Chapter 22 - KEANEHAN PART 1

Bisa membantu orang lain dengan ilmu sihir yang aku kuasai sudah dapat aku perkirakan akan membuat hati ini merasa sangat senang. Seperti halnya saat ini, aku merasa bahagia karena bisa membantu Dalton dan keluarganya. Kini keluarga mereka bisa kembali menjadi keluarga kecil yang bahagia setelah mereka terbebas dari pengaruh sihir seorang penyihir jahat.

Selain itu, aku pun merasa sangat senang karena Zero telah banyak membantuku ketika melawan penyihir-penyihir jahat itu. Meskipun sikapnya masih sangat menyebalkan tapi setidaknya aku merasa senang karena dia telah banyak berubah. Dia selalu melindungiku dan bersedia menjadi pengawalku. Meskipun masih ada satu hal yang mengganjal hatiku, hingga saat ini aku masih belum bisa mengendalikan Zero. Terkadang dia selalu mengabaikanku, dia tidak pernah menuruti perkataanku dan sering kali dia membuatku khawatir karena kekuatannya yang luar biasa itu bisa membunuh orang lain dengan sangat mudah.

Aku akui kekuatannya sangat menakjubkan, berkat kekuatannya itulah hingga saat ini aku masih bisa menikmati indahnya kehidupan ini. Akan tetapi, aku pun merasa takut dengan kekuatan Zero. Kekuatannya bagai mata pedang yang bisa melindungi juga bisa menghancurkan di waktu yang bersamaan. Dengan kekuatan itu Zero berulang kali menyelamatkan nyawaku. Namun dengan kekuatan itu pula Zero sudah membunuh cukup banyak orang. Sejujurnya aku tidak ingin melihat korban berjatuhan lagi karena kekuatan Zero.

Dalam diamku, tidak henti-hentinya pemikiran ini terus berkecamuk di dalam hati. Meskipun kami sedang melakukan perjalanan saat ini, tapi seperti biasa suasana sangat hening tanpa ada satu pun dari kami yang memulai pembicaraan. Zero tetap berjalan dengan gagahnya di depanku tanpa mengeluarkan suaranya sedikit pun.

Aku menatap punggungnya yang tepat berada di depanku. Sejak dulu, sejak pertemuan pertama kami lebih tepatnya, sudah aku akui Zero memiliki paras yang sangat menawan. Tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya amat mempesona tanpa cacat sedikit pun. Memiliki tatapan mata yang tajam layaknya elang yang siap memangsa setiap buruannya. Dia juga memiliki rahang yang tegas, alis tebal dengan bulu mata yang panjang serta bibir kasual yang seksi dan menggoda. Untuk ukuran seorang pria, dia memiliki kulit yang putih bersih. Yang paling menawan dari sosok Zero di mataku adalah rambutnya. Panjang hingga mencapai punggung dengan warna perak yang berkilauan. Jika tertiup angin, rambut itu akan berkibar dengan indahnya terkadang membuat tanganku gatal ingin menyentuhnya. Tapi tentu saja aku menahan mati-matian keinginan itu karena aku yakin Zero akan marah jika aku benar melakukannya.

Sering aku berpikir, siapa sebenarnya dia? Jika melihat dari penampilannya yang memang sedikit berantakan, dia pastilah bukan berasal dari keluarga bangsawan, namun jika melihat perawakan dan juga wajahnya yang menawan itu, sering aku berpikir mungkinkah Zero sebenarnya berasal dari keluarga bangsawan atau justru merupakan bagian dari salah satu kerajaan? Entah kerajaan mana, yang pasti dia bukanlah rakyat biasa.

Selain itu, kekuatan luar biasa yang dia miliki, entah dari mana dia mempelajarinya. Sempat terlintas di pikiranku, benarkah dia kehilangan ingatannya? Dia yang bahkan tidak mengingat namanya sendiri tapi bagaimana mungkin dia mengingat setiap kekuatan yang dia miliki? Kecurigaan ini untuk beberapa saat sering menjangkiti pikiranku.

Bruuuuk!

"Aduh ..."

Rasa sakit aku rasakan tepat pada bagian kening, aku mengusap-usap keningku yang aku yakini baru saja menabrak sesuatu yang keras. Aku pun menatap benda keras yang baru saja bertabrakan denganku yang tidak lain adalah punggung Zero.

