara seakan-akan dia mengetahui sesuatu, tapi dia akan diam seribu bahasa ketika aku menanyakan apa yang sedang terjadi. Sikapnya ini sangat menyebalkan.

"Maaf membuat kalian menunggu ..."

Aku tersentak ketika sebuah suara dari arah belakang tiba-tiba terdengar. Maria dan Louis menghampiri kami dan mereka duduk di sebuah kursi tepat di depanku.

"Bagaimana keadaannya?" tanyaku, benar-benar mengkhawatirkan keadaan anak mereka. Walau bagaimana pun dengan mata kepala sendiri aku melihat kepala anak itu terluka parah hingga berdarah.

"Dia sudah tenang, dia sedang tidur," sahut Maria dan detik itu juga aku mengembuskan napas lega.

"Apa kalian sudah mengobati lukanya?" tanyaku memastikan mereka sudah melakukan tindakan yang tepat.

Maria dan Louis mengangguk secara bersamaan. Aku sangat lega mendengarnya.

"Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia membentur-benturkan kepalanya sampai bisa terluka seperti itu?"

Baik Maria maupun Louis hanya terdiam, mereka sama sekali tidak menanggapi pertanyaanku. Melihat sikap mereka, aku pun sadar telah terjadi sesuatu pada anak laki-laki mereka.

"Ada apa? Ceritakanlah pada kami. Mungkin kami bisa membantu kalian." Aku tulus mengatakan ini karena jika benar anak mereka sedang bermasalah, aku akan melakukan apa pun untuk membantu mereka.

"Dalton ... Itulah nama putra kami. Kami tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi akhir-akhir ini dia selalu bersikap aneh. Dia selalu menyendiri dan tidak mau keluar rumah atau bermain dengan teman-temannya. Selain itu ... Dia ... Dia ... Hiks ... Hiks ..."

Maria menangis dengan histeris, dia bahkan tidak sanggup untuk meneruskan ceritanya. Melihat istrinya terguncang, Louis memeluknya dengan lembut, mencoba untuk menenangkannya.

"Dia juga sering bersikap aneh. Tiba-tiba berteriak. Bukan hanya sekarang dia melukai dirinya seperti yang dilakukannya hari ini. Sebelumnya dia juga sering melakukan itu. Dia pernah berniat melompat dari lantai dua, untunglah kami berhasil menghentikannya."

Dengan ekspresi kesedihan di wajahnya, Louis melanjutkan cerita Maria. Aku turut bersedih mendengarnya walau sekarang aku belum tahu bagaimana cara untuk membantu mereka menyelesaikan masalah keanehan putra mereka ini.

"Sejak kapan dia bersikap seperti itu?" Aku terus bertanya berharap akan segera mendapatkan solusi untuk permasalahan ini.

"Sekitar seminggu yang lalu," jawab Louis.

"Kalian tidak mencoba membawanya berobat?"

"Percuma ... Dia tidak pernah menuruti perkataan kami. Dia akan histeris setiap kali kami akan membawanya berobat."

"Jadi kalian belum pernah membawanya berobat?"

Louis menggelengkan kepala. Mendengar cerita mereka, aku pun ikut merasakan kesedihan yang kini dirasakan oleh mereka. Sebenarnya apa yang terjadi pada anak bernama Dalton itu? Sungguh aku penasaran sekarang dan aku pikir harus mencari tahu penyebab anak itu bersikap aneh seperti semalam.

"Boleh aku melihat Dalton sekarang?"

Louis mengangguk, "Tentu saja. Kami akan mengantarmu ke kamarnya."

Aku pun berjalan mengikuti Maria dan Louis yang berjalan di depan.

Di dalam kamar yang tidak terlalu besar ini, anak laki-laki itu ... Dalton sedang tertidur di kasurnya. Dia anak yang tampan meskipun kini keningnya dililit oleh perban. Kulitnya putih bersih dan dari wajahnya memancarkan kesan seorang anak yang masih sangat polos dan lugu.

"Berapa usianya?" tanyaku pada Maria yang berdiri tepat di sampingku.

"10 tahun."

Dia masih sangat muda, hatiku tersentuh melihat penderitaan yang dialami Dalton. Aku duduk di samping tempat tidurnya. Dengan perlahan aku memegang kepalanya dan aku elus lembut rambutnya. Aku sangat berharap semoga dia bisa segera membuka mata kecilnya dan melihatnya bisa bermain dengan teman-temannya.

"Giania ..."

Aku menoleh menatap ke arah pemilik suara yang baru saja memanggil namaku, tentu saja orang itu adalah Zero. Ternyata dia mengikuti kami sampai ke kamar ini, aku pikir dia tidak peduli dan memilih berdiam diri seperti biasa.

"Kenapa?" tanyaku dengan satu alis terangkat tinggi karena heran tiba-tiba dia memanggil namaku.

"Jangan terlalu dekat dengannya."

Kini keningku mengernyit, tak mengerti sama sekali kenapa dia berkata demikian. "Memangnya kenapa?"

"Turuti saja perkataanku." Dia menyahut dengan begitu tegas dan yakin. Menyuruhku tidak mendekati Dalton tanpa memberikan alasan yang jelas. Dia selalu saja seperti itu karena sekali lagi Zero mengatakan sesuatu yang membuatku kebingungan.

Tapi apa alasannya dia melarangku demikian? Kenapa aku tidak boleh mendekati anak ini? Ingin sekali aku menanyakan hal itu, tapi aku ragu dia akan menjawabnya.

Lagi pula melihat kondisi anak ini, entah kenapa aku jadi tak tega untuk meninggalkannya. Karena itu meski Zero menyuruhku pergi sekali pun, kali ini aku tak akan menurutinya. Aku harus tetap di sini sampai anak itu membuka kedua mata kecilnya yang masih tertutup rapat. Aku harus menanyakan padanya apa yang telah terjadi sehingga dia sering melukai dirinya sendiri. Ya, sudah kuputuskan untuk mencari tahu alasan Dalton menjadi seperti ini karena aku yakin pasti ada penjelasan dan penyebab hal seperti ini bisa menimpa anak malang itu.