"Hei, kenapa kau mendadak berhenti?" tanyaku karena memang penyebab insiden ini bisa terjadi karena Zero yang tiba-tiba berhenti melangkah. Aku juga yang salah karena terlalu banyak melamun sampai tidak menyadari saat dia tiba-tiba menghentikan langkah.

Sikap menyebalkan Zero yang selalu mengabaikanku kini kembali muncul. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Tatapan matanya sedang tertuju pada sesuatu. Aku pun mengikuti arah yang sedang ditatap tajam oleh Zero.

Sekarang aku mulai memahami semuanya, wajar saja jika Zero begitu terpesona hingga terus menatapnya. Saat ini kami sedang berdiri di atas suatu tebing dan kami bisa melihat sebuah danau membentang luas tepat di bawah tebing ini. Terlihat juga air terjun yang mengalir deras di sisi lain pada danau itu, airnya yang jernih seakan-akan memantulkan bayangan langit. Meskipun dari kejauhan tapi bisa kubayangkan betapa segarnya air danau itu.

"Indah sekali ..."

Gumaman pelanku sekali lagi diabaikan oleh Zero. Tidak henti-hentinya aku mengagumi keindahan danau itu. Sebuah pemikiran pun terlintas di benakku, pasti akan sangat menyenangkan jika aku berendam di dalam air danau. Aku masih mengingatnya dengan jelas, dua hari berlalu semenjak aku dan Zero meninggalkan rumah Maria dan Louis. Sudah dua hari pula aku dan Zero melakukan perjalanan dan hingga kini aku belum membersihkan tubuhku. Sudah dua hari tidak kurasakan air membasuh tubuhku dan ini rasanya sangat tidak nyaman.

"Zero, aku akan turun ke bawah dan mandi di danau itu. Kau jangan mengintip ya!"

Zero masih terdiam dengan tatapan yang tidak berpaling sedikit pun dari danau itu.

Aku pun mengibas-ngibaskan tangan tepat di depan wajahnya yang masih menatap tajam ke arah danau sambil berkata, "Hei, Zero, kau dengar tidak?"

Zero akhirnya merespon dengan memalingkan wajahnya dan kini dia menatapku. Kali ini dia menatapku dengan tajam membuatku panik dan merasa heran dengan tingkah lakunya yang aneh.

"Zero, kau ini kenapa?"

"Tadi kau mengatakan apa?"

Kesal hingga meluap di ubun-ubun, itulah perasaan yang aku rasakan saat ini. Rupanya sejak tadi Zero benar-benar mengabaikanku. Perlahan aku menarik nafas untuk mencoba menghilangkan rasa kesal yang memenuhi hatiku ini.

"Aku ingin mandi di danau itu. Kau jagalah di sini," ucapku sembari kutunjuk danau itu dengan jari telunjuk.

Zero mengernyitkan dahi, "Kenapa aku harus berjaga di sini?"

Dan entah kenapa aku tiba-tiba gugup saat mendengar pertanyaannya itu. "Te-Tentu saja kau harus berjaga jangan sampai ada orang yang mengintipku!!"

"Hm, aku rasa tidak ada orang yang akan mengintipmu, di sini sangat sepi."

"Tapi tetap saja kau harus berjaga-jaga. Huh, ya sudah aku turun ke bawah sekarang."

Perlahan aku menuruni jalan menuju ke arah danau, namun aku kembali menghentikan langkah karena teringat telah melupakan sesuatu yang seharusnya aku katakan pada Zero.

Aku menatap ke arah Zero yang masih berdiri di tempat yang sama di mana dia berdiri tadi.

"Zero, kau juga jangan mengintipku. Awas ya kalau kau mengintipku, aku pasti akan menghajarmu!" teriakku sembari kuangkat kepalan tangan sebagai pertanda bahwa perkataanku ini bukan sekedar ancaman melainkan sesuatu yang benar-benar akan aku lakukan jika dia berani mengintipku.

Zero menyunggingkan seulas senyum tipis, tampaknya perkataanku ini sangat lucu baginya.

"Aku tidak tertarik, kau tidak perlu khawatir. Aku akan tetap berjaga di sini."

Aku yakin wajahku pasti memerah saat ini, namun aku mengabaikan hal itu dan kembali melanjutkan langkah menuju danau.